
Oleh : Rahma Shofiana, Kepala Proyek Ummah for Earth, Greenpeace Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhelatan Conference of the Parties (COP) di Brasil akan menjadi panggung penting bagi negara-negara dunia untuk memperkuat komitmen dalam menghadapi krisis iklim global. Negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia, COP 30 ditandai dengan penyerahan Second Nationally Determined Contribution (SNDC), yang memperbarui target pengurangan emisi nasional. Namun, di balik langkah diplomatik tersebut, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana ambisi Indonesia benar-benar berpihak pada masa depan bumi?
Sektor energi masih menjadi kontributor emisi karbon kedua setelah sektor kehutanan di Indonesia. Meski arah kebijakan energi nasional mulai menyentuh pengembangan energi baru terbarukan, langkah yang diambil masih terkesan setengah hati. Pengurangan emisi di sektor ini belum cukup ambisius, karena masih bertumpu pada energi fosil — terutama batu bara — yang menjadi tulang punggung ketenagalistrikan nasional.
Lebih dari itu, transisi energi kita masih belum memiliki peta jalan yang jelas. Rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, yang semestinya menjadi simbol awal peralihan menuju energi bersih, belum dijadikan prioritas. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 masih mencantumkan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk industri dan gas fosil baru. Jika proyek fosil ini terus berjalan, Indonesia berisiko mengalami lock-in emisi karbon selama puluhan tahun ke depan. Padahal, tanpa kejelasan arah transisi dan langkah konkret menuju energi bersih, target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat akan sulit tercapai.
Pendanaan Iklim yang Masih Terkunci
Sementara itu, transisi menuju ekonomi hijau memerlukan pembiayaan yang besar. Kebutuhan pendanaan iklim Indonesia menurut data Climate Policy Initiative (2024), mencapai Rp 4.000 triliun hingga 2030. Di sisi lain, kemampuan fiskal pemerintah terbatas, dan investasi hijau dari sektor swasta masih belum optimal karena kendala regulasi dan risiko proyek yang tinggi.
Pada sebuah ringkasan eksekutif yang baru-baru ini diluncurkan oleh kolega Greenpeace di MENA (Middle East and North Africa), sudah saatnya beralih dari investasi energi fosil seperti batubara, ke investasi yang lebih hijau. Dalam prinsip keuangan syariah, jenis investasi harus memiliki prinsip thayyib (baik), dan menghindari haram. Sementara investasi industri ekstraktif seperti batubara, gagal memenuhi prinsip tersebut.
Dalam situasi seperti ini, diperlukan inovasi pembiayaan yang berpijak pada potensi lokal dan nilai-nilai keberlanjutan. Salah satu instrumen yang memiliki prospek besar adalah wakaf hijau — sebuah bentuk wakaf yang berorientasi pada pelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekonomi. Data Badan Wakaf Indonesia memaparkan bahwa aset wakaf tumbuh sebesar 400 T per tahun. Dengan pertumbuhan tersebut, sumber aset wakaf hijau diharapkan dapat menutup gap kebutuhan pembiayaan mitigasi dan adaptasi iklim di Indonesia.
Wakaf Hijau: Spirit Keberkahan dan Keberlanjutan
Wakaf dalam Islam bukan sekadar ibadah sosial, melainkan sarana mewujudkan kebermanfaatan jangka panjang bagi umat. Melalui konsep wakaf hijau, nilai-nilai spiritual Islam dapat berpadu dengan semangat pelestarian alam. Dana atau aset wakaf dapat dikelola untuk membiayai proyek-proyek yang berdampak langsung pada pengurangan emisi dan pelindungan lingkungan, seperti pembangunan energi terbarukan, rehabilitasi hutan, pengelolaan sampah, atau konservasi air.
Wakaf hijau tidak hanya produktif secara ekonomi, tetapi juga membawa keberkahan bagi harta yang diwakafkan. Di sisi lain, ia menghadirkan manfaat luas bagi masyarakat dan bumi. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW: "Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim). Wakaf hijau adalah wujud nyata sedekah jariyah yang tidak hanya memberi manfaat bagi manusia, tetapi juga menjaga ciptaan Allah yang lain.
Kolaborasi Menuju Transisi yang berkeadilan
Untuk mewujudkan wakaf hijau, diperlukan sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan syariah, nadzir profesional, dan masyarakat. Skema seperti green waqf fund atau wakaf linked sukuk bisa menjadi terobosan dalam mendukung proyek-proyek transisi energi. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal, sementara lembaga keuangan syariah bisa berperan dalam memastikan tata kelola yang transparan dan akuntabel.
Saat ini, di Indonesia sudah terdapat beberapa proyek wakaf hijau yang sudah memberikan manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi, antara lain Proyek Hutan Wakaf dan Proyek Tamanu. Hutan wakaf merupakan proyek wakaf hijau yang dikelola oleh Yayasan Hutan Wakaf, dengan lima lokasi di Desa Cibunian, Kabupaten Bogor. Proyek ini telah memberikan berbagai dampak positif, antara lain dampak ekologis melalui penanaman lebih dari seribu pohon yang berfungsi menahan longsor, penyerap air hujan, dan mengurangi emisi karbon (PEBS UI, 2025).
Dengan pengelolaan yang baik, wakaf hijau dapat menjadi sumber pendanaan berkelanjutan yang tidak hanya mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab umat terhadap kelestarian bumi.
Menutup Jurang antara Komitmen dan Aksi
Krisis iklim adalah tantangan moral dan spiritual. Ia menuntut bukan hanya kebijakan, tetapi juga kesadaran dan keikhlasan untuk berubah. SNDC yang disampaikan Indonesia ke dunia akan bermakna bila diiringi langkah nyata di dalam negeri — dengan keberanian untuk keluar dari ketergantungan pada energi kotor, dan kesiapan untuk membangun masa depan yang bersih dan berkeadilan.
Wakaf hijau bisa menjadi jalan tengah antara spiritualitas dan keberlanjutan. Ia menghubungkan keimanan dengan aksi nyata menjaga bumi. Karena pada akhirnya, menjaga bumi bukan hanya urusan sains atau politik, tetapi juga bentuk syukur atas amanah Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi.

2 hours ago
8















































