SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM — Bagi sebagian orang, kisah hantu bukan hanya sekadar persoalan takut atau tidak takut. Lebih dari itu, kisah hantu uadalah cermin dari budaya dan cara masyarakat memandang dunia yang tak kasatmata. Dan, latar tempat dan budaya sangat mempengaruhi.
Di Eropa, hantu sering muncul sebagai arwah gentayangan yang menyesali dosa masa lalu, sementara di Jawa, makhluk halus hidup berdampingan dengan manusia, menjadi bagian dari tatanan alam semesta yang lebih luas.
Secara historis, citra hantu Eropa dibentuk oleh imajinasi gereja dan feodalisme abad pertengahan. Dalam catatan Owen Davies (2007) dalam The Haunted: A Social History of Ghosts, masyarakat Eropa kala itu percaya bahwa roh gentayangan adalah jiwa yang belum disucikan — sering kali menuntut penebusan atau pengakuan dosa. Gambaran ini melahirkan kisah kastel berhantu, biara berkabut, dan roh bangsawan yang tak tenang di malam hari. Hantu menjadi sosok tragis, bukan semata mengerikan.
Sementara itu di Jawa, hantu atau makhluk halus menempati ruang yang lebih kompleks. Clifford Geertz (1960) dalam karya klasiknya The Religion of Java menulis bahwa alam Jawa mengenal tiga lapisan dunia: dunia manusia (alam kasar), dunia roh (alam halus), dan dunia ilahi. Batas ketiganya tipis, sehingga manusia bisa berinteraksi dengan roh tanpa perlu terkejut. Dari situlah lahir sosok-sosok seperti genderuwo, kuntilanak, dan lelembut — bukan hanya menakutkan, tetapi juga punya peran moral dalam menjaga harmoni.
Koentjaraningrat (1984) dalam Kebudayaan Jawa menambahkan, keyakinan terhadap makhluk halus merupakan bagian dari sistem kepercayaan yang menekankan keseimbangan antara dunia nyata dan gaib. Orang Jawa tidak memandang roh jahat sebagai musuh, melainkan bagian dari kehidupan yang perlu dihormati dan dikendalikan dengan doa, sesaji, atau etika tertentu.
Sebaliknya, di Eropa, hubungan manusia dan hantu lebih bersifat konfrontatif. Gillian Bennett dan Paul Smith (2013) dalam The Ghost Story: Cultural Histories of Ghosts in Literature and Folklore mencatat bahwa kisah hantu Eropa hampir selalu berakhir dengan pengusiran atau pengusiran roh jahat oleh pendeta, salib, atau doa penebusan. Hantu di Barat adalah sesuatu yang harus dihapuskan — simbol dari rasa bersalah kolektif yang belum tuntas.
Perbedaan ini membuat pengalaman “menakutkan” menjadi sangat relatif. Hantu Jawa menakutkan karena kedekatannya: bisa muncul di pohon beringin, kamar mandi, atau dapur — ruang-ruang yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan hantu Eropa menakutkan karena jaraknya: ia muncul di kastel tua, gereja berusia ratusan tahun, atau di balik kabut pegunungan — tempat yang tak terjamah oleh kebanyakan orang.
Menurut antropolog Andrew Beatty (1999) dalam Varieties of Javanese Religion, rasa takut terhadap makhluk halus di Jawa lebih bersifat sosial dan spiritual ketimbang fisik. Hantu menjadi tanda ketidakseimbangan — entah karena janji yang tak ditepati, tempat yang dilanggar, atau adat yang dilupakan. Dalam konteks ini, ketakutan adalah bentuk penghormatan terhadap tatanan kosmos.
Dosen filsafat budaya Heru Harjo Hutomo (2019) bahkan menyebut makhluk halus Jawa sebagai “entitas metafisik yang beroperasi di ruang kesadaran kolektif masyarakat.” Artinya, hantu Jawa tak hanya menakut-nakuti, tetapi juga mengingatkan manusia akan batas antara dunia nyata dan dunia batin.
Di sisi lain, dunia Barat modern justru melahirkan hantu-hantu baru — dari legenda urban sampai arwah digital. Diane Goldstein dkk. (2007) dalam Haunting Experiences menulis bahwa hantu masa kini sering digunakan sebagai medium komunikasi sosial, menyuarakan trauma, kehilangan, atau ketidakadilan yang belum terselesaikan.
Maka, siapa yang lebih menakutkan, hantu Eropa atau hantu Jawa?
Jawabannya mungkin tergantung pada di mana kaki berpijak. Bagi orang Eropa, arwah bangsawan berkeliaran di kastel bisa membuat bulu kuduk berdiri. Tapi bagi orang Jawa, suara tawa perempuan di balik pohon pisang jauh lebih menggetarkan. Nah…. [*] Disarikan dari berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.














































