
Oleh : Pipip A Rifai Hasan; pengajar di Program Magister Studi Islam dan Ketua Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC), Universitas Paramadina, Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah lebih dari dua tahun kekerasan yang tak berkesudahan, penghentian genosida sementara oleh Israel atas rakyat Palestina di Gaza pada Oktober 2025—yang dimediasi melalui proses rumit oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat—membawa ketenangan yang rapuh. Di balik senyum diplomatik dan jabat tangan yang disiarkan televisi, pertanyaan mendasar tetap menggantung: mungkinkah ada perdamaian abadi tanpa negara Palestina?
Kesepakatan yang baru ditandatangani, kerap disebut sebagai rencana perdamaian 20 poin Donald Trump untuk Gaza, dipuji sebagian pihak sebagai langkah pragmatis. Namun jika dicermati lebih dalam, rencana itu justru memperlihatkan ambivalensi mendasar. Ia tak secara tegas menjanjikan status kenegaraan bagi Palestina, juga tidak menegaskan kembali solusi dua negara yang selama ini menjadi dasar diplomasi internasional. Sebaliknya, ia hanya menyebut “jalan menuju kenegaraan Palestina”—sebuah frasa yang samar dan penuh syarat, seolah dirancang lebih untuk menunda penyelesaian ketimbang menuntaskannya.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.Bahasa hati-hati itu mengaitkan masa depan Palestina pada kondisi politik dan keamanan yang hampir mustahil dipenuhi. Akibatnya, yang disebut “perdamaian” lebih menyerupai jeda panjang dalam penderitaan, bukan jalan keluar yang bermakna. Ketidakjelasan status negara membuat masa depan Gaza dan rakyat Palestina tersandera oleh perubahan politik di Tel Aviv maupun Washington.
Di lapangan, kekerasan juga belum benar-benar berhenti. Laporan media menunjukkan hampir seratus warga Palestina tewas sejak gencatan senjata diumumkan—pengingat kelam bahwa mesin pendudukan dan penindasan masih terus berjalan. Bagi banyak orang Palestina, “perdamaian” kini berarti kematian yang lebih lambat.
Hambatan bagi perdamaian bukan semata diplomatik, melainkan ideologis dan struktural. Pemerintah Israel, yang kini didominasi faksi nasionalis-religius, tetap berpegang pada visi “Israel Raya,” negara yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Tengah. Dalam pandangan ini, rakyat Palestina bukan bangsa dengan hak politik yang setara, melainkan hambatan yang perlu dikontrol—atau disingkirkan.
Banyak analis menilai bahwa proyek pembentukan dan perluasan Israel sejak 1948 tak terpisahkan dari upaya mempertahankan mayoritas demografis Yahudi melalui pemindahan dan penggusuran warga Palestina. Dari peristiwa Nakba 1948 hingga pengusiran di Tepi Barat, kebijakan itu memperlihatkan logika tragis kolonialisme yang dibungkus retorika keamanan dan kelangsungan hidup.
Ironisnya, Hamas pernah menunjukkan kesediaan menerima solusi dua negara. Pada 2017, dalam pertemuan di Doha, kelompok itu secara resmi menyatakan dukungan terhadap pembentukan negara Palestina di sepanjang perbatasan 1967—posisi yang telah lama dipegang Otoritas Palestina dan didukung dunia Arab serta komunitas internasional. Namun, langkah itu diabaikan oleh Israel dan ditolak Washington, yang tetap memandang Hamas semata sebagai entitas teroris, bukan aktor politik yang dapat bernegosiasi.
Kini peluang yang hilang itu terus menghantui kawasan. Jika dua faksi utama Palestina—Fatah yang sekuler dan Hamas yang Islamis—sama-sama bersedia menerima keberadaan Israel dalam kerangka dua negara, apa sesungguhnya yang menghalangi perdamaian? Jawabannya justru berada di Tel Aviv dan Washington, tempat kalkulasi politik dan kekakuan ideologis masih menjadi pilar kebijakan.
Di Amerika Serikat, perdebatan publik tentang konflik Israel–Palestina tetap terbatas. Pengaruh kuat kelompok pro-Israel di Washington membentuk arah kebijakan luar negeri AS, sekaligus mempersempit ruang kritik terhadap kebijakan Israel. Mereka yang menentang pendudukan sering dicap anti-Semit, padahal yang dikritik adalah kebijakan, bukan identitas. Akibatnya, ruang demokratis untuk menilai kebijakan luar negeri menjadi sempit, sementara bias struktural terus berlanjut.
Ketika negara demokrasi terkuat di dunia tak mampu mengkritisi keterlibatannya sendiri dalam penjajahan, sulit berharap ia menjadi perantara perdamaian yang jujur. Dalam situasi seperti itu, Israel memperoleh keleluasaan besar atas Palestina, sementara Amerika menanggung sebagian besar beban diplomatik, politik, dan moral dari konflik yang tak kunjung usai.
Namun bahkan di tengah keputusasaan, masih ada secercah harapan. Fakta bahwa para pemimpin dunia akhirnya duduk bersama di Mesir untuk menandatangani kesepakatan gencatan senjata menunjukkan kesadaran global bahwa perang tanpa akhir tak bisa lagi dipertahankan. Tragedi kemanusiaan di Gaza mengguncang hati nurani dunia. Opini publik global—terutama generasi muda di Barat, dunia Arab dan Muslim—semakin menuntut keadilan bagi Palestina sebagai syarat mutlak perdamaian sejati.
Tetapi harapan saja tidak cukup. Tanpa komitmen nyata terhadap negara Palestina yang berdaulat dan berkelanjutan, perdamaian akan tetap menjadi fatamorgana—sekadar jeda di antara siklus kehancuran. “Jalan menuju kenegaraan” tak boleh menjadi jalan buntu retorika lainnya. Rakyat Palestina berhak atas martabat kemerdekaan politik, bukan belas kasihan bersyarat dari penjajah mereka.
Kebenaran ini sederhana sekaligus menyakitkan: tak akan ada perdamaian abadi antara Israel dan Palestina tanpa berdirinya negara Palestina yang merdeka dan layak. Perdamaian yang dibangun di atas pendudukan, pengusiran, atau penyangkalan hak nasional hanyalah ketenangan sementara sebelum tragedi berikutnya.
Kini dunia dihadapkan pada pilihan moral: mempertahankan gencatan senjata rapuh ini sebagai topeng bagi ketidakadilan, atau mengakhirinya melalui kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan bagi semua penghuni tanah yang diperebutkan itu.
Sampai saat itu tiba, perdamaian akan tetap seperti sedia kala di Palestina: sebuah kata yang penuh harapan, namun terus dihantui pengkhianatan.

12 hours ago
9
















































