Pemerintah Diminta Tidak Menuruti Protes AS soal Penggunaan QRIS

5 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Center of Economic and Law Studies (Celios) meminta pemerintah tidak menuruti protes Amerika Serikat terhadap layanan pembayaran digital Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang dianggap menghambat perdagangan mereka.

“Ketika kebijakan QRIS ini diganggu sama pihak AS, yang dirugikan adalah pihak Indonesia karena masyarakat tidak mendapatkan layanan yang ideal untuk transaksi keuangan,” kata Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda saat dihubungi, Ahad, 4 Mei 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Nailul, protes QRIS itu disebabkan karena Amerika Serikat tidak mendapatkan untung atas sistem pembayaran mandiri yang dimiliki negara-negara lain termasuk Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat juga merasa Indonesia tidak melibatkan Visa dan Mastercard dalam sistem pembayaran nasional melalui QRIS. “Amerika Serikat tidak kebagian periuk nasi mengenai sistem pembayaran.”

Terlebih, kata Nailul, transaksi nasional menggunakan QRIS lebih besar dibandingkan pembayaran dengan kartu debit ataupun kartu kredit Visa dan Mastercard. Sebab QRIS membawa kemudahan transaksi bagi semua kalangan terlebih bagi masyarakat yang tidak memiliki rekening bank. “Sekarang kita tidak memerlukan lagi layanan dari Mastercard dan Visa untuk melakukan transaksi,” ujar Nailul.

Bank Indonesia mencatat jumlah pengguna QRIS pada kuartal I 2025 sebanyak 56,28 juta, naik 19 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun volume transaksinya lebih dari 1 miliar kali atau tumbuh 169,1 persen.

Adapun dominasi penggunaan QRIS menggusur pemakaian kartu debit yang berada dalam sistem Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Berdasarkan catatan BI, per kuartal I 2025, volume penggunaan kartu debit sebesar 89,06 juta kali transaksi.

Menurut Nailul, penurunan penggunaan Mastercard dan Visa disebabkan karena dua raksasa jaringan pembayaran global utama yang memproses transaksi kartu kredit, kartu debit, dan kartu prabayar itu tidak menawarkan keinginan pasar. “Kata kuncinya adalah pasar yang menginginkan transaksi nonkartu,” ujar Nailul. 

Ia khawatir stabilitas perekonomian nasional bisa terganggu apabila Indonesia menyerah dengan Amerika Serikat soal QRIS. Sebab, masyarakat akan kehilangan layanan yang ideal untuk bertransaksi. “Tidak semua apa yang diinginkan oleh AS, bisa kita turuti,” tutur Nailul. 

Nailul juga menepis layanan QRIS menghambat hubungan dagang antarnegara. Sebab pembayaran melalui QR juga telah diterapkan oleh negara lain sehingga memungkinkan transaksi internasional. Bahkan, kata Nailul, suda ada beberapa negara yang bekerja sama dengan Indonesia terkait penggunaan QR.  “Pembayaran yang semakin mudah akan banyak diminati oleh masyarakat.” Ia optimistis metode pembayaran QR akan semakin mengungguli transaksi dengan kartu.

Dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada 31 Maret 2025, United States Trade Representative (USTR) mencatat sejumlah hambatan tarif maupun nontarif yang dihadapi negara tersebut dengan para mitra dagang, termasuk Indonesia. Penggunaan QRIS pun turut disorot.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa bank dan perusahaan penyedia jasa pembayaran asal Amerika Serikat merasa tidak dilibatkan saat Bank Indonesia membuat kebijakan mengenai KURSI. “Stakeholder internasional tidak diberitahu potensi perubahan akibat kebijakan ini ataupun diberi kesempatan untuk memberi pandangan mengenai sistem ini, termasuk bagaimana QRIS bisa didesain untuk terkoneksi dengan sistem pembayaran yang sudah ada,” tulis USTR.

Retno Sulistyawati berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 
Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |