TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi tersangka pengadaan korupsi e-KTP, Tjin Tian Po alias Paulus Tannos sedang menempuh pengadilan untuk menguji keabsahan penahanan oleh otoritas Singapura. “Betul tapi real-nya seperti apa, belum bisa saya sampaikan,” kata juru bicara KPK Mahardika Tessa saat dihubungi, Jumat, 31 Januari 2025.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa KPK, kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Luar Negeri akan menempuh cara untuk memproses ekstradisi Paulus Tannos. Supratman menyatakan pemerintah tidak bisa mencampuri urusan pengadilan di Singapura. “Pasti akan melakukan diplomasi terkait hal itu,” kata Supratman, pada Jumat, 31 Januari 2025.
Sorot Balik Kasus Paulus Tannos
Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin telah berada di Singapura sejak akhir 2024. Ia tersangka dalam kasus korupsi e-KTP yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Saat itu, ia menjabat sebagai Direktur PT Sandipala Arthaputra yang masuk dalam konsorsium pemenang proyek e-KTP bersama Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek pengadaan e-KTP telah dimulai sejak 2006, saat itu Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp6 triliun untuk proyek ini dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional.
Perusahaan milik Paulus Tannos menjadi pemenang dalam tender proyek e-KTP pada 2011. Perusahaan swasta itu dipimpin oleh Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) sebagai koordinator konsorsium. Seperti diketahui, kasus e-KTP menimbulkan kerugian negara hingga Rp2,3 triliun pada periode 2011-2013.
Penyelidikan sejak 2012, KPK menetapkan sejumlah tersangka, seperti pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka yaitu Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya Novanto.
Paulus Tannos ditetapkan KPK menjadi tersangka pada 13 Agustus 2019 berdasarkan hasil pengembangan kasus. Pda 2019 KPK juga menetapkan mantan anggota DPR Miryam S. Hariyani, mantan Direktur Utama PNRI Isnu Edhi Wijaya, dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan E-KTP, Husni Fahmi. KPK menyatakan Paulus Tannos berperan dalam kongkalikong pengerjaan proyek e-KTP.
Tannos disebut-sebut melakukan berbagai pertemuan dengan pihak-pihak vendor seperti Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik yang juga PNS BPPT, Husni Fahmi, dan Direktur Utama PNRI sekaligus Ketua Konsorsium Perum Percetakan Negara RI atau PNRI Isnu Edhi Wijaya. Penjelasan KPK pertemuan-pertemuan itu menerbitkan peraturan yang bersifat teknis, bahkan sebelum proyek dilelang.
KPK menduga Tannos juga melakukan pertemuan dengan sejumlah tersangka lainnya untuk menyepakati besaran fee 5 persen sekaligus skema pembagian yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR dan pejabat pada Kementerian Dalam Negeri. Menurut fakta sidang, perusahaan Tannos diperkaya Rp145,85 miliar dalam proyek ini.
Pada 2017, Tannos dan keluarganya telah meninggalkan Indonesia dan memilih menetap di Singapura. Paulus Tannos masuk daftar pencarian orang (DPO) atau buron KPK sejak 19 Oktober 2021. Ia sempat berganti kewarganegaraan.
"Paulus Tannos sebagaimana yang sudah kami sampaikan, KPK sudah menemukannya di luar negeri, kami tidak perlu menyebutkan negaranya, dan kemudian ternyata yang bersangkutan sudah berganti identitasnya dan paspor negara lain di wilayah Afrika Selatan," kata juru bicara KPK Ali Fikri , Jumat 11 Agustus 2023.
Pada akhir 2024, Divisi Hubungan Internasional Polri mengirimkan surat penangkapan sementara kepada otoritas Singapura untuk membantu menangkap Paulus Tannos lantaran telah mendapat informasi bahwa buronan tersebut berada di negara itu. Otoritas Singapura mengabulkan permohonan itu dan menangkap Paulus Tannos.
Paulus Tannos melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Khumar Mahendra, Ade Ridwan, Intan Setiawanty, Sultan Abdurrahman, Ni Kadek Trisna Cintya Dewi turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini