10 Tokoh Peristiwa Malari 1974: Hariman Siregar, Adnan Buyung Nasution, Rahman Tolleng, hingga Yap Thiam Hien

5 hours ago 9

TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan pemerintah Indonesia membuka keran kerja sama ekonomi dengan Jepang pada awal 1974 mengundang petaka, peristiwa Malari pun terjadi. Beberapa pihak memprotes kebijakan itu lantaran dianggap memeras ekonomi Indonesia dan membunuh pengusaha lokal.

Sejumlah mahasiswa mengajak Presiden ke-2 RI Soeharto duduk bersama untuk membahas polemik ini. Namun, diskusi tak membuahkan hasil. Justru, Soeharto malah mengundang Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malapetaka pun pecah pada 15 Januari tahun itu. Malam sebelum kejadian, Tanaka tiba di Indonesia via lapangan udara Halim Perdanakusuma. Mahasiswa rencananya mencegat Soeharto seusai menjemput Tanaka, sebelum kembali ke Istana negara.

Mahasiswa kecele. Soeharto ternyata memapak tamu kenegaraan itu menggunakan helikopter. Kecewa, mahasiswa kemudian berkumpul di Universitas Indonesia (UI). Rencana mereka, besoknya akan turun aksi mendatangi Soeharto. Titik kumpulnya di Universitas Trisakti.

Sayangnya, unjuk rasa berubah peristiwa berdarah. Demonstran berlaku anarkis yang ditanggapi dengan tindakan represif oleh aparat keamanan. Belasan nyawa melayang, ratusan orang luka, dan kerugian materi dalam jumlah besar.

Insiden itu dikenang dengan nama Peristiwa Malari, akronim Malapetaka Lima Belas Januari. Aksi menyampaikan tuntutan ihwal pembubaran asisten pribadi, penurunan harga-harga barang, dan pemberantasan korupsi itu menjadi ajang anti Jepang.

Tokoh-tokoh Peristiwa Malari

Dikutip dari Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru Manajemen Konflik, Malari, Petisi 50 dan Tanjung Priok (2010) oleh Eep Saefullah Fatah, ide menggelar demonstrasi itu diutarakan oleh mahasiswa UI, Hariman Siregar. Dua rekannya, Bambang Sulistomo dan Theo Sambuaga, lalu ditunjuk sebagai koordinator aksi dari dewan mahasiswa UI.

Selain Hariman, Theo dan Bambang, beberapa nama yang juga dikenal sebagai tokoh Peristiwa Malari yaitu Judilherry Justam, Sjahir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis dan Rahman Tolleng. Lalu Aini Chalid, Adnan Buyung Nasution, Sarbini Sumawinata, Dorodjatun Kuntjorojakti, Fahmi Idris, Subadio Sastrosatomo, dan Laksamana Muda Mardanus, serta Eko Jatmiko, Yessy Moninca, dan Remy Leimena.

Adapun sebagai buntut peristiwa Malari 1974, polisi dan tentara menangkap banyak orang. Sebanyak 775 orang jadi pesakitan, termasuk para aktivis politik dan mahasiswa. Mereka ditahan berdasarkan Undang-Undang Antisubversi. Mengutip majalah Tempo dalam Edisi Khusus Malari, yang terbit 13 Januari 2014, para tahanan kebanyakan dibebaskan karena kurang bukti.

Yap Thiam Hien dan Mochtar Lubis dilepas setelah setahun ditahan. Adnan Buyung Nasution dibebaskan pada Oktober 1975 bersama sebelas mahasiswa, di antaranya Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Hanya Hariman Siregar dan Sjahrir dari Universitas Indonesia serta Aini Chalid dari Universitas Gadjah Mada yang disidangkan ke pengadilan.

Ketiganya dipasalkan melakukan perbuatan subversi dan makar. Jaksa menggunakan pernyataan Hariman dan Sjahrir dalam sejumlah pertemuan Dewan Mahasiswa UI dan Gerakan Diskusi UI untuk menjerat keduanya sebagai koordinator lapangan dan diduga otak Peristiwa Malari.

Ada sejumlah kejanggalan dalam peradilan. Dalam persidangan, sejumlah saksi menarik keterangannya di berita acara pemeriksaan. Ada yang mengaku tak sadar dan merasa terancam saat memberikan kesaksian. Beberapa yang lain tak tahu keterangannya digunakan untuk menjerat Hariman dan Sjahrir. Jaksa akhirnya bergantung pada informasi intelijen Operasi Khusus.

Anehnya, meski tak cukup bukti menggerakkan kerusuhan, Hariman Siregar dijatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan penjara pada 21 Desember 1974. Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya Kamis malam, 12 Juni 1975, giliran Sjahrir yang divonis berupa 6 tahun 6 bulan penjara. Sedangkan Aini Chalid, mahasiswa UGM itu divonis bui selama 2 tahun 2 bulan.

Berikut profil beberapa tokoh Peristiwa Malari:

1. Hariman Siregar

Dr. Hariman Siregar adalah seorang aktivis reformasi Indonesia kelahiran 1 Mei 1950. Dia, bersama Theo Sumbaga, Bambang Sulistomo, Syahrir, Muhammad Aini Chalid dan Judilherry Justam dikenal sebagai tokoh utama peristiwa Malari. Sebelum peristiwa bersejarah itu, ia merupakan Ketua Dewan Mahasiswa (DM) UI setelah terpilih melalui pemilihan yang diintervensi pemerintahan Orde Baru melalui Ali Murtopo.

2. Theo Sumbaga

Dr. Drs. Theo L. Sambuaga, MIPP., lahir di Manado pada 6 Juni 1949. Dia adalah mantan Anggota DPR RI dan Menteri Tenaga Kerja Kabinet Pembangunan VII (1998) dan Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Permukiman Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999).

3. Bambang Sulistomo

HM. Bambang Sulistomo, S.IP, M.Si lahir di Yogyakarta, 22 April 1950. Putra Pahlawan Nasional Sutomo alias Bung Tomo ini menjabat sebagai Ketua Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Ia juga sempat aktif sebagai pengajar berbagai mata kuliah di sejumlah Perguruan Tinggi.

Pada 2009 hingga 2014 aktivis 1974 ini pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri bidang Politik Kebijakan Kesehatan. Bambang juga merupakan founder Lembaga Pengkajian Sosial Politik dan Ketahanan Nasional (LPSPKN).

4. Syahrir

Dr. Syahrir dikenang seorang aktivis, ekonom dan politisi kelahiran 24 Februari 1945. Ia merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang namanya disebut-sebut dalam Peristiwa Malari. Ia telah mangkat pada Juli 2008 silam. Semasa hidupnya Sjahrir dikenal sebagai aktivis dan ekonom yang telah malang melintang dalam gerakan sosial politik yang antikorupsi.

5. Muhammad Aini Chalid

Muhammad Aini Chalid merupakan mahasiswa Fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada (UGM) saat peristiwa Malari pecah. Usai peristiwa itu Chalid divonis 2 tahun 2 bulan penjara. Namun keberadaannya kini belum diketahui pasti. Sempat tersiar kabar jika ia meninggal dunia di negeri orang.

6. Judilherry Justam

Dr. Judilherry Justam, M.M. adalah seorang aktivis reformasi Indonesia kelahiran 27 September 1948. Sebelum peristiwa bersejarah itu, ia merupakan Ketua Dewan Mahasiswa UI, lalu kemudian menjabat Sekteraris Jenderal Dema UI, setelah Hariman terpilih jadi ketua.

Namanya sempat mencuat menjelang sidang umum MPR tahun 1978. Kala itu ia menyatakan akan mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Meski baru lulus dari kedokteran dan belum genap 30 tahun, ia merasa terpanggil untuk mencalonkan diri menjadi presiden karena gemas, tak ada satu tokoh pun yang berani mencalonkan diri.

7. Yap Thiam Hien

Yap Thiam Hien merupakan pengacara Indonesia keturunan Tionghoa-Aceh. Lahir 25 Mei 1913, sosok yang mengabdikan hidupnya untuk menegakkan keadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ini tutup usia pada 25 April 1989 silam.

Setelah kerusuhan Malari 1974, ia ditahan selama setahun dan menolak menerima konsesi apa pun. Namanya diabadikan dalam penghargaan Yap Thiam Hien Award, yaitu penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang atau lembaga yang berjasa besar dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. Majalah Tempo pernah menerima penghargaan ini pada 2012.

8. Mochtar Lubis

Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis dan novelis Indonesia yang turut mendirikan Indonesia Raya dan majalah sastra bulanan Horison. Ia lahir 7 Maret 1922 dan wafat pada 2 Juli 2004. Peristiwa Malari bukanlah kali pertama di mana dirinya dipenjara karena sikap kritisnya. Dia pun pernah menjadi tahanan politik era Presiden pertama Sukarno. Bagi penggemar sastra, namanya mungkin tidak asing.

9. Adnan Buyung Nasution

 Adnan Buyung Nasution merupakan salah satu tokoh peristiwa Malari yang telah wafat pada Rabu, 23 September 2015. Tak hanya bagi yang berkecimpung di dunia hukum dan kalangan pengacara. Buyung, sapaannya, dikenal sebagai seorang advokat andal, aktivis pro demokrasi dan pendiri Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Dia adalah pendiri Lembaga Bantuan Hukum atau LBH yang jasanya terus terasa. Hatinya terenyuh ketika melihat para terdakwa yang pasrah menerima dakwaan. Berangkat dari sana, Buyung lantas menggagas berdirinya lembaga itu.

Bagi Buyung, terdakwa belum tentu bersalah. Mereka butuh pembela. Namun sayangnya banyak tersangka yang tak mampu membayar pengacara. Saat di persidangan mereka tidak bisa membela diri.

10. Abdul Rahman Tolleng

Abdul Rahman Tolleng adalah seorang aktivis dan politisi asal Indonesia. Pria kelahiran 5 Juli 1937 ini meninggal pada 29 Januari 2019 lalu. Rahman pernah menjabat sebagai anggota DPR Gotong Royong (DPR-GR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun 1968 hingga 1971 dan kemudian menjadi anggota DPR/MPR dari 1971 sampai 1974.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |