Mutasi Besar-Besaran MA, Mampukah Bersihkan Korupsi Peradilan RI?

3 hours ago 7

Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Agung (MA) melakukan mutasi besar-besaran terhadap 199 hakim dan 68 panitera pengadilan negeri di seluruh Indonesia.

Berdasarkan dokumen hasil rapat yang dilihat dari laman resmi Badan Peradilan Umum (Badilum) MA, mayoritas dari total 199 hakim dan pimpinan pengadilan negeri yang dimutasi tersebut berasal dari wilayah kerja Jakarta.

Mutasi ini dilakukan MA tidak lama setelah ketua pengadilan negeri dan majelis hakim di Jakarta ditetapkan sebagai tersangka suap dan/atau gratifikasi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa waktu lalu Kejagung menetapkan tiga orang hakim, satu orang ketua pengadilan negeri, dan satu orang panitera sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi mengenai putusan lepas perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) di PN Jakarta Pusat.

Para tersangka, antara lain, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom selaku majelis hakim yang menjatuhkan putusan lepas; Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat; dan Wahyu Gunawan selaku panitera muda perdata PN Jakarta Utara.

Sebelumnya, Kejagung juga membongkar kasus suap vonis bebas Ronald Tannur yang dilakukan majelis hakim PN Surabaya. Tiga anggota majelis hakim itu yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heri Hanindyo.

Dampak mutasi tidak optimal

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan mutasi menjadi salah satu upaya untuk membersihkan budaya korupsi. Namun, dampak atau pengaruhnya tidak optimal.

"Bahkan mungkin sangat minimal dampaknya, karena tidak menyelesaikan masalahnya, karena problem sesungguhnya pada sistem dan kultur profesionalnya," kata Fickar kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/4) malam.

Fickar menyebut upaya membersihkan praktik korupsi di lingkungan peradilan tak akan bisa terwujud jika tak dilakukan perubahan sistem.

Pembenahan sistem peradilan ini, kata Fickar, mekanismenya serupa dengan lembaga lain. Misalnya, memberikan reward dan apresiasi kepada mereka yang bekerja secara jujur. Sebaliknya, memberikan hukuman berat terhadap pelanggaran sekecil apapun.

"Tidak mungkin terjadi pencegahan selama sistem masih seperti yang lama, masing-masing pribadi punya kewenangan yang absolut, sementara rekan kerja tidak akan pernah menjadi pengawas dan pengingat," tutur dia.

"Bahkan yang terjadi sikap permisif, karena merasa bahwa yang lain juga melakukan hal yang sama, sehingga yang terjadi prinsip 'sesama bus kota dilarang saling mengganggu'," imbuhnya.

Terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Erma Nuzulia menyampaikan proses mutasi para hakim dan panitera secara umum baik. Sebab, tujuannya untuk menghindari kepentingan tertentu dalam proses memeriksa dan mengadili suatu perkara.

"Karena biasanya cara kerja dari mafia peradilan adalah dengan 'berkoneksi' dengan aparat penegak hukum lain. semakin lama seorang hakim bekerja di suatu pengadilan, maka dikhawatirkan semakin dekat juga hakim tersebut dengan APH setempat, yang pada akhirnya mengganggu independensi hakim," ucap dia.

Kendati demikian, menurut Erma, mutasi bukan cara paling manjur untuk memberantas praktik korupsi peradilan. Sebab, mekanisme mutasi ataupun rotasi, secara umum dapat dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja.

Pemetaan Potensi Korupsi

Erma berpendapat upaya lain yang bisa dilakukan MA adalah dengan memetakan potensi korupsi dan konflik kepentingan yang ada pada tiap-tiap peradilan, termasuk juga potensi yang ada di panitera.

"Sehingga, jika di masa depan hendak dilakukan rotasi kembali, bisa tepat sasaran dan sejalan dengan tujuan tersebut," ujarnya.

Apalagi, lanjut Erma, meskipun hakim tidak berkontak langsung dengan pihak-pihak yang berperkara, bisa saja kontak tersebut dilakukan melalui panitera. Hal tersebut terjadi pada kasus yang menjerat Zarof Ricar.

"Jika MA hendak 'bersih-bersih', bisa dimulai dari sana, misalnya dengan memetakan siapa saja hakim maupun pihak yang pernah berurusan dengan Zarof Ricar sehingga dapat diketahui hakim mana saja yang bermasalah, kemudian diproses baik itu secara etik maupun melaporkan ke penegak hukum lain jika ternyata terdapat dugaan korupsi," tutur dia.

Pengawasan masih lemah

Lebih lanjut, Erma menyebut hal lain yang harus segera dibenahi adalah terkait pengawasan. Misalnya, dengan memperkuat peran Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas (Bawas) MA.

Selain itu, Erma menyampaikan peran masyarakat juga krusial untuk mengawasi kinerja lembaga peradilan agar terbebas dari praktik korupsi.

"Jika ada dugaan penyelewengan etik, masyarakat secara aktif bisa melaporkan ke kanal tertentu yang kemudian diproses dengan baik dan profesional oleh Bawas MA atau KY," kata dia.

Senada, Fickar juga menyoroti soal masih lemahnya pengawasan peradilan. Karenanya, kata dia, sistem pengawasan peradian harus segera dibenahi.

"Bahkan pengawasan sistemik yang dicoba dilakukan melalui lembaga KY juga tidak efektif, demikian juga konsepsi tentang pengawasan oleh masyarakat melalui 'hakim ad hoc' yang dimaksudkan untuk mengawasi hakim karier justru yang terjadi malah 'ikut ikut menerima suap'," pungkasnya.

(dis/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |