Wawancara Reza Rahadian: Dua Dasawarsa di Seni Peran

9 hours ago 8

AKTOR kenamaan Reza Rahadian memilih memperingati dua dasawarsa perjalanannya sebagai seorang seniman dengan cara yang cukup berbeda, yaitu meluncurkan sebuah buku. Mereka yang Pertama, demikian judulnya, adalah karya reflektif setebal 184 halaman yang merekam jejak, berbagi cerita, serta mengenang tokoh-tokoh penting dalam kariernya.

Pilihan Editor: Wawancara Mouly Surya: Di Balik Proses Syuting Perang Kota

Berbicara kepada Tempo di pelataran Bentara Budaya, Jakarta Barat pada Senin, 28 April 2025, aktor sekaligus sutradara itu bercerita tentang kiprahnya di dunia seni peran, hingga proses penggarapan buku perdananya. Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Mereka yang Pertama menjadi penanda awal dari sebuah rangkaian program bertajuk Refleksi Dua Dasarasa.

Program delapan bulan yang akan berlangsung hingga akhir 2025 itu menggandeng berbagai medium seni—dari instalasi hingga panggung monolog. Di ARTJOG 2025 pada 20 Juni mendatang, pemeran B.J. Habibie dalam film Habibie & Ainun (2012) itu akan mempersembahkan pameran instalasi Eudaimonia.

Saat ini Reza juga tengah menyelesaikan film Pangku, debut penyutradaraannya—yang dijadwalkan tayang di dua festival film internasional serta diputar di Jakarta Film Week dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Pada Desember 2025, Ketua Komite Festival Film Indonesia (FFI) 2021-2023 itu juga akan tampil dalam monolog Dua Dasarasa yang naskahnya ditulis sutradara teater sekaligus sastrawan Agus Noor.

Reza Rahadian mengawali langkahnya di dunia seni peran pada usia 17 tahun, setelah mengikuti ajang Top Guest majalah Aneka Yess! pada 2004. Dari sana, ia mulai aktif tampil dalam sinetron-sinetron produksi Rapi Films serta film televisi Sumpah Kezia (2008) yang diproduksi Frame Ritz. Debut layar lebarnya dimulai lewat Film Horor (2007) yang disutradarai Toto Hoedi. Namanya mulai dikenal luas setelah bermain dalam Perempuan Berkalung Sorban (2009) garapan Hanung Bramantyo. Selama dua dekade, Reza secara konsisten hadir dan berkontribusi dalam dunia seni peran dan industri kreatif lewat berbagai karya di teater, film pendek, hingga layar lebar.

Bagaimana Anda merefleksikan perjalanan karier selama 20 tahun ini?

Saya merasa ada nilai-nilai tentang kesederhanaan, yang saya memaknai itu di tahun-tahun ini lebih mendalam. Terlepas dari apapun yang mungkin di mata publik lihat—lampu-lampu sorot, dan segala kemegahan dunia hiburan, ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada itu semua.

Itu yang saya mungkin petik dari perjalanan 20 tahun, perjalanan bukan tentang saya-nya, bukan aku-nya yang besar, tapi karyanya yang harus lebih besar. Keakuan itu menjadi nomor dua. Saya tidak melihat lagi perjalanan ini sebagai bentuk tentang ini loh aku, tapi monggo semoga karyanya bisa dinikmati. Jadi, lebih ke apa yang dihasilkan, dua pikiran, kata-kata, karya seni yang berbagai macam bentuknya, panggung, teater, film, sinetron, apa pun. Itu yang paling reflektif.

Apa makna paling dalam yang Anda rasakan hari ini dibanding ketika pertama memulai karier?

Mengingat kembali bahwa tidak ada perjalanan yang betul-betul tunggal, bahkan sebagai penulis, yang mungkin ruangnya sangat personal pun, kalau tidak ada sumber inspirasi atau objek yang ditulis, maka perjalanan itu enggak bisa dibilang tunggal.

Karena ada objek lain untuk seseorang bisa menulis, dia butuh inspirasi, dia butuh objek-objek lain, subjek-subjek lain yang perlu direnungkan untuk kemudian melahirkan, bahkan peristiwa kadang-kadang bisa sangat menginspirasi orang dalam penulis. Itu yang saya maknai beberapa waktu ini, salah satunya saat penyutradaraan (film Pangku).

Penyutradaraan itu proses yang sangat kompleks, tapi sekaligus itu membuat saya nyaman di lokasi, datang dengan anak-anak di belakang layar, rambut enggak ada yang peduli, riasan. Tapi tentu berbeda cerita ketika ada di depan layar sebagai aktor, bukan sebagai Reza Rahadian. Itu lain, saya sedang melayani cerita, maka jadi pelayan yang baik bagi cerita itu.

Dari begitu banyak medium untuk mendokumentasikan perjalanan karier seni peran, mengapa Anda memilih buku?

Ini (menulis) buat saya sangat personal. Tulisan itu penting. Saya hidup dari membaca. Saya bukan seseorang yang menempuh jalur pendidikan sampai tinggi. Sehingga, bahan apa sih yang saya punya untuk saya bisa berbicara? Wawasan berpikirnya bisa ditambah? Itu karena membaca. Jadi sepenting itu arti tulisan.

Kedua, skenario selalu tentang tulisan. Tidak ada film ketika tidak ada bentuk naskah yang lahir. Ini yang membuat saya punya hubungan personal yang emosional terhadap kenapa buku itu menjadi sangat penting. Oma saya dulu pernah menulis sebuah buku, pernah dibuatkan sebuah buku.

Ibu saya adalah penulis yang tidak pernah satu pun karyanya terbit, tapi beliau adalah orang yang banyak menuliskan perasaannya dalam bentuk jurnal. Sehingga saya sudah terbiasa dari kecil, dan itu proses yang sehat. Mungkin saya justru bisa mengamini sekarang, perjalanan keaktoran itu perjalanan yang berat kaitannya dengan mental. Kondisi mentalnya sangat rapuh.

Tapi karena journaling, yang saya lakukan dari 2004, itu sekarang saya baru menyadari, “Oh, mungkin juga proses-proses kesembuhan itu bisa lebih cepat karena saya menulis.” Banyak perasaan yang saya tuliskan. Jadi semua itu tidak cuma disimpan. Proses saya menulis itu sangat therapeutic, karena di situ Anda punya kebebasan penuh.

Tapi ruang itu menjadi satu. Sehingga Anda bisa punya kepercayaan terhadap kertas dan pena, sebagai teman—untuk mencurahkan semua isi pikiran tanpa takut, semuanya nyaman, safe space. Itu yang membuat saya rasanya, “Oh, kalau ada orang yang bertanya, ‘Kok kamu kuat sih mentalnya menghadapi tekanan?’” Karena menulis. Ini rahasianya, menulis.

Dalam buku Mereka yang Pertama, apakah ada cerita atau sosok yang paling emosional atau paling berharga bagi Anda?

Tentu ibu, kemudian insan film. Tapi ada tiga tokoh yang ikut menulis dalam buku ini. Selain mereka yang memberikan komentar, ada satu bagian khusus yang kami beri judul Kata Mereka—itu bab tersendiri, opini. Pertama, ada Bu Christine Hakim, beliau menulis kata pengantar. Mas Garin Nugroho menulis bridge, tentang tubuh intelektual. Dan terakhir, saya merasa sangat terhormat, bangga, dan bersyukur banget, karena Mas Goenawan Mohamad menulis epilog.

Saya mendekati beliau gitu ya, saya bilang, “Mas, berkenan ya, mas untuk menulis epilog?” Dan beliau menjawab, “Anda menulis? Sudah waktunya. Saya akan tulis (epilognya).” Waktu saya mendengar itu, saya hanya bisa bilang, itu perasaan yang hanya bisa saya syukuri.

Bahwa di perjalanan ini—yang sebenarnya belum terlalu panjang ya, baru 20 tahun—saya bisa dipertemukan, mempertemukan, bahkan mungkin mempersatukan beberapa orang hebat dalam satu waktu bersamaan. Salah satunya adalah Mas Goenawan. Beliau adalah sosok yang sangat saya hormati dalam dunia sastra Indonesia. Saya itu pengagum beliau. Catatan Pinggir adalah salah satu segmen di Tempo yang sering saya baca.

Berapa lama proses penulisan buku ini dari ide awal sampai akhirnya naik cetak?

Kalau ide lahir sekitar Oktober 2024. Kemudian saya mulai menulis pada Desember, 1-2 halaman. Saya mendisiplikan diri untuk setiap hari harus ada materi yang saya tulis. Enggak boleh enggak. Walaupun itu hanya 2 halaman, 3 halaman. Pokoknya harus selalu ada, saya juga langsung paralel dengan editor dan menulis melalui aplikasi perpesanan. Jadi kalau ada yang kurang, saya juga bisa langsung memproses di dalamnya.

Karena ada target (terbit) bulan April, itu adalah bulan tepat 20 tahun karier. Prosesnya cukup cepat dan tidak terlalu sulit sebenarnya. Bukan karena semuanya mudah. Tapi memang karena yang saya tulis juga sangat personal. Kemudian konsep bukunya itu, di dalam buku itu memang ada tulisan tangan. Jadi, font yang ada di buku itu ada tulisan tangan saya yang dibuat menjadi font. Ada tulisan sambung dan ada tulisan cetak.

Ada berapa tokoh dalam buku?

Sekitar 43 ya, mungkin lebih.

Setelah berkiprah 20 tahun di industri kreatif dan seni peran, ada hal lain yang ingin Anda eksplorasi?

Berkarya. Setelah ini, ada banyak kegiatan-kegiatan yang mungkin saya tidak banyak bagikan ke publik. Kegiatan-kegiatan yang selama ini saya fokus di aktivisme dalam dunia pendidikan di YAPPIKA-ActionAid. Sebuah organisasi yang sudah hampir 10 tahun saya bekerja di dalamnya secara pro bono. Itu akan tetap berjalan.

Selebihnya, mudah-mudahan karir seradar adalah karier sutradara adalah karier yang akan saya tempuh. Semoga tidak hanya melahirkan Pangku, tapi juga melahirkan film-film berikutnya. Tentu tidak meninggalkan dunia seni peran. Itu dunia yang saya enggak mungkin bisa tinggalkan.

Nama: Reza Rahadian Matulessy

Lahir            : Bogor, 5 Maret 1987

Debut akting: Serial Bidadari (figuran)

Biodata:

Debut Film   : Film Horor (2007)

Piala Citra    : 4 - Perempuan Berkalung Sorban (2009)

                      - 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)

                      -  Habibie & Ainun (2013)

                      -  My Stupid Boss (2016)

Buku             : Mereka yang Pertama 

Pilihan Editor: Menulis Jadi Ruang Aman Reza Rahadian untuk Bercerita

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |