TEMPO.CO, Jakarta - Perenang Joe Aditya Wijaya Kurniawan menyedot perhatian publik dengan keberhasilannya menyabet delapan medali emas di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024 yang berlangsung di Aceh dan Sumatera Utara pada September lalu.
Kesuksesan itu diraihnya tak lama setelah tampil di Olimpiade Paris 2024. Dia bisa lolos ke Olimpiade setelah mengantongi tiket yang didapat melalui jalur Universality Places, dengan catatan 53,17 detik dalam nomor 100 meter gaya kupu-kupu putra.
Meski sempat ada polemik menjelang PON 2024, dia jadi rebutan provinsi DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara memperebutkannya, penampilannya tidak terganggu. Ia berhasil mencatat prestasi melebihi pencapaiannya di PON Papua 2021 yang kala itu meraih tiga medali emas dan satu perunggu.
Joe yang akhirnya tampil mewakil DKI Jakarta di PON Aceh-Sumut pada September lalu, meraih delapan medali emas dari individu dan beregu. Selain itu, dia berhasil memecahkan rekor nasional di nomor 200 meter gaya bebas putra, dengan catatan waktu 1 menit 50,35 detik. Hasil itu memecahkan rekor yang dibuat Triady Fauzi Sidiq di SEA Games 2023 Myanmar dengan 1 menit 50,46 detik.
Keberhasilannya memecahkan rekor nasional di PON itu bisa menjadi penebusannya setelah gagal mewujudkan ambisinya memecahkan rekor di Olimpiade Paris pada Agustus lalu. Saat itu, dia yang turun di nomor 100 meter gaya kupu-kupu putra, berambisi memecahkan rekor nasional atas namanya sendiri 52,75 detik. Catatan itu dibuatnya ketika bertanding di 5th Indonesia Open Aquatic Championship atau IOAC 2023 pada Desember tahun lalu.
Saat tampil di Paris La Defense Arena pada 2 Agustus lalu, dia mencatat waktu 53,95 detik. Dengan catatan itu, di finis di urutan ketiga Heat sehingga gagal maju ke semifinal karena hanya 16 perenang dari lima heat yang dapat lolos ke babak selanjutnya. Dia di urutan ke-33 dari 40 atlet renang yang berlomba pada nomor itu.
Setelah debutnya di Olimpiade Paris 2024 lalu mencatat prestasi gemilang di PON 2024, Joe berharap bisa kembali tampil di Olimpiade 2028 mendatang. Kepada Tempo, dia mengungkapkan apa saja yang ingin dia raih dalam kariernya sebagai perenang, dan juga menjelasakan mengenai polemik menjelang PON Aceh-Sumut dalam wawancara sekitar sejam di kolam renang Pertamina Millenium Aquatic Center, Jakarta Selatan, Senin, 14 Oktober 2024.
Perenang Joe Aditya Wijaya Kurniawan saat diwawancara Tempo di Kolam Renang Pertamina Millennium Aquatic Center, Jakarta, Senin, 14 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Bisa diceritakan bagaimana persiapan menjelang PON, sehingga hasilnya bisa luar biasa?
Kalau untuk PON Aceh-Sumut, memang saya sudah persiapkan itu sekitar tiga tahun. Jadi setelah PON Papua 2021, memang sudah rencana bisa tampil lebih lagi di PON 2024 ini. Dan memang persiapan paling intensif itu di tahun ini.
Mulai awal tahun, saya juga sudah bersama dengan timnas (tim nasional). Februari saya berangkat ke kejuaraan dunia di Doha. Terus, saya juga ada training camp di Amerika selama kurang lebih tiga bulan dan setelah itu berangkat ke Olimpiade. Setelah Olimpiade, langsung kembali latihan lagi. Saya (training) camp di Australia selama dua bulan.
Dari situ, memang tahun 2024 ini jadi persiapan PON yang paling intensif, paling padat. Jadi, ya, alhamdulillah hasilnya juga bisa maksimal, bisa sesuai, bahkan melebihi target saya pribadi. Pelatih saya pun merasa latihannya itu cukup efektif dan berhasil untuk saya.
Menyinggung soal PON, bagaimana ceritanya Anda bisa jadi rebutan DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara?
Dari sisi saya, pada awalnya setelah PON Papua 2021, saya punya harapan bahwa saya bisa meraih prestasi yang baik lah di PON Aceh-Sumut 2024. Para pelatih dan pengamat juga melihat saya ada potensi untuk bisa meraih lebih banyak medali daripada yang saya raih di Papua.
Dari situ, saya jadi punya modal istilahnya untuk mempromosikan diri saya. Saya punya potensi, saya punya kesempatan untuk menyumbangkan medali. Dari situ memang yang saya lihat di DKI Jakarta kan daerah yang saya wakili di Papua itu sangat minim di segi pembinaannya. Sedangkan, saya juga punya beban, punya beban finansial, punya beban prestasi. Sehingga untuk mendukung diri saya yang punya target di PON Aceh-Sumut itu pembinaan di DKI, itu sangat kurang yang saya rasakan.
Dari situ saya mencari kesempatan atau daerah yang punya penawaran atau bisa mengakomodir target saya ini. Saya ketemu dengan Provinsi Sulteng ini karena mereka punya program Sulteng Emas untuk bisa meraih medali emas yang lebih banyak di PON. Dengan program Sulteng Emas ini saya terbantu sekali karena pertama pembinaannya jauh lebih layak dari yang diterima dari DKI Jakarta dan kedua memang mereka mengakomodasi kebutuhan saya sebagai atlet dan juga pribadi.
Saya sudah melakukan proses pemindahan dari DKI Jakarta, mulai dari surat perpindahan dari klub, surat pengunduran diri dari klub. Itu proses birokrasinya sudah saya penuhi dari pribadi saya. Namun, kan perpindahan daerah dari satu ke yang lain itu ada proses dari pihak KONI juga. Di bagian ini, KONI Sulteng punya kekurangan dokumen di salah satu surat. Yang itu memang peraturan yang baru diterapkan di tahun menjelang PON Aceh-Sumut. Jadi ada perkembangan peraturan.
Waktu itu aturannya diterapkan kalau perpindahan atlet ke daerah lain harus ada surat mutasi yang diajukan oleh daerah yang baru ke daerah yang lama. Nah, di situ KONI Sulteng kekurangan waktu untuk mensubmit surat mutasi itu.
Saya lihat DKI Jakarta juga berstrategi ya, karena menggugat KONI Sulteng di waktu-waktu injury time. Jadi waktunya sudah menjelang PON, baru DKI mempermasalahkan hal ini. Di situ kan kalau ada proses gugatan lagi akan memakan waktu. Sedangkan, PON sudah mau dimulai.
Saya juga tak diam saja, saya berjuang untuk mewakili Sulteng. Jadi ada tarik-menarik di situ. Tapi saya hanya bisa mengikuti arahan pelatih saya dan fokus ke renangnya saja. Karena dari Aquating Indonesia Federasi itu saya sudah resmi pindah ke Sulteng.
Memang pihak Sulteng ingin saya tetap mewakili mereka, karena ya mereka yang berhak menerima hasil dari prestasi yang saya dapatkan nantinya, karena mereka juga yang membina saya dan sudah dua tahun. Namun, DKI Jakarta juga punya target tersendiri karena mereka mengejar perolehan medali supaya bisa juara umum. Jadi ya itu tadi saling tarik-menarik. Bahkan sampai hari pertama pertandingan, masalah ini masih nyangkut gitu, belum selesai. Masih saling bertubrukan antara KONI DKI Jakarta dan KONI Sulteng.
Tapi saya berterima kasih ke Sulteng karena berbesar hati sudah membina saya, sudah mendidik saya sampai bisa berprestasi, sampai kemarin bisa salah satu target hidup saya di dunia renang juga bisa tercapai. Namun, pada saat PON, saya malah dipaksa untuk mewakili daerah lain. Memang karena ada aturan yang berlaku seperti itu dan ada keputusan Dewan Hakim PBPON itu. Saya akhirnya harus mewakili provinsi DKI Jakarta.
Saat itu, ketika diputuskan mewakili DKI Jakarta, apa yang Anda rasakan?
Saya kecewa. Selama ini, sejak kepindahan itu, saya sudah punya rencana untuk mewakili Sulteng. Dengan adanya keputusan bahwa saya harus mewakili DKI Jakarta, ini berarti kan ada masalah baru yang timbul, yang juga berpotensi akan mengganggu persiapan saya. Waktu diumumkan itu posisi saya lagi di Australia. Jadi memang istilahnya saya enggak bisa berbuat apa-apa juga.
Keputusannya itu sebelum PON, ya?
Iya, sebelum PON. Karena posisi saya kan di luar negeri, jadi untuk mengurus proses perpindahan itu, saya enggak bisa datang langsung.
Saya juga merasa enggak dihargai saja, karena DKI Jakarta, istilahnya hanya mengklaim hasil prestasi saya. Sedangkan, mereka, di sisi lain tidak melalui proses pembinaan, tidak melaksanakan proses pembinaan agar saya bisa berprestasi. Di situ memang ada kekecewaan dan rasa dicurangi lah.
Dampaknya saat PON seperti apa?
Pastinya ada satu dua hal yang akhirnya enggak sesuai rencana. Tapi, saya sendiri sebagai atlet fokusnya saat PON, ya untuk perform. Dan alhamdulillah memang mental saya bisa berfokus untuk pertandingan. Jadi masalah-masalah yang terjadi antara KONI DKI dan KONI Sulteng bisa dipasrahkan lah ke pelatih-pelatih dan orang-orang yang terlibat.
Namun, memang ada satu dua sikap yang harus saya ambil karena memang keputusan ini di luar keinginan saya.
Sebenarnya seberapa signifikan perbedaan kedua daerah itu dalam pembinaan?
Perbedaan signifikan dari biaya pembinaan. Karena, di DKI Jakarta bisa dikatakan kurang. Saya sendiri harus menanggung adik saya, ada ibu saya, ada nenek saya. Sementara, saya juga harus mengeluarkan biaya untuk berprestasi di bidang renang dan itu sangat berat. Di Sulteng, semua itu ditanggung mereka. Jadi saya punya pikiran yang tenang untuk bisa terus latihan tanpa mikir hal-hal itu lagi.
Kabarnya KONI Sulteng akan melaporkan kasus ini ke pihak penegak hukum, bagaimana kelanjutannya?
Memang kontingen Sulteng juga sudah ada pengacara untuk menggugat kembali DKI Jakarta. Mungkin permasalahannya yang saya paham adalah pengambilan atlet secara paksa, begitu mungkin ya.
Dan untuk proses hukum, saya belum ada kabar terbaru lagi dari Sulteng ataupun dari DKI Jakarta, juga dari pelatih. Jadi, saya enggak tahu prosesnya sampai mana sekarang. Tapi memang waktu di Medan saya juga sudah berbicara sama pengacara. Untuk proses selanjutnya, ya mungkin akan dilanjutkan oleh tim hukumnya Sulteng.
Kabarnya keputusan Anda mewakili daerah mana diambil saat technical meeting di sebuah hotel di Medan. Apakah Anda dilipatkan?
Kalau saya enggak bisa ikut technical meeting karena peraturan technical meeting itu maksimal per daerah hanya dua representatif. Saat itu yang mewakili provinsi pelatih saya satu sama manajer tim Sulteng
Poses technical meetingnya, saya kurang tahu seperti apa detailnya. Tapi saat technical meeting itu selesai hasilnya itu saya masih abu-abu, saya masih belum tahu mewakili daerah mana karena dari tim Sulteng informasinya berbeda dari tim DKI Jakarta. Jadi ada ketidakcocokan informasi yang disampaikan dua daerah itu.
Jadi saya masih abu-abu saat technical meeting-nya selesai, makanya ketika hari pertama pertandingan itu saya belum ada nomor. Di situ masih dirapatkan lagi.
Joe Aditya. (pon2024.id/Binsar Bakkara/PB PON)
Anda beberapa kali terlihat mengenakan jaket bertuliskan Indonesia saat PON, apa alasannya?
Ya, itu memang salah satu sikap saya. Karena di satu sisi saya kecewa pada DKI Jakarta tidak melepaskan saya untuk bisa bersama tim Sulteng yang sudah membina saya. Kedua DKI tidak pernah membina saya selama (dalam jangka) PON Papua selesai sampai PON Medan ini. Saya merasa tidak pantas kalau DKI itu terangkat namanya oleh saya, tidak berhak gitu.
Ke depan, apa yang akan Anda lakukan untuk mengantipasi kejadian serupa terjadi?
Untuk antisipasi, selanjutnya, yang pasti harus lebih mengetahui tentang peraturan. Karena, walaupun dari saya sendiri, saya sudah melalui semua tahapan proses perpindahannya, namun ada pihak luar yang juga harus berproses di luar diri saya begitu. Ada birokrasinya.
Jadi mungkin untuk selanjutnya jadi pelajaran bahwa memang harus mengetahui tentang segala aturannya dan selalu update untuk peraturan yang berlaku. Dan, lebih hati-hati dengan waktu karena kalau waktunya mepet jadi penghalang mengurus birokrasi.
Terkait dengan delapan medali emas yang Anda raih di PON 2024, apakah benar itu dipersembahkan untuk Sulteng meski mewakili DKI Jakarta?
Iya. Memang yang saya rasakan adalah daerah yang sudah membina saya yang pantas untuk mengambil hasil prestasi saya. Adilnya akan seperti itu.
Selanjutnya, soal rencana Joe Aditya setelah PON 2024.