Buku Puisi Penyair Aceh Faridha, Dialog Personal hingga Isu Kemanusiaan

1 day ago 9

TEMPO.CO, Jakarta - Penyair Aceh Faridha meluncurkan buku Suatu Waktu, Suatu Ruang, Ketika Hati Menyentuh Kata di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu, 4 Januari 2025. Acara itu diwarnai dengan pembacaan puisi dan diskusi buku itu dengan pembicara kritikus sastra Maman S. Mahayana dan sastrawan D. Kemalawati.

Adapun pembaca puisi, antara lain, Devie Matahari, Fikar W. Eda, Imam Ma’arif, Helvy Tiana Rosa, Octavianus Masheka, Fanny J Poyk, dan Faridha. Selain itu, ada pula musikalisasi puisi Sasina IKSI FIB-UI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku ini berisi 61 puisi yang dibagi empat bagian. Bagian satu berisi 24 puisi, bagian dua 12 puisi, bagian tiga 14 puisi, dan bagian empat berisi 11 puisi. Maman S. Mahayana menyoroti keunikan puisi-puisi Faridha yang mengalir alami dan jujur. Tidak berpretensi berindah-indah dan rumit. “Puisi Faridha memberikan pengalaman personal yang dapat dirasakan secara universal,” ungkapnya.

Menurut Maman, puisi bagi Faridha tampaknya bagai percik cahaya Tuhan yang menggerakkan alam bawah sadarnya untuk menyampaikan pewartaan, kisah tentang sesuatu atau tentang apa pun untuk berbagi permenungan. “Maka, kita menikmati puisi-puisi dalam buku ini seperti lepas begitu saja: mengalir tanpa beban, tanpa pretensi hendak mengubah dunia atau berharap dapat menggegerkan jagat perpuisian Indonesia.”

Tetapi, Maman melanjutkan, justru dengan begitu pesannya tidak menjelma khotbah. Suaranya sejuk, bening, dan terasa bersahaja lantaran tidak digayuti semangat mendayu-dayu. Ada pula kesan penyair sengaja menghindar kerja keras dengan coba mengindah-indahkan bahasa. “Jadilah segalanya tampak wajar, mengalir, dan bergerak tanpa perlu berteriak lantang,” tutur  pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini.

Peluncuran dan diskusi buku puisi Suatu Waktu, Suatu Ruang ketika Hati Menyentuh Kata karya Faridha di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TiM) Jakarta, 4 Januari 2025. Pembicara: Maman S Mahayana (paling kiri), Faridha, dan D Kemalawati dengan moderator Mustafa Ismail. Foto: Istimewa

Secara tematik, sebagian besar puisi Faridha cenderung bermain dengan problem dirinya dalam berhadapan dengan berbagai peristiwa yang melingkarinya. Ia menarik berbagai peristiwa itu yang lalu membuatnya melakukan introspeksi: memaknainya berdasarkanpemahamannya atas peristiwa itu.

Puisi-puisinya berjudul “Monolog”, “Introspeksi”, “Gelisah”, dan “Bagaimana”, misalnya, beberapa contoh yang model pengucapannya sebagai suara yang datang dari kedalaman batinnya. Ia tidak menilai makna di balik peristiwa,  melainkan mengungkapkan sebagai peristiwa batin, sebagai monolog interior yang coba diekspresikan menjadi pewartaan.

Selain itu, ia juga masuk ke problem-problem kemanusiaan. Hal itu bisa dilihat dalam puisi “Oh Dunia”. Menurut Maman, puisi “Oh Dunia” bisa dikatakan bentuk refleksi evaluatif atas terjadinya dehumanisasi yang melanda berbagai bangsa di belahan dunia. “Pengucapan penyair pada puisi “Oh Dunia” terasa agak berbeda dibandingkan puisi lainnya yang ada dalam buku ini,” ujarnya.

Maman mengutip petikan puisi “Oh Dunia” sebagai berikut:

... Tubuh-tubuh kurus di afrika

sorot mata hampa

terbaca di setiap sudut pandang

nyanyikan balada kematian, kelaparan dan perang

lantas di mana mimpi dan harapan mereka tertinggal

di benua yang sama, banyak lelaki berpeci, tua, muda

berdoa dengan air mata sederas sungai

lalu di mana hilangnya ketegaran mereka

sebab perih tak lagi terbendung dalam keperkasaan

...

dan sejarah pun mengalir

di setiap jalan, di pipi sang anak

di dada ayah, juga wajah kekasih

di batas kota, ada isak si ibu, tangis si anak

lambaian perpisahan, potret suram ketidakpastian

oh Bosnia tempat pembantaian suatu etnis

dan seluruh dunia jadi penonton

Adapun D. Kemalawati mengenang kontribusi Faridha pada era 1990-an yang aktif menulis di berbagai media di Aceh. Kala itu, Faridha kerap menyiarkan puisi-puisinya di koran lokal terutama di Aceh. Menurut dia, Faridha salah seorang di antara sedikit penyair perempuan di Aceh. “Ia seangkatan dengan penyair Wina SW,” tutur penyair Aceh tersebut.

Menurut Dek Nong, sapaan akrab penyair yang mantan Kepala Taman Budaya Aceh itu, Faridha sempat lama vakum setelah ia hijrah ke Jakarta. “Kini, ia kembali dengan karya yang menggembirakan,” katanya. Ia pun merasa bahagia karena ada perempuan penyair Aceh yang meluncurkan dan mendikusikan bukunya di Taman Ismail Marzuki.

Sampul buku puisi Suatu Waktu, Suatu Ruang ketika Hati Menyentuh Kata karya Faridha. TEMPO/Mustafa Ismail

Kemalawati mengatakan, sangat sedikit penyair perempuan Aceh yang aktif dan telah melahirkan buku. Nama-nama mereka bisa dihitung dengan jari. Paling senior adalah Rosni Idham dengan bukunya Sawang Mane Erat Sekejap (1988). Penyair perempuan lainnya adalah Wina SW, Zubaidah Djohar, Larasati Sahara, dan D Kemalawati sendiri.

Ia mengatakan salah satu puisi Faridha yang sangat ia sukai berjudul “Cerita Perjalanan”  Menurut Kemalawati, puisi yang ditulis Faridha pada 1987 itu adalah puisi dengan gaya khas penyair Aceh tahun 1980-an. “Berimajinasi, lugas, dan lepas tetapi tetap memiliki misi,” ujar Kemalawati.

Berikut kutipan utuh puisi tersebut:

Cerita Perjalanan

Tanah ini tinggal satu batas

buatlah sepotong syair untuknya

malam usai kian larut, panjang

kelak lahir monumen tentangnya

Tanpa permulaan pasti

tiba-tiba jadi penyair

akrab dengan kertas dan pena

Faridha, kelahiran Pulau Weh, Sabang, pada 16 September 1968, mulai menulis sejak remaja. Dorongan dari sang ibu yang mencintai sastra menjadi awal mula perjalanannya. “Buku-buku yang dibaca ibu saya menjadi inspirasi awal. Saya berharap karya-karya ini dapat menyentuh hati pembaca,” ungkap Faridha.

Selain puisi, ia juga menulis cerita pendek di majalah populer seperti Anita Cemerlang dan Gadis, serta novelet untuk Kartini. Namun cerita-cerita itu belum dibukukan.

Sebelum hijrah ke Jakarta, Faridha menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Teknik Kimia, Universitas Syiah Kuala. Selanjutnya ia meraih gelar master dan doktor ilmu lingkungan di Universitas Indonesia. Sejak 1995, ia berkarier di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Peluncuran buku Suatu Waktu, Suatu Ruang, Ketika Hati Menyentuh Kata menjadi momentum kembalinya Faridha ke dunia sastra setelah sekian lama menghilang. Buku ini disebut sebagai representasi suara perempuan Aceh yang kuat dan mampu memberikan perspektif khas budaya Aceh.

Acara dihadiri puluhan orang dari kalangan sastrawan, seniman, penulis, wartawan, hingga teman-teman dan keluarga Faridha. Suguhan kopi arabika Gayo dan aneka camilan yang bisa dinikmati sebelum dan seusai acara memperlengkap peluncuran buku ini. *

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |