TEMPO.CO, Jakarta - Intelijen Militer Israel kemungkinan sedang berusaha keras untuk menentukan apakah serangan Hizbullah pada Minggu merupakan sebuah keberuntungan atau sebuah langkah yang diperhitungkan, menurut analisis baru yang diterbitkan oleh Haaretz.
Pembunuhan para pemimpin utamanya jelas telah melemahkan Hizbullah. Namun, ini justru mempersulit upaya untuk mendeteksi dan memprediksi tindakan dan strategi yang lebih luas, menurut tulisan tersebut.
Setelah pembunuhan Sayyed Nasrallah
Orna Mizrahi, seorang peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional di Tel Aviv, telah menghabiskan puluhan tahun bekerja di militer dan Dewan Keamanan Nasional Israel. Dia mencatat bahwa sebelumnya, dia "dapat mengukur niat Hizbullah dengan mengikuti pemimpinnya, Hassan Nasrallah, yang telah memimpin kelompok tersebut sejak 1992 hingga dia dibunuh dalam pengeboman Beirut pada 27 September."
"Nasrallah adalah musuh yang saya kenal. Saya mendengarkannya, membaca pidatonya, dan sebagai hasilnya, saya merasa seolah-olah memahami logika dan strategi Hizbullah. Dia menjelaskannya," kata Mizrahi dalam Podcast Haaretz minggu ini.
"Sekarang kita memiliki tantangan untuk memahami, pertama, siapa pemimpin baru organisasi ini, dan apakah ada pedoman baru untuk aktivitas organisasi ini? Dan apakah ada perubahan dalam strategi organisasi," katanya.
Israel, menurut Mizrahi, tidak tahu siapa yang harus dipantau setelah kemungkinan pembunuhan Sayyed Hashem Safieddine, yang siap menjadi pengganti Sayyed Nasrallah, bahkan sebelum ia memiliki kesempatan untuk mengambil alih jabatan tersebut. Oleh karena itu, Hizbullah kemungkinan akan merahasiakan identitas pemimpin barunya, jika memang sudah ditunjuk, tambahnya.
Serangan di Markas Militer Israel
Minggu, 13 Oktober 2024, menjadi hari pahit bagi militer Israel. Serangan udara Hizbullah ke sebuah pangkalan militer di selatan Haifa, Israel Utara, menewaskan empat tentara dan melukai tujuh lainnya.
Serangan semacam ini di luar dugaan Israel yang memiliki rudal-rudal pertahanan udara yang canggih tiga lapis, yaitu Iron Dome, David’s Sling dan Arrow.
Radio Angkatan Darat Israel melaporkan bahwa pihak militer telah membuka penyelidikan mengapa sirene peringatan tidak diaktifkan ketika drone tersebut memasuki Israel utara. Sistem pertahanan Israel gagal mendeteksi pesawat tak berawak tersebut, dan tidak ada upaya untuk mencegatnya, menurut radio tersebut.
Mantan brigadir jenderal dan kepala strategi tentara Israel, Assaf Orion, mengatakan, “Kami belum melihat kapasitas penuh Hizbullah.
“Mereka baru menembakkan sekitar sepersepuluh dari perkiraan kapasitas peluncuran sebelum perang, beberapa ratus roket per hari, bukannya 2.000 roket," kata Orion, seperti dikutip oleh The Financial Times.
Iklan
Dia mencatat, "Sebagian dari kesenjangan itu adalah pilihan Hizbullah untuk tidak melakukan serangan penuh, dan sebagian lagi karena degradasi yang dilakukan oleh IDF... Tetapi Hizbullah memiliki cukup banyak yang tersisa untuk melancarkan operasi yang kuat." Orion menekankan bahwa Haifa dan Israel utara terus menghadapi serangan roket dan pesawat tak berawak setiap hari.
Dengan serangan-serangan seperti ini, Israel masih belum yakin tentang arah masa depan Hizbullah dan bagaimana "menjamin keamanan warga utara" yang telah dijanjikan untuk segera kembali ke rumah.