Mengapa Tren ChatGPT Bisa Tiru Gambar ala Studio Ghibli Menuai Pro-Kontra?

2 days ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - OpenAI meluncurkan fitur terbaru dalam model GPT-4o yang memungkinkan pengguna mengubah foto menjadi ilustrasi ala animasi khas Studio Ghibli yakni studio animasi Jepang yang terkenal. Fenomena yang selanjutnya disebut "Ghiblifikasi" ini kemudian semakin popular karena bisa mengubah gambar seseorang, hewan peliharaan, hingga pemandangaan serupa dunia animasi khas Ghibli.

CEO OpenAI Sam Altman bahkan mengubah foto profilnya di media sosial menjadi gambar dengan gaya Studio Ghibli. Dalam sebuah makalah teknis, OpenAI menjelaskan bahwa alat baru ini akan menerapkan pendekatan konservatif dalam meniru estetika seorang seniman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami telah menambahkan kemampuan menolak ketika seorang pengguna mencoba membangkitkan sebuah gambar dalam gaya seorang seniman yang masih hidup," kata perusahaan. "Mengizinkan gaya studio yang lebih luas yang digunakan penyukanya untuk membuat dan membagikan beberapa kreasi orisinal yang benar-benar menyenangkan dan menginspirasi."

Di sisi lain, pernyataan lama Hayao Miyazaki, salah satu pendiri studio tersebut, tentang AI dalam animasi kembali muncul ke permukaan. Dalam sebuah dokumenter NHK Special: The Never-Ending Man Hayao Miyazaki (2016), Miyazaki mengaku muak setelah melihat demo AI yang menampilkan animasi tubuh bergerak dengan cara menyeret diri menggunakan kepala.

Orang yang mempresentasikan animasi tersebut mengklaim bahwa AI memungkinkan penciptaan gerakan-gerakan yang tidak terbayangkan oleh manusia, seperti gerakan zombie yang diperlihatkannya. Namun Miyazaki tampaknya memiliki pandangan yang berbeda. Dia mengaku tidak bisa mengatakan bahwa dirinya menyukai ide ini. "Setiap pagi, bukan belakangan ini, saya melihat teman saya yang memiliki disabilitas," kata Miyazaki.

"Begitu sulit baginya hanya untuk melakukan high five, lengannya yang kaku tidak bisa meraih tangan saya. Sekarang, memikirkan dia, saya tidak bisa menonton hal seperti ini dan merasa tertarik. Siapapun yang menciptakan hal ini tidak tahu apa itu arti penderitaan," ucapnya saat itu.

Karena itu, Miyazaki lalu menegaskan bahwa dia tidak akan pernah memasukkan teknologi AI ke dalam karyanya, bahkan dia berpandangan teknologi tersebut sebagai penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.

Pakar hukum Josh Weigensberg mewanti-wanti ihwal potensi masalah hak cipta terkait penggunaan AI untuk meniru gaya Studio Ghibli. Dia mempertanyakan apakah pihak yang menggunakan teknologi tersebut memiliki lisensi atau izin untuk melatih AI dengan gaya itu. Menurut dia, meskipun gaya seni tidak bisa dilindungi hak cipta, elemen spesifik dalam karya seni bisa menjadi bahan pertimbangan hukum.

Dia mencontohkan film Studio Ghibli seperti Howl’s Moving Castle atau Spirited Away, yang mana satu frame bisa diambil untuk menunjukkan elemen-elemen tertentu. Selanjutnya, elemen-elemen tersebut dapat dibandingkan dengan hasil AI generatif untuk menemukan kesamaan atau kemiripan yang mencolok.

Sikap kontra terhadap kemampuan baru AI ini juga ditunjukan seniman Karla Ortiz, yang tengah menggugat perusahaan pembuat gambar AI atas dugaan pelanggaran hak cipta, juga mengecam tren ini. “Mereka menggunakan merek Ghibli, nama mereka, karya mereka, dan reputasi mereka untuk mempromosikan produk OpenAI,” kata Ortiz. 

Dia menilai hal ini sebagai bentuk penghinaan dan eksploitasi. Ortiz semakin marah setelah pemerintahan Presiden Donald Trump memanfaatkan tren ini dengan mengunggah gambar bergaya Ghibli dari seorang perempuan yang baru saja ditangkap oleh agen imigrasi AS. “Melihat sesuatu yang sebrilian dan seindah karya Miyazaki dirusak untuk menghasilkan sesuatu yang begitu menjijikkan,” tulis Ortiz di akun media sosialnya.

Di media sosial X, Ghibli juga sempat menduduki jajaran trending di Indonesia. Warganet menunjukan respon beragam, mulai dari aktif menyebarkan tutorial, antusias mengunggah hasil edit hingga menyuarakan sikap kontra.

Kepada Wall Street Journal, OpenAI menjelaskan bahwa GPT-4o dilatih menggunakan data yang tersedia untuk publik serta data eksklusif hasil kemitraan dengan perusahaan seperti Shutterstock. Kendati demikian, OpenAI tetap mempertahankan kebijakan terkait hak cipta.

“Kami menghormati hak para seniman dalam cara kami menghasilkan output, dan kami memiliki kebijakan yang mencegah kami membuat gambar yang secara langsung meniru karya seniman yang masih hidup,” kata Chief Operating Officer OpenAI Brad Lightcap seperti dikutip dari laporan Tech Crunch.  

Sebagai bentuk keseriusannya, OpenAI menawarkan formulir opt-out bagi kreator yang ingin menghapus karyanya dari dataset pelatihan. Perusahaan juga mengaku menghormati permintaan untuk mencegah bot web-scraping mereka mengumpulkan data dari situs web, termasuk gambar.

Rachel Caroline L. Toruan dan Defara Dhanya turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |