TEMPO.CO, Jakarta - Lemahnya daya beli hingga kenaikan suku bunga berimbas pada tumbang atau keroposnya perusahaan peretail raksasa. Salah satu yang menurun, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk atau disingkat Alfamart menutup sekitar 400 gerai sepanjang 2024
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo memproyeksikan pertumbuhan bisnis retail menurun, dari 5,3 persen pada 2023 menjadi 4,8 persen pada tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, Corporate Affairs Director Alfamart menyebut melambungnya tarif perpanjangan sewa menjadi penyebab utama tutupnya ratusan gerai. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya mencapai 10 kali lipat di banding 5 tahun lalu. Ia mencontohkan pada 2019, tarif sewa hanya 40-50 juta per tahun. Sedangkan tahun ini, sewa bisa mencapai 500 juta per tahun.
Karena tidak sebandingnya kenaikan biaya sewa dan pendapatan tersebut, pemilik toko memutuskan untuk menutup gerainya. Kedati demikian, menurut Solihin, penutupan toko di lokasi dengan biaya terlalu tinggi merupakan stretegi untuk menjaga profitabilitas. “Seperti penyakit usus buntu, usus yang terinfeksi dipotong supaya bisa sehat,” ujar Solihin kepada Tempo pada Selasa, 17 Desember 2024.
Meskipun banyak gerai tutup, Solihin mengatakan jumlah toko Alfamart yang buka masih lebih banyak, yaitu 884 gerai. Tidak sedikit juga pemilik toko yang tutup membuka kembali gerainya di lokasi yang strategis. Menurut Solihin, Alfamart harus tetap berekspansi agar omzet tidak turun. Adapun saat paparan publik pada Mei 2024, Alfamart menargetkan pembukaan 1.000 gerai baru pada tahun ini yang difokuskan di luar Pulau Jawa.
Di sisi lain, Solihin yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Aprindo membenarkan bahwa pelemahan daya beli masyarakat berparuh signifikan terhadap sektor retail. Hal ini ditunjukan dengan perubahan pola belanja masyarakat yang cenderung memilih produk dengan harga terjangkau, bahkan mengurangi jumlah barang yang dibeli.
Lebih lanjut, Badang Pusat Statistik mencatat konsumsi rumah tangga pada kuartal III 2024 sebesar 4,91 persen atau tumbuh melambat dibanding pada kuartal II 2024 yang sebesar 4,93 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III 2024 juga turun dibanding periode lalu yang sebesar 5,05 persen.
Namun, Solihin menegaskan bahwa penurunan daya beli memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap setiap jenis retail. Misalnya, banyak retail minimarket yang menjual kebutuhan pokok yang berhasil menghadapi komoditas yang harganya lebih terjangkau.
Sementara itu, retail jenis torseba (dapertement store) yang menjual kebutuhan sekunder seperti pakaian, kosmetik, dan furniture, mengalami pukulan telak akibat penurunan daya beli saat ini. Aprindo memperkirakan transaksi di retail torseba tahun ini turun lebih dari 30 persen.
Angka tersebut sesuai dengan catatan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI). Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja, mengungkapkan jumlah transaksi di pusat belanja atau mal turun 20-30 persen pada 2024. Hal ini dipicu oleh penurunan daya beli masyarakat khususnya pada kelas menengah. Ia pun memproyeksikan bisnis retail hanya mampu tumbuh kurang dari lima persen pada tahun ini.
Lebih lanjut, Head Custumer Literation and Education Kiwoon Sekuritas Oktiavianus Andi mengatakan kebijakan pemerintah menaikan pajak pertambangan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 turut berkontribusi dalam memperlambat pertumbuhan sektor retail, apalagi jika kebijakan ini diterapkan pada barang-barang yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat.
Kendati demikian, ia memperkirakan, sektor retail (termasuk peretail) masih berpotensi tumbuh jika didorong oleh kebijakan suku bunga yang longgar dan bonus demografi Indonesia yakni jumlah konsumen muda yang akan terus meningkat.
Riani Sanusi Putri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Selandia Baru Larang Rokok Elektrik Sekali Pakai