Bedah Buku Hope Never Disappoints: Paus Fransiskus Bicara Tentang Genosida di Gaza

17 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus telah menyerukan agar penyelidikan digelar untuk memastikan apakah telah terjadi genosida di Jalur Gaza akibat agresi Israel ke wilayah tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh Media Vatikan, Minggu, 17 November 2024.

Pernyataan itu diambil dari kutipan Paus dalam buku berjudul Hope Never Disappoints. Pilgrims Towards a Better yang akan diterbitkan untuk peringatan Yubelium 2025.

Dalam satu bagian, Paus menyebutkan krisis kemanusiaan di Gaza dengan mengatakan bahwa apa yang telah terjadi harus diselidiki. Berbicara tentang negara-negara yang menerima pengungsi perang, ia berkata, "Di Timur Tengah, di mana pintu terbuka negara-negara seperti Yordania atau Lebanon terus menjadi penyelamat bagi jutaan orang yang melarikan diri dari konflik di wilayah tersebut: Saya terutama memikirkan mereka yang meninggalkan Gaza di tengah kelaparan yang telah melanda saudara-saudari Palestina mereka mengingat sulitnya mendapatkan makanan dan bantuan ke wilayah mereka."

"Menurut beberapa pakar," tulis Paus Fransiskus, "apa yang terjadi di Gaza memiliki ciri-ciri genosida. Peristiwa ini harus diselidiki secara saksama untuk menentukan apakah peristiwa ini sesuai dengan definisi teknis yang dirumuskan oleh para ahli hukum dan badan-badan internasional."

Untuk diketahui, buku berjudul Hope Never Disappoints. Pilgrims Towards a Better World ini dirilis menjelang peringatan yubileum Paus yang berlangsung selama 2025, yang diperkirakan akan dihadiri lebih dari 30 juta peziarah ke Roma untuk merayakannya, dikutip dari Al Jazeera.

Buku tersebut akan diterbitkan oleh Hernan Reyes Alcaide, penerbit Edizioni Piemme pada hari Selasa, 19 November di Italia, Spanyol, dan Amerika Latin, dan kemudian di negara-negara lain. 

Lantas apa yang dibahas dalam buku ini? 

Menurut laman Palestine Chronicle, buku ini mengupas isu-isu global terkini tentang perang, pengungsian, dan pencarian harapan, dengan krisis kemanusiaan di Gaza menjadi pusat perhatian dalam beberapa bagian. Beberapa bagian dari buku tersebut juga telah diterbitkan di surat kabar Italia La Stampa sebelum dirilis.  

Paus asal Argentina itu sering menyesalkan banyaknya korban perang Israel di Gaza, di mana jumlah korban tewas mencapai 43.846 orang, sebagian besar dari mereka warga sipil, menurut Kementerian Kesehatan wilayah itu.

Namun seruannya untuk melakukan penyelidikan menandai pertama kalinya ia secara terbuka menggunakan istilah "genosida", meskipun tanpa mendukung penggunaannya, dalam konteks serangan militer Israel di Gaza. 

Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik yang beranggotakan 1,4 miliar orang, biasanya dikenal berhati-hati untuk tidak memihak dalam konflik internasional, dan menekankan deeskalasi. Namun, ia telah meningkatkan kritiknya terhadap perilaku Israel dalam perangnya melawan Palestina sejak beberapa waktu terakhir. 

Dikutip dari laman Sky News,  dalam buku itu, Paus juga membahas tentang migrasi. Paus Fransiskus mengatakan "tidak ada negara yang bisa dibiarkan sendirian dan tidak ada yang bisa berpikir untuk mengatasi masalah ini secara terpisah melalui undang-undang yang lebih ketat dan represif".

Ia mengatakan bahwa undang-undang semacam itu terkadang dapat "disetujui di bawah tekanan rasa takut atau untuk mencari keuntungan elektoral".

Selain itu, ia juga menambahkan: "Seperti halnya kita melihat adanya globalisasi ketidakpedulian, kita harus meresponsnya dengan globalisasi amal dan kerja sama."

Dikutip dari laman resmi Piemme, dalam buku yang terdiri atas 176 halaman ini, dikatakan bahwa dunia adalah tempat yang semakin gelap, yang jika melihat ke sekeliling maka terlihat seperti skenario yang suram: perang, kemiskinan, kelaparan, bencana lingkungan, konflik sosial. Namun manusia tidak bisa membiarkan hal ini membuatnya menjadi pasif, menutup diri, pasrah. Dan manusia tidak boleh kehilangan harapan.

"Belajar untuk hidup sebagai 'peziarah harapan' inilah yang diminta oleh Paus Fransiskus kepada kita saat kita bergerak menuju Tahun Yubileum 2025, sebuah peristiwa penting yang, jika dijalani dengan cara yang benar, dapat menjadi kesempatan yang tidak dapat diulang untuk kelahiran kembali bagi seluruh umat manusia, di masa-masa yang ditandai dengan ketidakstabilan, bencana, dan rasa takut yang meluas."

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |