Wawancara Morgan Oey: Representasi dan Identitas Peranakan Tionghoa di Perfilman Indonesia

12 hours ago 10

TEMPO.CO, Jakarta - Representasi budaya peranakan Tionghoa dalam perfilman Indonesia terus berkembang, kini tak lagi sekadar ornamen dalam cerita. Tahun ini, aktor Morgan Oey hadir dalam dua film yang menyoroti kompleksitas identitas peranakan dari perspektif berbeda. Dalam Pernikahan Arwah (The Butterfly House) garapan Paul Agusta, ia berperan sebagai Salim, laki-laki peranakan Tionghoa yang terseret dalam ritual pernikahan arwah leluhurnya.

Sementara di Pengepungan di Bukit Duri (The Siege at Thorn High) besutan Joko Anwar, ia menjadi Edwin, seorang guru keturunan Tionghoa yang bergulat dengan ketegangan sosial dan isu rasial. Pernikahan Arwah dijadwalkan tayang pada 27 Februari 2025, disusul Pengepungan di Bukit Duri pada 17 April 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbincang dengan Tempo pada Kamis, 20 Februari 2025 di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Morgan berbagi pandangannya tentang bagaimana industri film kini semakin terbuka dalam merepresentasikan peranakan Tionghoa di layar lebar. Ia juga mengungkapkan prosesnya dalam mendalami karakter-karakter yang memiliki kedekatan erat dengan sejarah dan budaya yang selama ini jarang mendapat ruang utama di sinema nasional. 

Dari eksplorasi mitologi dan ritual leluhur dalam film horor Pernikahan Arwah hingga beragam isu sosial dalam Pengepungan di Bukit Duri, Morgan melihat bagaimana dua film ini menawarkan perspektif berbeda tentang identitas, tradisi, dan kompleksitas hidup sebagai bagian dari peranakan Tionghoa di Indonesia.

Menurut Anda, apa yang menarik dari sisi budaya dan tradisi Tionghoa, terutama soal tradisi kuno pernikahan arwah di film horor karya Paul Agusta?

Memang ini tradisi turun-temurun dari zaman dulu yang sudah dipraktikkan dan sekarang mulai ditinggalkan. Menurut saya, buat generasi muda, bahkan saya sendiri dan generasi saya, kami sudah lama tidak atau jarang mendengar ritual ini. 

Jadi kalau dibilang eksplorasi tema, Pernikahan Arwah ini sangat menarik untuk dijadikan tontonan yang dibalut dalam horor yang menghibur. Bukan sekadar horor biasa, karena horor ini juga menghadirkan drama yang cukup berat. Selain mengangkat tema pernikahan arwah, film ini juga menyentuh soal cinta sejati. 

Dalam film Pernikahan Arwah banyak unsur ritual yang cukup intens. Ada pembakaran hio, ritual pemakaman, hingga mantra-mantra sakral dalam bahasa Mandarin. Ada perasaan takut? 

Kalau takut, jujur, iya. Ada beberapa alasan. Pertama, ritual yang dipakai dalam film ini benar-benar ritual asli dengan mantra asli. Tim film, termasuk sutradara dan kru, melakukan riset mendalam tentang tradisi pernikahan arwah. Kami juga ditemani oleh seseorang yang bisa dibilang sebagai pendamping sekaligus penjaga dari jauh, karena dia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan dimensi tersebut. 

Saya senang karena risetnya dilakukan secara serius. Tidak hanya sekadar, ‘Oh, tema ini menarik untuk diangkat ke film horor,’ lalu dibuat tanpa dasar. Ini benar-benar dieksplorasi secara tema dan cerita dengan cara yang masuk akal, tidak asal memasukkan unsur horor tanpa makna. Kedua, karena ritualnya asli, saat syuting benar-benar ada perasaan takut. Ditambah lagi, kami syutingnya tepat di Bulan Arwah. 

Apa itu Bulan Arwah? Jadi, kalau Imlek itu bulan pertama dalam kalender Tionghoa, ada juga yang namanya Cheng Beng (Qingmíng), yaitu Hari Sembahyang Kubur, seperti nyekar. Nah, bulan ketujuh dalam kalender Tionghoa (lunar) disebut sebagai Bulan Arwah. Di bulan ini, gerbang dunia arwah diyakini terbuka selama sebulan penuh. Arwah-arwah bisa bolak-balik antara dunia kita dan dunia mereka. Ada yang sekadar mengunjungi keluarga, tapi ada juga yang penasaran atau bergentayangan.

Kami syuting tepat di Bulan Arwah. Tidak sengaja. Saya sendiri baru sadar setelah bertanya ke orang tua yang masih menggunakan kalender Tionghoa. Saat tahu jadwal keberangkatan ke Lasem (lokasi syuting), saya tanya ke mama, “Bulan apa ya di kalender Tionghoa?” Ternyata bulan ketujuh. Saya lalu mengkonfirmasi ke konsultan yang menjaga kami selama syuting. Dia juga membenarkan bahwa kami syuting di Bulan Arwah. Awalnya saya mau diam saja, tidak ingin memberi tahu teman-teman supaya mereka tidak takut. Tapi akhirnya, kru memutuskan untuk terbuka kepada kami, agar kita bisa lebih berhati-hati dalam bertutur kata dan berperilaku selama syuting. 

Soal tradisi dan ritual dalam film Pernikahan Arwah, apakah Anda sudah familiar karena ini bagian dari budaya Anda? Atau ada riset tambahan?

Ini memang budaya saya, tapi detailnya saya tidak tahu. Dulu, waktu kecil, saya tahu ada peringatan arwah, tapi tidak paham detailnya. Anak kecil biasanya takut dengan hal-hal seperti ini, apalagi soal pernikahan arwah. Ketika akhirnya saya terima proyek ini, saya mulai mencari tahu lebih lanjut. Saya melakukan riset ringan, seperti googling dan bertanya ke beberapa orang. 

Sebagai peranakan Tionghoa, bagaimana Anda melihat budaya ini diangkat dalam perfilman Tanah Air? Apakah selama ini ada apresiasi yang cukup terhadap budaya ini?

Iya, (aspek budaya Tionghoa) tidak sekadar tempelan. Saya sangat bangga dan bahagia budaya ini bisa diangkat ke film. Selain itu, saya juga senang karena perfilman Indonesia sedang berkembang pesat. Genre horor, misalnya, kini punya variasi yang lebih beragam dan tidak hanya berfokus pada horor konvensional. Ini membuat penonton Indonesia punya banyak pilihan tontonan yang lebih kaya dan menarik. 

Jika berbicara mengenai karakter etnis Tionghoa dalam film, yang lebih sering muncul adalah figur-figur stereotip, seperti pemilik toko, orang kaya, atau tokoh mistis. Bagaimana Anda melihat representasi ini? Apakah Anda pernah merasakan adanya batasan dalam berkarier sebagai aktor?

Itu memang benar, dulu stereotipnya seperti itu. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, saya bisa bilang bahwa peran yang aku dapat semakin beragam. Tawaran peran lebih bervariasi, dan saya juga mulai mendapat kesempatan menjadi pemeran utama. Jadi meskipun dulu memang ada stereotip, sekarang industri sudah mulai terbuka. Saya bersyukur karena sebagai aktor Tionghoa, kami kini punya platform dan kesempatan untuk menampilkan lebih banyak kisah dari perspektif kami. 

Mengenai representasi peranakan Tionghoa, pada April mendatang akan dirilis film Pengepungan di Bukit Duri. Jika Pernikahan Arwah lebih berfokus pada mitologi, film Pengepungan di Bukit Duri mengangkat isu-isu sosial. Apakah terdapat perbedaan tantangan dalam membangun dua karakter yang berbeda ini?

Saya senang bisa mendapat kesempatan untuk memerankan karakter yang mungkin beririsan dengan ras atau budaya saya. Tapi yang lebih penting, saya bisa membawakannya dengan bangga dalam cerita yang beragam dan dengan karakter yang juga variatif. Jadi, ya, tidak lagi sekadar sidekick atau peran yang stereotip. Saya berharap ke depannya akan semakin banyak kesempatan bagi kami yang selama ini mungkin belum mendapatkan peran utama. 

Edwin ini seorang guru yang ingin menepati janji kakaknya untuk mencari keponakannya. Dia mencari sambil mengajar dan akhirnya masuk ke SMA Duri. Tapi di sana, dia harus bertarung nyawa karena para muridnya sangat brutal. Film ini membahas banyak isu, seperti kekerasan di dunia remaja yang sering dianggap wajar dan dibiarkan begitu saja. Ada juga isu diskriminasi rasial dan ketidakadilan dalam dunia pendidikan, terutama bagi guru-guru honorer yang beban kerjanya berat, tapi apresiasinya kurang. 

Apa yang perlu dikembangkan dalam film-film yang mengangkat budaya peranakan Tionghoa?

Mungkin ke depannya film-film yang mengangkat tema peranakan tidak harus selalu berfokus pada ritual. Masih banyak aspek lain yang bisa dieksplorasi, misalnya kehidupan keluarga minoritas yang juga mengalami jatuh bangun dalam hidup mereka. Sering kali, cerita-cerita peranakan diangkat karena dianggap seksi atau berbeda, terutama dalam hal budaya dan ritual yang unik. 

Namun, sebenarnya ada banyak narasi lain yang bisa dikembangkan, seperti dinamika keluarga, tantangan yang mereka hadapi, dan bagaimana mereka beradaptasi dalam masyarakat. Jadi, mungkin eksplorasi dalam film tidak hanya berfokus pada perbedaan budaya yang mencolok atau peran-peran yang bersandar pada stereotip, tapi lebih kepada pengalaman hidup yang lebih universal dan bisa lebih dekat dengan banyak orang.

Dalam memilih peran atau film, apakah Anda mempunyai pertimbangan khusus?

Biasanya saya memilih berdasarkan cerita. Untuk saya, cerita adalah tulang punggung sebuah film. Baru setelah itu saya mempertimbangkan sutradara dan peran yang ditawarkan. Kalau bisa mendapatkan ketiganya—cerita bagus, sutradara hebat, dan peran menarik—itu luar biasa. Tapi kalau harus memilih satu, saya pasti prioritaskan cerita yang saya bisa merasa terhubung dan bisa saya bangun empatinya. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |