(Beritadaerah-Kolom) Di balik percakapan sehari-hari tentang harga minyak goreng, beras, atau ongkos becak motor, tersembunyi kisah besar tentang ekonomi. Bukan ekonomi yang rumit dan penuh grafik di layar Bloomberg, tapi ekonomi yang bisa kita lihat langsung dari isi kantong sendiri. Bagaimana harga-harga berubah, seberapa jauh uang bisa dibelanjakan, dan apakah penghasilan kita masih cukup untuk bertahan hidup atau mulai tergerus oleh waktu? Pertanyaan-pertanyaan ini secara tidak langsung dijawab oleh satu indikator penting: Indeks Harga Konsumen (IHK).
IHK, meski terdengar seperti istilah dari dunia para ahli statistik, sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia mencatat perubahan harga barang dan jasa yang biasa kita beli—dari beras dan cabai sampai biaya pendidikan dan transportasi. Ketika angka IHK naik, itu berarti harga-harga naik. Dan saat harga-harga naik, pertanyaan berikutnya adalah: apakah daya beli kita ikut naik? Atau justru tertinggal?
Itulah pertanyaan utama dalam melihat data dan dinamika ekonomi Kabupaten Aceh Tengah sepanjang tahun 2024. Sebuah wilayah yang dikenal dengan tanah Gayo-nya yang subur, kopi aromatiknya yang mendunia, dan masyarakatnya yang tangguh serta mandiri. Tapi, seperti banyak wilayah lain di Indonesia, Aceh Tengah juga menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara harga-harga yang terus naik dan kemampuan masyarakat untuk membeli kebutuhan dasar.
Mari kita mulai dengan data. Berdasarkan publikasi resmi dari BPS, IHK Aceh Tengah mengalami kenaikan dari 105,45 di Januari menjadi 107,46 di bulan Desember 2024. Ini berarti ada inflasi tahunan sekitar +1,91%, angka yang sebenarnya tergolong moderat dibandingkan rata-rata nasional.
Kalau kita pecah secara bulanan, terlihat bahwa kenaikan IHK terjadi secara perlahan dan stabil. Tidak ada lonjakan tajam, tapi juga tidak ada penurunan yang signifikan. Kenaikan konsisten ini memberikan kesan bahwa harga-harga di Aceh Tengah bergerak naik secara alami, mungkin karena faktor musiman, biaya distribusi, dan permintaan pasar lokal yang terus tumbuh.
Kenaikan paling terasa ada pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, yang menjadi penyumbang utama pembentukan IHK di Aceh Tengah. Kita tahu bahwa kebutuhan pokok seperti beras, minyak, dan sayur-mayur memiliki peran besar dalam pengeluaran rumah tangga. Maka saat harga-harga ini naik, meskipun hanya sedikit, efeknya langsung terasa di dapur keluarga.
Sekarang mari kita lihat dari sisi lain: apakah pendapatan masyarakat ikut naik seiring harga-harga? Atau justru stagnan?
Salah satu indikator penting dalam menilai daya beli adalah PDB per kapita. Data terakhir menunjukkan bahwa PDB per kapita Aceh Tengah mencapai sekitar Rp42,3 juta per tahun, atau sekitar Rp3,5 juta per bulan jika dibagi rata. Angka ini memang tidak kecil, tetapi juga belum bisa dikatakan tinggi jika dibandingkan dengan kebutuhan riil masyarakat, terutama di tengah inflasi tahunan.
Di sisi lain, kita juga melihat rata-rata pengeluaran per kapita per bulan yang diperkirakan berada di kisaran Rp1,8–2 juta. Ini mencakup makanan, transportasi, biaya pendidikan, hingga kebutuhan lainnya. Jika PDB per kapita dihitung sebagai potensi pendapatan rata-rata, maka selisihnya menunjukkan adanya ruang untuk konsumsi dan tabungan. Tapi sekali lagi, ini adalah rata-rata. Di balik angka itu, terdapat realitas bahwa sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal—seperti petani kopi, pedagang pasar, dan buruh tani—yang penghasilannya fluktuatif.
Kenaikan IHK sebesar 1,91% tidak akan terasa berat jika penghasilan juga naik setara. Sayangnya, di banyak wilayah pedesaan seperti Aceh Tengah, kenaikan pendapatan tidak selalu terjadi secara linier. Misalnya, para petani kopi yang sangat bergantung pada harga pasar internasional, cuaca, dan hasil panen. Tahun dengan curah hujan tinggi bisa mengganggu panen dan menurunkan volume hasil, sehingga walaupun harga jual naik, penghasilan bersih tetap bisa turun.
Di sisi lain, sektor informal lainnya—seperti penjual keliling, tukang, dan usaha kecil—menghadapi tekanan dari naiknya harga bahan baku dan transportasi. Jika mereka menaikkan harga jual, mereka berisiko kehilangan pelanggan. Jika tidak menaikkan harga, mereka menyerap kerugian sendiri.
Inflasi memaksa masyarakat menyesuaikan pola konsumsi mereka. Banyak rumah tangga yang mulai mengganti bahan makanan mahal dengan alternatif yang lebih murah. Daging merah diganti ayam, ayam diganti tahu-tempe, dan jika harga tahu-tempe naik, mereka beralih ke sayuran berprotein tinggi seperti kacang panjang atau bayam.
Transportasi juga menjadi salah satu pengeluaran yang disesuaikan. Warga yang biasa menggunakan ojek online mulai kembali jalan kaki jika jaraknya dekat, atau menumpang bersama. Hal serupa terjadi pada kebutuhan sekunder seperti pakaian dan hiburan. Beli baju baru ditunda, nonton bioskop diganti dengan tontonan gratis dari HP.
Dalam kondisi seperti ini, peran pemerintah menjadi sangat penting. Bantuan sosial, subsidi pupuk, akses kredit mikro, dan pelatihan keterampilan menjadi bentuk intervensi yang bisa membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan tekanan harga. Di Aceh Tengah, beberapa program pemerintah daerah seperti pengembangan UMKM berbasis lokal, promosi produk pertanian unggulan, dan perbaikan infrastruktur distribusi turut menjadi angin segar.
Namun tantangan tetap besar. Pemerintah daerah harus mampu membaca tren IHK secara jeli untuk mengantisipasi tekanan yang akan datang. Data IHK seharusnya menjadi dasar dalam merumuskan anggaran, menetapkan upah minimum regional, hingga mengukur efektivitas program bantuan.
Meski tekanan harga ada, masyarakat Aceh Tengah menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Mereka kreatif, berdaya, dan terus mencari cara agar tetap bisa hidup layak meski harga-harga naik. Pertanian kopi tetap menjadi tulang punggung ekonomi, dan jika dikelola dengan baik, sektor ini bisa menjadi motor peningkatan daya beli di masa depan.
IHK bukan hanya soal statistik. Ia adalah cermin dari kehidupan sehari-hari. Di balik setiap angka inflasi ada cerita tentang beras di dapur, baju anak sekolah, dan biaya ke Puskesmas. Dan dari semua itu, kita belajar satu hal penting: bahwa ekonomi bukanlah soal rumus, tapi soal manusia.
Indeks Harga Konsumen (IHK) Aceh Tengah tahun 2024 mencerminkan tekanan harga yang stabil namun nyata. Dengan inflasi tahunan sebesar +1,91% dan PDB per kapita sekitar Rp3,5 juta per bulan, masyarakat berada dalam posisi yang menantang namun masih adaptif. Pemerintah daerah memiliki peran kunci untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Ketika harga naik, pertanyaan penting bukan hanya “berapa?” tetapi “siapa yang paling terdampak?” Dan dari situlah, kebijakan harus disusun—berpihak pada yang paling rentan, dan mendorong yang paling potensial. Karena pada akhirnya, stabilitas ekonomi adalah tentang memastikan semua orang bisa hidup dengan harga yang terus berubah, tapi dengan harapan yang tetap tumbuh.