Komentar Para Pakar soal Kritik AS terhadap QRIS dan GPN

5 hours ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dikritik oleh Amerika Serikat (AS) melalui dokumen United States Trade Representative (USTR). Dalam dokumen yang diterbitkan pada 31 Maret 2025 itu, AS menyebutkan bahwa dominasi QRIS dan GPN menghambat perdagangan.

Penghambatan ini dikarenakan Indonesia seolah-olah membatasi akses penyedia jasa pembayaran asing dalam sistem ritel domestik. Di lain sisi, jika dominasi pembayaran ritel ini berlangsung, AS melihatnya akan mendistorsi pasar sehingga tidak tercipta persaingan. 

Klaim AS ini dilihat oleh Iwan Nurdin, pengamat ekonomi politik, bukanlah bentuk hambatan perdagangan. Malahan QRIS dan GPN adalah strategi Indonesia untuk menciptakan kedaulan ekonomi Indonesia. Indonesia tidak lagi ingin dinomorduakan di dalam arus uang, data, dan perekonomiannya.

Sesederhana untuk menggunakan Visa atau Mastercard, bagi Iwan, Indonesia harus seperti minta izin dahulu ke Amerika Serikat. “Visa dan Mastercard memotong sekitar 1 persen dari setiap transaksi. Dalam skala nasional dengan jutaan transaksi per hari, potensi kerugian negara mencapai miliaran dolar AS per tahun," kata Iwan dilansir dari Indonesia.go.id.

Iwan menegaskan bahwa GPN dan QRIS adalah bentuk pengefisien sistem pembayaran di Indonesia. Terutama QRIS bisa menjadi langkah tepat untuk mengadopsi gaya hidup digital. “Dengan hadirnya sistem domestik seperti GPN dan QRIS, dominasi Visa dan Mastercard mulai terkikis,” ucapnya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai bahwa kritik AS ini tidak berdasar. Pasalnya, pengembangan QRIS menggunakan standar global, European Master Visa. Hanya pengkodingannya menggunakan bahasa Indonesia.

Perry juga mengklaim bahwa tidak ada penghambatan pembayaran lintas negara dalam sistem QRIS. Sebab, sistem ini sudah di-upgrade untuk bekerja sama dengan berbagai negara. Klaim ini bukan hanya datang dari Ferry, tetapi dari Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta pula. 

Ia mengatakan bahwa pengembangan akan terus dilakukan agar bisa melakukan pembayaran lintas negara. "Cross border-nya juga terus meningkat. Negara yang sudah bisa menggunakan, yaitu Singapura, Malaysia, dan Thailand," ungkapnya.

Dengan klaim ini, pertanyaan USTR terkait komunikasi dalam penggunaan QRIS rupanya tidak bisa terjawab. "Selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI (QRIS) pemangku kepentingan internasional tidak dikabari mengenai sifat perubahan potensial. Selain itu, mereka tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan pandangan tentang hal tersebut," tertera dalam dokumen USTR.

Walau demikian, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, bahkan menyebutkan bahwa keluhan dalam dokumen USTR adalah keluhan tidak berdasar. Sedari awal pembuatan, QRIS memang ditujukan untuk usaha kecil nasional dan jika usaha-usaha besar ingin bergabung dengan QRIS juga tidak dilarang oleh pihak BI. 

Bukan hanya QRIS, GPN juga demikian. Pembentukan sistem pengaturan keuangan dalam GPN juga terbuka luas bagi perusahaan asing, termasuk AS. "Bagi kita, GPN adalah sesuatu yang logis. Transaksi di Indonesia, dua pihak dari Indonesia, menggunakan rupiah, berlokasi di Indonesia. Sesungguhnya tidak ada alasan mengapa proses dan service-nya harus di luar negeri, selain mahal juga tidak efisien,” kata dia seperti dikutip dari Antara, Selasa, 22 April 2025.

Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat juga menilai bahwa keputusan Indonesia untuk menggunakan QRIS dan GPN adalah hal yang wajar. “Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, di mana inklusi keuangan menjadi tantangan utama, QRIS telah menjadi salah satu katalis penting dalam mendorong ekonomi digital yang inklusif,” ujar dia dalam keterangan tertulis pada Senin, 21 April 2025.

Sistem QRIS dan GPN yang lebih murah bisa membantu Indonesia untuk menjalankan tugasnya dalam memajukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pasalnya, pembayaran internasional seperti Visa selalu menyulitkan pelaku UMKM dengan potongan biayanya yang sangat mahal. 

Achmad menilai kritik AS atas QRIS dan GPN adalah bentuk keengganan negara maju saja. Ingin mendominasi keuangan dengan sistem pembayaran mereka, tetapi tidak mau beradaptasi dengan standar domestik negara lain.

Anastasya Lavenia Y dan Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Pilihan Editor: Penerapan QRIS Jadi Bahan Lobi Tarif Dagang dengan Amerika

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |