Dosen dan Peneliti UII: Risiko Penghentian Impor Pangan Jika Dilakukan Pemerintahan Prabowo

6 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menghentikan impor empat komoditas pangan strategis, yaitu beras, jagung, gula konsumsi, dan garam konsumsi pada 2025. Penghentian impor pangan ini bertujuan untuk mencapai swasembada pangan yang sejalan dengan visi pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memperkuat ketahanan pangan nasional.

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman berulang kali mengungkapkan targetnya ihwal swasembada pangan. Amran optimistis Indonesia bisa menghentikan impor sejumlah komoditas pangan, khususnya beras dan jagung.

"Seperti arahan Bapak Presiden, kita harus mewujudkan swasembada pangan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kalau semua kabupaten bergerak, target ini pasti terwujud," ucap Amran di Bangkalan, Jawa Timur, seperti dikutip dari keterangan resmi pada Selasa, 7 Januari 2025. Ia pun yakin tahun ini Indonesia bisa bebas dari impor beras karena produksi dalam negeri diproyeksikan meningkat. 

Data terbaru menunjukkan bahwa produksi beras nasional 2024 diperkirakan mencapai 30,34 juta ton, mengalami penurunan sekitar 2,43 persen dibandingkan 2023. Data ini menunjukkan adanya tantangan besar memastikan kecukupan produksi domestik. Sementara itu, impor jagung meningkat menjadi 1,3 juta ton selama Januari-November 2024 yang mengindikasikan ketergantungan signifikan terhadap pasokan luar negeri.

Dosen sekaligus peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani, melihat bahwa pada tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, tantangan kebijakan pangan semakin kompleks. Salah satu isu utama adalah alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non-pertanian yang mengancam kapasitas produksi domestik.

"Penerapan teknologi pertanian belum merata dan akses terbatas petani terhadap input pertanian, seperti pupuk dan benih unggul, menjadi hambatan signifikan dalam meningkatkan produktivitas," ata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Kamis,9 Januari 2024.

Pemerintah juga menghadapi risiko besar, jika penghentian impor pangan tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas produksi. Bahkan, penghentian impor pangan juga dapat melahirkan empat risiko utama sebagai berikut. 

1. Ketidakseimbangan Permintaan dan Penawaran

Proyeksi 2025 menunjukkan tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik, jika impor dihentikan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi beras nasional diperkirakan mencapai 31 juta ton, masih di bawah kebutuhan domestik yang diproyeksikan mencapai 32 juta ton. Defisit sebesar 1 juta ton ini dapat menjadi tekanan besar terhadap ketahanan pangan nasional.

Sementara itu, menurut Listya, di sektor jagung, kebutuhan domestik 2025 diperkirakan meningkat hingga 21 juta ton. Padahal, produksi jagung skala nasional baru mencapai 19,5 juta ton. Ketergantungan pada jagung impor pada 2024 mencapai 1,3 juta ton yang dapat mempersulit transisi menuju swasembada tanpa peningkatan signifikan dalam produktivitas.

2. Kenaikan Harga dan Inflasi Pangan

Penghentian impor 2025 tanpa peningkatan signifikan dalam produksi lokal berisiko mendorong kenaikan harga komoditas pangan. Proyeksi dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa inflasi pangan mencapai 6 persen pada 2025, jika suplai domestik tidak mencukupi.

Harga beras diperkirakan naik hingga 20-25 persen, sedangkan harga gula konsumsi meningkat lebih dari 15 persen dibandingkan 2024. Dengan sektor pangan menyumbang lebih dari 20 persen terhadap inflasi umum, lonjakan harga ini dapat memicu peningkatan inflasi nasional yang diperkirakan akan melampaui target BI sebesar 3,5 ± 1 persen.

"Kenaikan harga pangan tidak hanya membebani masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga memperburuk angka kemiskinan yang sekarang berada pada level 9,3 persen dari total populasi," kata Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu.

3. Risiko Ketergantungan Produksi Lokal yang Rentan

Produksi lokal pada 2025 diproyeksikan menghadapi tantangan semakin berat akibat perubahan iklim dan alih fungsi lahan. Curah hujan tidak menentu dan potensi kekeringan dapat menurunkan hasil panen hingga 10 persen, terutama di daerah penghasil utama, seperti Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Misalnya, produksi garam domestik pada 2024 hanya mencapai 2 juta ton, sedangkan kebutuhan domestik diproyeksikan meningkat hingga 4,7 juta ton pada 2025.

"Dengan kapasitas yang ada, bahkan dengan peningkatan produksi, Indonesia diperkirakan masih mengalami defisit 2 juta ton garam. Kondisi ini menimbulkan risiko terhadap keberlanjutan sektor industri yang bergantung pada garam sebagai bahan baku," ujar Listya.

4. Implikasi terhadap Sektor Industri

Penghentian impor pangan juga memengaruhi sektor industri makanan dan minuman. Pada 2025, industri makanan dan minuman yang menyumbang sekitar 7,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan akan menghadapi tekanan besar akibat tingginya harga bahan baku lokal. Jika pasokan gula konsumsi tidak mencukupi, biaya produksi sektor ini meningkat hingga 15 persen.

Menurut Listya, pada jangka panjang, kenaikan biaya ini dapat menurunkan daya saing produk domestik di pasar internasional, terutama dalam persaingan ketat dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Thailand. Penurunan daya saing ini juga berpotensi mengurangi ekspor yang pada 2024 telah berkontribusi sekitar 10 persen terhadap total pendapatan industri makanan dan minuman.

Pilihan Editor: Suku Bunga Acuan BI 6 Persen, Dosen dan Peneliti UII Ungkap Dampak Positif dan Negatif di Berbagai Sektor

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |