TEMPO.CO, Jakarta - Ketua DPP Partai Golkar Maman Abdurrahman merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.
Maman mengatakan, putusan MK harus ditaati. Dia juga setuju putusan MK itu akan membuka keran demokrasi seluas-luasnya. Namun, dia tidak ingin demokratisasi itu menjadi hambatan dalam mendorong konsolidasi nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Harus jadi catatan bersama jangan sampai demokratisasi yang kita harapkan itu justru memiliki hambatan terhadap upaya mendorong konsolidasi nasional," kata Maman di Istana Bogor, Jumat, 3 Januari 2025.
Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ini mengatakan, tujuan berbangsa dan bernegara tidak hanya soal demokrasi. Tujuan bernegara adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demokrasi merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan nasional itu.
"Jadi jangan sampai pada saat demokrasi dibuka secara luas dan bebas, memiliki efek produktif nggak dalam konsolidasi nasional untuk menuju pentingkatan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai ini malah kontraproduktif," kata Maman.
Maman tidak ingin penghapusan putusan MK itu memunculkan figur-figur yang hanya sekedar mencari popularitas.
"Jangan sampai munculnya ruang akhirnya bisa menimbulkan satu dua orang yang dia merasa bisa menjadi calon presiden. Akhirnya membangun narasi-narasi yang kontraproduktif. Hanya sekadar untuk mengejar popularitas," kata Maman.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyetip ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen merupakan fenomena bersejarah. Perludem menyebut putusan ini akan memberikan peluang kepada para partai politik untuk mencalonkan pasangan dalam pemilihan umum.
Perludem menyebut uji materi terkait ambang batas ini telah ditempuh sebanyak 30 kali. Namun, dalam proses persidangan, Perludem menyebut hakim cenderung mendukung keberlanjutan aturan ini sebagai open legal policy dari DPR. “Namun, hari ini, terjadi pergeseran posisi pandangan hakim yang mempertimbangkan situasi demokrasi terkini,” kata Perludem.
Menurut Perludem ambang batas pencalonan presiden selama ini mencederai hak politik warga negara, baik untuk memilih maupun hak dipilih. Sebab, dalam skema ambang batas 20 persen ini pemilihan umum hanya menyediakan pilihan atau calon terbatas yang membuat polarisasi di masyarakat semakin mendalam.
Adapun MK mengabulkan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berkaitan dengan syarat persentase Presidential Threshold.
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Saldi Isra mengatakan syarat presidential threshold berapa pun besaran persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, mempertahankan ketentuan ambang batas tersebut hanya akan memberikan dampak terbatasnya calon presiden dan wakil presiden yang bisa diusulkan. Apabila dibiarkan, kemungkinan potensi pemilu diikuti calon tunggal juga amat besar.
Sehingga, kata Saldi, jika hak tersebut terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.
"Agar pelaksanaan kedaulatan rakyat dan partisipasinya meluas sesuai perkembangan demokrasi," ujar Saldi.
Meskipun presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional, MK meminta tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.
Hal itu dengan mengacu pada Indonesia sebagai negara dengan sistem presidensial yang dalam praktik tumbuh dalam balutan model kepartaian majemuk (multi-party system).
Meski menekankan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai hak konstitusional semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu, MK berharap dalam revisi UU Pemilu kelak, pembentuk undang-undang dapat mengatur supaya tidak muncul pasangan calon dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.