Fast Fashion : Solusi Cepat Menghancurkan Dunia dengan Gaya

5 hours ago 13

Image Khalila Mayyasa

Info Terkini | 2025-11-01 18:52:53

Fast Fashion merupakan istilah dalam industri pakaian yang memproduksi pakaian secara massal dengan cepat, mengikuti tren yang selalu berubah serta menawarkan harga yang relatif rendah. Namun, pernahkah kalian berpikir jika baju-baju cantik yang kalian pakai ternyata membuat bumi dan orang lain menderita?.

Jika dilihat sepintas, fast fashion tampak memberikan keuntungan karena konsumen dapat mengikuti tren fashion yang selalu berganti dengan harga yang terjangkau. Namun, gambaran tersebut hanya menyoroti sisi positif bagi konsumen. Jika ditelusuri lebih jauh, industri fast fashion ternyata berdampak besar pada lingkungan, kesehatan hingga sosial. Perbedaan sudut pandang inilah yang menjadikan isu fast fashion ini cukup kontroversial.

Industri fashion sering dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar kerusakan lingkungan. Proses produksinya sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam seperti air, energi, dan bahan baku tekstil dalam jumlah besar. Untuk memproduksi satu kaos katun, diperkirakan membutuhkan 2.700-liter air, yakni setara dengan kebutuhan minum seseorang dalam 2,5 tahun. Penggunaan sumber daya alam yang berlebihan ini menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari pencemaran air akibat limbah tekstil, microplastic hingga peningkatan emisi gas rumah kaca yang mempercepat perubahan iklim. Contohnya, dalam proses pewarnaan tekstil sering kali menggunakan bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari air dan tanah apabila limbahnya tidak dikelola dengan benar.

Beberapa pabrik fast fashion dapat merilis kurang lebih puluhan hingga ratusan model baru tiap harinya. Dilansir dari earth.org, terdapat 1,92 juta ton limbah tekstil yang dihasilkan tiap tahunnya, dari 100 miliar pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton berakhir di tempat pembuangan sampah dan berakhir menjadi limbah tak terurai yang tentunya menjadi masalah bagi lingkungan. Industri tekstil Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pada tahun 2019 dan diperkirakan akan meningkat 68% menjadi 3,5 juta ton pada tahun 2030, dengan asumsi bahwa 90 juta orang Indonesia dapat menjadi konsumen. Selain itu, dari 2,3 juta ton limbah tekstil yang dihasilkan, hanya sekitar 300.000 ton dapat didaur ulang, dan selebihnya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar (Primantoro, 2023).

Permintaan konsumen terhadap produk fashion dengan harga terjangkau menjadikan industri fashion menekan biaya produksi agar harga jual tetap kompetitif. Salah satu cara yang dilakukan untuk menekan biaya produksi adalah menggunakan bahan yang relatif murah. Salah satu bahan yang sering digunakan yakni polyester, polyester adalah bahan tekstil yang terbuat dari serat sintetis. Serat ini dibuat dari senyawa kimia, ethylene glycol, dan asam tereftalat, yang dikombinasikan dengan polyethylene terephathalate (PET). PET berasal dari minyak bumi (petroleum) yang bersifat non-biodegredable dan dapat bertahan selama puluhan tahun.

Keberadaan limbah kain polyester yang tidak terdegredasi ini menyebabkan akumulasi sampah tekstil yang berdampak negatif terhadap kualitas tanah dan sumber daya air. Selain itu, dalam proses pencuciannya kain polyester melepaskan mikroplastik yang dapat mencemari ekosistem perairan, mengganggu kehidupan biota laut, berpotensi masuk ke dalam rantai makanan manusia hingga akhirnya menimbulkan masalah kesehatan lainnya. Dilansir dari Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, telah dilakukan penelitian di Sungai Ciwalengke, Jawa Barat dimana rata-rata mikroplastik yang ditemukan sebanyak 5,85-3,28 partikel/liter pada air permukaan dan 3,03-1,59 pada sedimen. Kelimpahan mikroplastik di perairan ini disebabkan oleh limbah industri, kegiatan laundry, hingga limbah domestik pertanian.

Selain dampaknya terhadap lingkungan, dampak negatif fast fashion juga meluas hingga aspek sosial. Selain menggunakan bahan yang terjangkau, cara lain yang dilakukan untuk menekan biaya produksi adalah menghemat biaya tenaga kerja. Banyak Perusahaan fast fashion yang memindahkan proses produksinya ke negara berkembang karena standar hidup yang lebih rendah dibanding negara maju, sehingga biaya tenaga kerja yang dikeluarkan menjadi lebih murah, keringanan pajak yang besar, serta hukum dan peraturan yang longgar.

Dampaknya, banyak pekerja pabrik tekstil seringkali bekerja dalam kondisi buruk, jam kerja yang lama, namun upah yang didapat rendah. Fenomena ini telah banyak terjadi di negara berkembang, di Bangladesh, terjadi tragedi Rana Plaza pada tahun 2013, dimana sebuah bangunan pabrik tekstil runtuh hingga menewaskan lebih dari 1.100 pekerja, jauh sebelum bencana ini terjadi, beberapa pekerja telah memberi tahu manajer mereka bahwa ada retakan di gedung tersebut. Namun, mereka tetap dipaksa kembali ke dalam untuk bekerja. tragedi ini menyoroti risiko fatal yang dihadapi tenaga kerja dalam lingkungan produksi yang mengutamakan efisiensi biaya namun mengabaikan keselamatan.

Untuk mengatasi fenomena fast fashion ini, ada beberapa cara yang dapat kita lakukan mulai dari diri sendiri yakni melalui implementasi wardrobe capsule, thrifting, serta pandai menginvestasikan uang untuk memilih pakaian yang berkualitas dan tahan lama. Wardrobe capsule merujuk pada seperangkat barang penting dari lemari pakaian yang dapat diganti-ganti dan dapat dipadu-padankan atau istilahnya mix and match untuk menciptakan siklus pakaian tanpa akhir sehingga mengurangi kebutuhan akan pembelian pakaian baru secara impulsif dan mempromosikan penggunaan jangka panjang.

Sementara itu thrifting atau berbelanja pakaian bekas di toko-toko second memungkinkan individu untuk memperoleh barang-barang berkualitas dengan biaya rendah namun tetap mengurangi permintaan terhadap produksi barang baru, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap pengurangan jejak karbon dan limbah tekstil. Kita juga bisa mendonasikan pakaian bekas yang masih layak hingga mendukung merek slow fashion yang menerapkan sustainable fashion dan ethical fashion. Dengan menerapkan strategi ini, masyarakat dapat secara bertahap menggeser paradigma konsumsi dan kuantitas menuju kualitas, meminimalkan dampak negatif dari fast fashion.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |