Jejak Madu di Aurduri, Cerita Bustam dan Kawanan Lebahnya

3 hours ago 8

REPUBLIKA.CO.ID, MUARA ENIM -- Jalur menuju pondokan itu berbatu, membelah barisan pepohonan sawit. Menjelang tengah hari pada Senin (20/10/2025), awak media bersama Medco E&P serta Pandawa menuju sebuah peternakan lebah.

Sesampainya di lokasi, rombongan disambut sengatan matahari dan senyuman ibu-ibu serta bapak-bapak di hunian berdinding papan. Tak sampai 20 meter dari pondokan itu, terdapat beberapa kotak kayu beratap plastik hitam berjajar di atas batang penyangga. Di bawahnya, air menggenang di wadah penampung. Suara lebah terdengar samar di antara desau angin dan dedaunan yang bergoyang.

Di sinilah Bustam Arifin, pria kelahiran 1961, menghabiskan sebagian besar harinya. Ia mengelola koloni lebah madu jenis Apis cerana dan Apis trigona bersama Kelompok Karya Maju Bersama di Dusun III, Desa Aurduri, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan.

Bustam mulai beternak lebah madu pada 2014. Saat itu, usahanya masih sederhana dan terbatas modal. Kotak sarang kerap rusak diserang beruang, dan ketika itu ia tak mampu membuat pengganti. “Kalau kotak sudah hancur, kami tidak bikin lagi karena modalnya besar,” katanya dengan nada berapi-api, menyinggung masa-masa sulit sebelum pendampingan datang.

Sejak 2016, kelompoknya menjadi binaan PT Medco E&P Indonesia Lematang Asset. Bantuan datang dalam bentuk peralatan, pelatihan, dan pendampingan pemasaran. Bustam kini memiliki belasan kotak berukuran besar. Setiap kotak bisa menghasilkan hingga lima kilogram madu, sementara yang kecil sekitar dua kilogram.

“Kalau kotak besar, hasilnya lebih banyak. Walau cuma sepuluh kotak, hasilnya sudah lumayan,” tutur Bustam. Panen dilakukan setiap tiga minggu, terutama pada musim kemarau antara Juli hingga Oktober.

Hasil panen mereka dijual dengan harga rata-rata Rp130 ribu per kilogram. Sebagian stok disimpan untuk kebutuhan masyarakat yang membutuhkan madu sebagai obat tradisional. “Kalau ada yang sakit, biasanya datang malam-malam. Jam dua malam orang ketok rumah. Kadang kasih Rp20.000. Kalau anaknya gatal di tenggorokan, (jadi obat) satu sendok madu dicampur jeruk nipis dan jahe,” tutur Bustam.

Dari pondokan beratap seng ini, tampak deretan kotak lain di bawah naungan pohon buah. Sebagian tertutup kain hitam untuk menjaga suhu, sebagian lainnya menampakkan rongga madu yang dipenuhi lebah. Bustam mengatakan, produksi terakhir mereka mencapai sekitar 170 kilogram madu per tahun dengan sembilan anggota aktif.

“Ini termasuk kecil. Pernah dulu, saat anggota masih 30-an orang, bisa sampai satu ton setahun,” kenangnya.

Kegiatan sempat terhenti saat pandemi Covid-19, namun kini kembali berjalan. Tantangan tetap datang dari serangan beruang yang kadang menghancurkan ratusan kotak di malam hari. Meski begitu, semangat anggota kelompok tidak padam. Mereka terus memelihara lebah, menanam sawit dan karet untuk menambah penghasilan, serta menjaga keseimbangan alam di sekitar kebun.

“Dipasarkan ke warga. Ada yang pesan datang ke rumah. Kebanyakan juga dibantu Medco untuk pemasaran. Kita juga nanam sawit, nanam karet. Itu musiman, tahunan,” tutur Bustam.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |