Miris! Puluhan SD Negeri di Sragen Kekurangan Murid, Kalah dari Swasta, Komisi IV DPRD Soroti Fasilitas dan Mindset Guru!

1 week ago 17

Sedikitnya tercatat 69 SD negeri saat ini hanya memiliki jumlah murid maksimal tujuh orang. Lebih mengejutkan lagi, dua di antaranya hanya memiliki satu siswa. Situasi ini memicu kekhawatiran serius dari Komisi IV DPRD Sragen, yang baru-baru ini memanggil 61 kepala sekolah SD dengan jumlah murid minim untuk sesi verifikasi dan evaluasi. Huri Yanto

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM — Kondisi memprihatinkan melanda dunia pendidikan di Kabupaten Sragen. Di tengah tuntutan untuk menciptakan pendidikan berkualitas, justru puluhan Sekolah Dasar (SD) negeri di wilayah ini menghadapi masalah serius: kekurangan murid, bahkan kalah bersaing dengan sekolah swasta.

Sedikitnya tercatat 69 SD negeri saat ini hanya memiliki jumlah murid maksimal tujuh orang. Lebih mengejutkan lagi, dua di antaranya hanya memiliki satu siswa. Situasi ini memicu kekhawatiran serius dari Komisi IV DPRD Sragen, yang baru-baru ini memanggil 61 kepala sekolah SD dengan jumlah murid minim untuk sesi verifikasi dan evaluasi.

Di tengah keprihatinan dunia pendidikan khususnya sekolah negeri, ketua Komisi IV DPRD Sragen, Sugiyamto, mengungkapkan bahwa minimnya jumlah murid ini disebabkan oleh sejumlah faktor krusial. Salah satunya adalah ketiadaan fasilitas penunjang belajar-mengajar yang mendasar.

“Pondasi dasar sudah kita verifikasi satu per satu, adakah sekolah di situ memiliki laptop, komputer, atau proyektor? Jawabannya, semuanya tidak ada. Maka kita sarankan dulu sebelum kita anggarkan berjuang fasilitas tadi pertama trobosan adalah bagaimana ada guru spesialis mengajar, mengaji agama islam dan bahasa Inggris, karena seluruh orang tua hari ini trennya kalau sekolah di swasta itu mereka kelas 1, 2, 3 udah pintar ngaji dan bahasa Inggris ini menjadi kesukaan bagi orang tua,” kata Sugiyamto Kamis (24/7/2025).

Sugiyamto menyoroti perbedaan mencolok dalam pola pikir dan metode mengajar antara guru SD negeri dan swasta. Dia menyarankan adanya terobosan guru spesialis mengaji agama Islam dan bahasa Inggris di sekolah negeri.

Sugiyamto menekankan pentingnya perubahan mindset di kalangan guru-guru negeri. “Jangan sampai ada pemikiran ‘ada murid atau tidak, gajiku podo wae’ (gajiku sama saja, red). Kalau swasta muridnya sedikit, bisa-bisa sekolahnya ditutup karena tidak mampu membayar guru. Makanya mereka berjuang dan mengejar kualitas, padahal di negeri difasilitasi gajinya oleh negara,” kritik Sugiyamto.

Lantas Komisi IV DPRD Sragen dengan tegas menolak opsi regrouping (penggabungan sekolah). Menurut Sugiyamto, regrouping adalah “aib di dunia pendidikan” karena akan menghilangkan daya upaya sekolah untuk bangkit dan berpotensi menciptakan banyak pengangguran bagi lulusan pendidikan.

Sebagai solusi jangka panjang, Komisi IV merekomendasikan agar pada anggaran tahun 2026, setiap kelas di sekolah dengan murid minim wajib dilengkapi fasilitas dasar seperti komputer, laptop, dan proyektor. Namun, dia juga berpesan kepada para guru agar tidak menunggu fasilitas tersebut terealisasi. “Sekarang ini utamakan bisa mengaji, dan bahasa Inggris,” pesannya.

Dia optimis bahwa peningkatan kualitas akan menarik kembali minat masyarakat terhadap sekolah negeri.

Sementara itu, Kepala Bidang SD Dia Dikbud Sragen Suwarno menyadari situasi itu. Pihaknya menegaskan komitmennya untuk menindaklanjuti arahan Komisi IV DPRD terkait kondisi puluhan SD yang mengalami kekurangan siswa.

Suwarno, menyatakan bahwa fokus utama saat ini adalah meningkatkan kualitas pengajaran di SD-SD yang telah dipanggil untuk dievaluasi. “Yang diperintahkan oleh dewan tadi tetap kita perhatikan, jadi fokus kita termasuk diawasi, bagi SD-SD yang dipanggil ke sini,” ujar Suwarno.

Salah satu poin penting yang akan menjadi perhatian adalah pemenuhan kebutuhan guru spesialis. “Termasuk dalam satu tahun harus terpenuhi khususnya guru mengaji dan guru bahasa Inggris,” tegas Suwarno.

Suwarno juga memahami penolakan terhadap gagasan regrouping dari pandangan DPRD. “Kami tidak setuju kalau ada regrouping, tetap dipertahankan. Tadi sudah dijelaskan itu aib bagi dunia pendidikan,” katanya.

Namun, penolakan ini bukan berarti tanpa batas waktu. Suwarno memberikan tenggat waktu tiga tahun bagi sekolah-sekolah dengan jumlah siswa minim untuk menunjukkan perubahan signifikan. “Kita lihat nanti tiga tahun ke depan kalau tidak ada perubahan kita regrouping. Kalau tiga tahun murid sedikit, jadi sekolah mahal itu,” ujarnya. Huri Yanto

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |