Ekonom Ingatkan Risiko Fiskal di Balik Skema Pinjaman Pusat ke Daerah

3 hours ago 8

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kalangan ekonom mengingatkan potensi risiko fiskal dari kebijakan baru yang memungkinkan pemerintah pusat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah (pemda), BUMN, dan BUMD menggunakan dana dari APBN. Mereka menilai, kebijakan ini perlu dijalankan dengan prinsip kehati-hatian agar tidak menimbulkan beban baru bagi keuangan negara di masa mendatang.

Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat, yang diteken Presiden RI Prabowo Subianto pada 10 September 2025.

Secara teori, kebijakan ini bisa mempercepat pembangunan infrastruktur dan mendorong aktivitas ekonomi di daerah. Namun, tanpa pengawasan fiskal yang kuat, dampaknya terhadap kesehatan APBN bisa signifikan.

“Di atas kertas, kebijakan ini dapat menjadi salah satu cara untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan mendorong kegiatan ekonomi di daerah. Namun, di sisi lain, potensi dampaknya terhadap kesehatan fiskal nasional tidak bisa dianggap ringan,” kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet saat dihubungi di Jakarta, Rabu (29/10/2025).

Yusuf mencontohkan pengalaman China, yang maba pembiayaan daerah sempat mempercepat pembangunan, tetapi kemudian menciptakan tumpukan utang lokal karena lemahnya pengawasan fiskal. “Indonesia perlu berhati-hati agar kebijakan serupa tidak menimbulkan risiko yang sama, yakni terjadinya liabilities tersembunyi yang membebani APBN di masa mendatang,” ujarnya.

Ia menekankan, setiap permohonan pinjaman harus diseleksi ketat berdasarkan kapasitas fiskal daerah, tingkat kemandirian keuangan, dan kelayakan ekonomi proyek yang akan dibiayai. Menurut dia, pengawasan independen dan transparansi laporan menjadi kunci mencegah penyalahgunaan dana publik.

“Tanpa disiplin fiskal dan akuntabilitas yang jelas, kebijakan ini justru berisiko menciptakan tekanan baru pada APBN, bukan memperkuatnya,” katanya.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin juga menilai kebijakan pinjaman ini harus dilakukan secara selektif dan transparan. Ia menyarankan agar pembayaran pokok pinjaman dilakukan secara berkala melalui pemotongan Transfer ke Daerah(TKD), baik setiap semester maupun tahunan.

“Untuk menghindari kepala daerah yang melempar tanggung jawab utang kepada penggantinya, tenor utang tidak boleh lebih panjang dari masa jabatan kepala daerah yang menandatangani perjanjian pinjaman. Selain itu, DPRD harus menyetujui rencana pinjaman tersebut,” katanya.

Menurut Wijayanto, munculnya kebijakan ini merupakan respons terhadap kekhawatiran pemerintah bahwa pemda semakin kesulitan membiayai pembangunan dan kebutuhan operasional akibat pemangkasan TKD. Namun, ia menilai kebijakan tersebut juga mengandung unsur financial engineering sebagai cara pemerintah menyiasati batas defisit maksimal 3 persen terhadap PDB.

“Jika pemerintah mengalihkan TKD yang semula tercatat sebagai belanja APBN menjadi pinjaman dari pemerintah pusat, maka defisit APBN bisa terlihat tetap di bawah 3 persen, padahal utang pemerintah terus naik. Ini yang berpotensi memperburuk keberlanjutan fiskal kita,” kata Wijayanto.

Ia menambahkan, langkah yang lebih sehat dan transparan seharusnya dilakukan melalui penerbitan APBN Perubahan untuk menyesuaikan TKD, serta meninjau kembali batas defisit fiskal 3 persen terhadap PDB. “Meskipun tidak populer, opsi ini jauh lebih terbuka dan aman bagi fiskal negara,” ujarnya.

sumber : Antara

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |