JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz kembali menggema di tengah meningkatnya ketegangan pasca serangan Amerika Serikat (AS) ke tiga fasilitas nuklir di Teheran, Minggu (22/6/2025). Rencana penutupan jalur laut strategis itu dinilai bisa mengguncang stabilitas energi dunia dan memicu konflik berskala besar di kawasan Teluk.
Parlemen Iran telah memberikan dukungan politik terhadap opsi penutupan, namun keputusan final tetap berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran. Opsi tersebut masuk dalam agenda resmi, bahkan disebut bisa dieksekusi kapan saja, sebagaimana disampaikan oleh anggota parlemen sekaligus komandan senior Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Esmail Kosari.
Langkah ini dipandang sebagai bentuk balasan terhadap agresi militer AS yang mendukung Israel. Sejumlah analis memperingatkan bahwa penutupan Selat Hormuz bukan sekadar ancaman kosong, melainkan bisa menjadi instrumen tekanan strategis dari Iran terhadap negara-negara Barat dan sekutunya.
Pusat Energi Dunia yang Rentan
Sebagaimana diketahui, selat Hormuz merupakan salah satu titik paling vital dalam perdagangan energi global. Sekitar 20% pasokan minyak dunia dan sepertiga distribusi gas alam cair (LNG) melewati jalur sempit antara Iran dan Oman tersebut. Setiap gangguan di selat itu berpotensi menyebabkan lonjakan harga energi dan krisis pasokan di berbagai belahan dunia, terutama Eropa dan Asia.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, bahkan mendesak Tiongkok agar menekan Iran agar tidak menutup selat tersebut. Pasalnya, sebagian besar minyak Iran diekspor ke Tiongkok, yang juga mengandalkan jalur tersebut untuk kebutuhan energinya. “Menutup Selat Hormuz akan menjadi bunuh diri ekonomi bagi Iran,” kata Rubio, dikutip dari Fox News.
Namun di sisi lain, analis dari Rapidan Energy dan Goldman Sachs mengingatkan bahwa pasar mungkin terlalu meremehkan ancaman itu. Penutupan, meski hanya berlangsung beberapa minggu, tetap bisa memicu kekacauan di pasar energi dunia.
Efek Domino Ekonomi dan Militer
Jika benar-benar ditutup, Selat Hormuz dapat memicu inflasi global akibat kenaikan harga minyak yang ekstrem. Analis memperkirakan harga minyak bisa melonjak hingga US$150–200 per barel, tergantung durasi gangguan. Sebelumnya, pada 2011, hanya dengan ancaman saja, harga minyak dunia sempat menyentuh US$120 per barel.
Di Eropa, sektor industri, transportasi, dan rumah tangga akan langsung merasakan tekanan. Di Asia, negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan India bakal menghadapi krisis energi karena ketergantungan tinggi terhadap impor minyak dari kawasan Teluk.
Premi asuransi kapal pengangkut akan meningkat drastis karena kawasan tersebut akan diklasifikasikan sebagai zona perang. Rute kapal pun harus dialihkan ke jalur yang lebih panjang dan mahal. Qatar, eksportir LNG utama, juga diprediksi terdampak karena lebih dari 70% ekspornya melewati Hormuz.
Secara geopolitik, penutupan selat tersebut hampir pasti akan memicu reaksi militer. Angkatan Laut AS dan negara-negara sekutu di NATO, termasuk Inggris dan Prancis, memiliki potensi besar untuk terseret ke dalam konflik terbuka. Beberapa analis menilai bahwa konfrontasi bersenjata di kawasan Teluk hanya tinggal menunggu pemantik.
Indonesia Juga Terimbas
Indonesia, meskipun tidak terlibat langsung dalam konflik, tetap akan terkena dampaknya. Lonjakan harga minyak global akan memicu kenaikan harga BBM dan inflasi dalam negeri. Distribusi energi yang lebih mahal juga akan membebani sektor logistik dan industri.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa perusahaan telah mengantisipasi skenario terburuk dengan mengalihkan rute kapal ke jalur yang lebih aman melalui Oman dan India. Ia juga memastikan bahwa stok minyak dalam negeri masih aman.
“Kami terus memantau situasi. Operasional kapal telah kami sesuaikan, dan sejauh ini cadangan minyak kami masih mencukupi,” ujarnya kepada Antara.
Tak bisa disangkal, penutupan Selat Hormuz oleh Iran menjadi ancaman serius terhadap stabilitas global. Jalur laut yang panjangnya hanya sekitar 35 hingga 60 mil tersebut menyimpan pengaruh luar biasa bagi keamanan energi dunia. Jika eskalasi berlanjut dan jalur itu benar-benar diblokade, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh negara-negara besar, tapi juga akan menghantam perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia. Sudah siapkah Indonesia? [*]
Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.