KPA Catat 24 Masalah Agraria: Petani Melarat hingga Konflik Lahan

2 hours ago 5

Jakarta, CNN Indonesia --

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 24 masalah struktural agraria yang terjadi di pedesaan dan perkotaan. Bertepatan dengan momentum Hari Tani Nasional (HTN) yang jatuh hari ini, KPA menuntut pemerintah dan DPR melakukan perbaikan di sektor agraria.

KPA menilai para penyelenggara negara telah gagal memenuhi kewajiban kepada petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat kecil lainnya. Justru yang terjadi adalah berbagai konflik agraria yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

"Konflik agraria berupa perampasan tanah dan pengusiran rakyat dari tanah-airnya yang berlangsung di berbagai tempat menandakan adanya kejahatan agraria, mulai dari korupsi agraria dan sumber daya alam; monopoli penguasaan tanah, kebun, hutan dan tambang, pengkaplingan laut-pulau-pulau kecil, eksploitasi kekayaan alam secara membabi-buta, perusakan alam dan lingkungan oleh segelintir konglomerat," ujar Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika melalui keterangan persnya, Rabu (24/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dewi mengatakan ketika berbagai kejahatan agraria tersebut tengah terjadi, rakyat masih harus menerima ancaman kebebasan berserikat, kriminalisasi, kekerasan Polri-TNI dan sekuriti perusahaan, hingga ada kasus kehilangan nyawa.

Pada Peringatan HTN 2025 ini, KPA menyampaikan masalah yang nyata di lapangan. Dari 24 masalah struktural agraria tersebut, CNNIndonesia.com merangkum beberapa di antaranya.

Pertama, ketimpangan penguasaan tanah semakin parah. Indeks ketimpangan penguasaan tanah mencapai 0,58 (BPN, 2022). Artinya, 1 persen kelompok orang menguasai 58 persen tanah dan kekayaan agraria nasional, sementara 99 persen rakyat menempati dan memperebutkan sisanya. Petani dinilai justru semakin melarat.

Bahkan, mengutip data Kementerian ATR/BPN, terdapat 60 keluarga pengusaha yang menguasai 26,8 juta hektare tanah.

Kedua, pengusiran warga desa dari tanah garapan, pemukiman dan kampungnya. KPA memberi contoh kasus warga desa di Kabupaten Bogor yang tanahnya dilelang, atau warga satu desa diusir, karena masuk dalam kawasan hutan dan ditakut-takuti oleh plang-plang Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) seperti di Tebo.

Saat ini, tutur Dewi, terdapat 25 ribu desa yang tumpang tindih dengan klaim kawasan hutan, bahkan ribuan desa lainnya masuk ke dalam HGU.

Ketiga, peningkatan dan akumulasi konflik agraria. Dalam 10 tahun terakhir, KPA mencatat sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luasan mencapai 7,4 juta hektare. Korban terdampak dalam konflik agraria ini sebanyak 1,8 juta keluarga.

Bahkan, dalam tiga bulan pasca-pelantikan Presiden Prabowo, terjadi 63 letusan konflik agraria.

"Kesemuanya disebabkan oleh operasi bisnis perkebunan, kehutanan, tambang, PSN, pertanian skala besar (food estate), kawasan bisnis dan perumahan mewah," ungkap Dewi.

Keempat, peningkatan represifitas Polri dan TNI. Dewi menekankan tugas utama aparat adalah melayani dan melindungi rakyat dari ancaman dan bahaya.

Namun, sayang, kedua lembaga keamanan tersebut justru digunakan oleh pengusaha dan pemerintah sebagai penjaga bisnis di sektor agraria. Akibatnya, 2.481 orang dikriminalisasi, 1.054 orang menjadi korban kekerasan, 88 orang tertembak dan 79 orang tewas hanya karena mempertahankan tanahnya.

Masalah tersebut tidak lepas dari pilihan pendekatan legalistik dan represif Polri-TNI di lokasi konflik agraria.

Misalnya masih hangat dalam ingatan Polri-TNI dan juga preman perusahaan dikerahkan untuk merepresi dan menangani konflik agraria PTPN di Aceh Utara, PT TPL di Toba-Sumut, PT WKS di Tebo-Jambi, Bank Tanah di Cianjur-Jabar, PT Krisrama di Sikka-NTT, PTPN di Takalar-Sulsel, Food Estate di Merauke-Papua Selatan.

Kelima, kementerian/lembaga menjadi pelestari konflik agraria. Menteri ATR/BPN, Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Kelautan, Menteri BUMN dan Menteri Desa dianggap telah menjadi sumber konflik agraria lama maupun konflik agraria baru.

Bahkan, kementerian tersebut dinilai tidak pernah membahas bagaimana cara menyelesaikan ribuan konflik agraria di perkebunan swasta, BUMN, kehutanan, tambang dan pesisir pulau-pulau kecil.

Keenam, janji palsu reforma agraria. Dewi menilai kerja-kerja Tim Percepatan Reforma Agraria Nasional (TPRAN) dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang diisi oleh menteri-menteri terkait ekonomi, agraria, kehutanan, pertanian dan pemerintah daerah adalah nihil.


Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |