Hasil Revisi UU TNI Digugat ke MK Karena Melanggar Prosedur

16 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan uji formil terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 7 Mei 2025. Mereka beralasan hasil revisi UU TNI melanggar prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan dan pembahasannya tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

Pemohon gugatan ini adalah Inayah Wulandari Wahid alias Inayah Wahid, putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid; mantan Ketua KontraS Fatia Maulidiyanti, dan seorang mahasiswa bernama Eva. Ketiganya menjadi pemohon untuk mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Koalisi ini terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, KontraS, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan Imparsial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kuasa hukum koalisi masyarakat sipil Viola Reininda mengatakan revisi UU TNI tersebut sudah menyimpangi politik hukum dari reformasi yaitu menghapus dwifungsi militer. Padahal reformasi 1998 mengamanatkan militer tidak ikut campur dalam urusan politik. “Agar militer lebih profesional,” kata Viola di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 7 Mei 2025. 

Program Manager Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) itu juga mengatakan pembahasan revisi Undang-Undang TNI melanggar prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan dengan baik. Misalnya, dalam proses pembahasannya, surat presiden untuk membahas revisi Undang-Undang TNI justru keluar terlebih dahulu sebelum revisi undang-undang tersebut masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2025.

Di samping itu, kata dia, pembahasan revisi UU TNI tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, bahkan pembahasannya berlangsung secara tertutup. “Rapat justru dilakukan di hotel,” kata Viola.

Koalisi masyarakat sipil juga menyorot sikap pemerintah yang tidak transparan dalam mempublikasikan dokumen final hasil revisi Undang-Undang TNI. Sampai saat ini, koalisi masyarakat sipil belum mendapatkan dokumen resmi hasil revisi undang-undang TNI yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto. Padahal ketetapan waktu dibutuhkan mengingat batas pengajuan permohonan ke MK hanya 45 hari setelah UU disahkan atau ditandatangani oleh presiden.

“Tapi dalam website dan kanal pemerintah tidak ada draf finalnya,” kata dia. “Seolah tidak dipublikasikan untuk masyarakat,” kata dia.

DPR mengesahkan rancangan perubahan Undang-Undang TNI menjadi undang-undang pada 20 Maret 2025. Dewan mengubah beberapa pasal dalam undang-undang ini, di antaranya Pasal 3, 7, 47, dan 53. Pasal 3 mengatur kedudukan TNI di bawah presiden dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer.

Pasal 7 ayat 2 mengatur bentuk-bentuk operasi militer selain perang yang dapat ditangani oleh prajurit. Pasal 47 memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh TNI, dari 10 menjadi 14 kementerian dan lembaga. Selanjutnya Pasal 53 mengatur tentang penambahan usia pensiun prajurit dan perwira TNI.

Masyatakat sipil menentang revisi ini karena DPR dan pemerintah justru menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Tapi DPR dan pemerintah membantahnya. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan tidak ada lagi dwifungsi militer yang berlaku di Indonesia dan konsep fungsi ganda militer itu tinggal sejarah.

"Jangankan jasad, arwahnya pun sudah tidak ada," kata Sjafrie di kompleks DPR pada 20 Maret lalu.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi belum menjawab konfirmasi Tempo soal gugatan ini. Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad mengatakan para pemohon mengajukan permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI ke Mahkamah Konstitusi. Ia mengatakan hasil revisi ini telah menghidupkan kembali dwifungsi militer, terutama ketentuan dalam Pasal 7 yang menambah bentuk operasi militer selain perang. Misalnya, TNI diberi kewenangan untuk menanggulangi ancaman pertahanan siber serta melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.

Menurut Hussein, koalisi masyarakat sipil sebetulnya tidak mempersoalkan jika TNI masuk ranah sipil asalkan pelibatannya dalam ruang sipil diatur dengan baik. “Kalau tidak, peran dwifungsi kembali bangkit,” kata dia.

Adapun Fatia Maulidiyanti mengatakan UU TNI melanggar tuntutan reformasi untuk menghapus dwifungsi. Ia khawatir jika TNI masuk ke ranah sipil akan berbahaya bagi situasi sipil. Fatia mencontohkan pelibatan militer dalam proyek strategis nasional dan konflik Papua yang justru membuat terjadi banyak pelanggaran. 

“Kami takut bila terus dilaksanakan, situasi akan semakin buruk,” kata Fatia. 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana mengatakan koalisi masyarakat sipil melampirkan 98 bukti awal dalam permohonan. Dalam petitumnya, koalisi meminta adanya putusan sela dan putusan akhir. Pada putusan sela, koalisi meminta hakim MK untuk memerintahkan penundaan pelaksanaan UU TNI sampai ada putusan final dari lembaga tersebut. 

“Koalisi juga meminta hakim MK memerintahkan presiden tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru dari UU TNI,” kata Arif.

Koalisi juga meminta hakim MK memerintahkan presiden serta kementerian dan lembaga tidak mengeluarkan kebijakan atau tindakan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan UU TNI sampai ada putusan akhir MK. Selanjutnya koalisi meminta MK menyatakan UU TNI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga UU TNI sebelum revisi yang dinyatakan kembali berlaku.

Novali Panji Nugroho berkonstribusi dalam tulisan ini

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |