Pesantren dan Sorotan Media: Antara Fakta dan Framing Sesat

4 hours ago 7

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta dan pengasuh pesantren se-DKI membacakan pernyataan sikap terkait tayangan program Trans7 yang dianggap menghina dan melecehkan kiai dan tradisi pesantren. Pernyataan sikap dibacakan Katib Syuriah PWNU DKI, KH Lukman Hakim di Kantor PWNU DKI, Jakarta Timur, Selasa (14/10/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini, pesantren sering jadi sasaran empuk untuk pemberitaan yang “seksi” di media. Segala hal tentang pesantren — mulai dari tradisi yang dianggap tidak biasa sampai isu dugaan pelanggaran hukum — kerap dikemas sedemikian rupa agar menarik perhatian publik. Sayangnya, banyak dari konten itu gagal menangkap esensi sejati dunia pesantren.

Contohnya terlihat baru-baru ini, ketika salah satu pesantren tertua dan paling berpengaruh di Indonesia, Lirboyo, disorot lewat konten digital yang menyesatkan. Lirboyo yang sudah berusia ratusan tahun itu sejatinya telah melahirkan banyak tokoh bangsa dan membentuk generasi produktif yang berkontribusi besar bagi negeri. Namun, alih-alih mengangkat sisi edukatif dan nilai-nilai luhur pesantren, sebagian konten justru menggiring opini publik ke arah yang keliru.

Akibatnya, muncul kegelisahan di tengah masyarakat — terutama di kalangan orang tua yang mempercayakan pendidikan anaknya di pesantren. Mereka bertanya-tanya, benarkah isi pemberitaan itu? Ataukah hanya hasil potongan narasi yang dilebih-lebihkan demi viralitas?

Secara sosiologis, fenomena ini memperlihatkan betapa kompleksnya dinamika masyarakat digital hari ini. Konten yang mendiskreditkan pesantren mencerminkan adanya fragmentasi sosial — perpecahan cara pandang yang diperkuat oleh algoritma media sosial. Orang lebih mudah percaya pada potongan video atau caption singkat ketimbang memahami konteks utuhnya.

Di era klik dan scroll cepat seperti sekarang, pesantren yang penuh dengan nilai kesederhanaan, kedalaman ilmu, dan kearifan lokal sering kali tak punya ruang untuk menjelaskan diri dengan cara yang sama cepatnya. Padahal, di balik tembok-temboknya, pesantren terus bekerja mendidik generasi yang cerdas, berakhlak, dan mandiri.

Dalam ruang virtual, individu cenderung berkumpul dalam "kamar gema" (echo chambers) atau "gelembung filter" (filter bubbles) yang memperkuat pandangan mereka sendiri dan mengucilkan pandangan yang berbeda. Mereka adalah kelompok yang eksklusif, enggan menerima kearifan di luar kelompoknya, dan merasa merekalah yang paling benar.

Fenomena ini juga didorong oleh pihak yang merasa kecewa kepada institusi tradisional, termasuk lembaga keagamaan seperti pesantren beserta figur sentral di dalamnya. Dalam kode etik jurnalistik, ini merupakan bentuk prasangka buruk dan sinisme terhadap objek reportase.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |