Ragam Pendapat Wacana Penerapan Kembali Ujian Nasional

1 day ago 9

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti memberikan sinyal kuat bahwa Ujian Nasional disingkat UN akan kembali diberlakukan pada tahun ajaran 2025/2026.

Hal ini disampaikan dalam sebuah wawancara di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta, pada Senin, 30 Desember 2024. Ia mengungkapkan bahwa kementeriannya tengah mempersiapkan konsep baru untuk pelaksanaan UN.

"Di tahun ajaran 2025/2026, tapi nanti bentuknya seperti apa, (tunggu) sampai ada pengumuman lebih lanjut," kata Abdul Mu'ti.

Menurut Abdul Mu'ti, UN memiliki fungsi penting sebagai pemetaan mutu pendidikan yang dapat membantu perguruan tinggi dalam menyaring calon mahasiswa. Ia juga menambahkan bahwa hasil UN dapat digunakan untuk mengukur kemampuan pelajar secara individual. Selama ini, menurutnya, sistem penilaian pendidikan bersifat sampling, sehingga tidak memberikan gambaran yang komprehensif.

Namun, rencana ini menuai tanggapan beragam dari berbagai pihak, mulai dari tokoh pendidikan, pengamat, hingga organisasi guru.

Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, secara tegas mengkritik rencana ini. Menurutnya, Ujian Nasional dengan skema lama tidak relevan untuk diterapkan kembali. Ia mengingatkan bahwa sistem UN sebelum tahun 2014 memiliki risiko tinggi bagi siswa, karena dijadikan indikator kelulusan.

"Jadi bagi kami kalau Ujian Nasional itu dilaksanakan skemanya sebagaimana zamannya Anies maupun zamannya Pak Muhadjir, itu tetap tidak relevan karena fungsinya justru mengulang kebijakan lama," katanya.

Satriawan juga mempertanyakan tujuan diadakannya kembali UN, terutama jika berbasis mata pelajaran tertentu. Ia menilai bahwa ujian yang hanya mencakup tiga hingga empat mata pelajaran dapat mendiskriminasi siswa dengan minat di luar rumpun IPA dan IPS. Menurutnya, jika tujuan UN adalah untuk memetakan kualitas pendidikan, maka pendekatan yang lebih tepat adalah melalui asesmen literasi dan numerasi, seperti yang diterapkan dalam Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK).

Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia, juga menyuarakan keberatan serupa. Ia menyebut bahwa pemberlakuan kembali UN tanpa perubahan signifikan hanya akan mengulang kemunduran di masa lalu. Felicia menyoroti lima karakteristik UN lama yang dinilai problematik, termasuk standarisasi nasional yang mengabaikan disparitas kualitas pembelajaran di berbagai daerah.

"Standarisasi secara nasional akan memberikan dampak ketidakadilan bagi peserta didik," ujarnya. Ia menambahkan bahwa pemerintah sebaiknya fokus pada pengembangan asesmen nasional yang lebih inklusif dan relevan.

Di sisi lain, beberapa pihak mendukung pengembalian UN dengan catatan. Sekretaris Jenderal PGRI, Dudung Abdul Qadir, menilai bahwa UN berfungsi sebagai alat untuk pemerataan pendidikan. Ia menyebut bahwa hasil UN dapat digunakan untuk mengevaluasi kelemahan sistem pendidikan di suatu daerah.

"UN adalah mekanisme untuk mengetahui keberhasilan setiap satuan pendidikan dan individu siswa, sehingga guru dan sekolah termotivasi meningkatkan kualitas layanan di sekolah," katanya.

Namun, Dudung menggarisbawahi bahwa UN tidak boleh menjadi penentu mutlak kelulusan siswa. Ia juga menyarankan agar mata pelajaran yang diujikan dapat disesuaikan dengan minat dan bakat siswa, dengan fokus pada pengukuran literasi dan numerasi.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan almarhum Ahmad Syafii Maarif juga termasuk tokoh yang mendukung keberadaan UN. Jusuf Kalla menilai bahwa UN adalah bagian penting dari proses pembelajaran yang dapat meningkatkan semangat belajar siswa. Sementara itu, Ahmad Syafii Maarif khawatir bahwa tanpa UN, tidak ada tolak ukur mutu pendidikan yang dapat dijadikan acuan.

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, menegaskan bahwa sistem evaluasi belajar yang tengah dirancang akan berbeda dengan model UN yang pernah diterapkan sebelumnya. Meski demikian, ia belum memberikan rincian lebih lanjut mengenai formulasi terbaru tersebut.

"Yang jelas, sistem evaluasi pada 2025/2026 akan berbeda dengan Ujian Nasional yang sudah pernah berlaku sebelumnya," ujarnya.

Diskusi terkait kebijakan ini masih terus berlangsung. Kemendikdasmen telah melibatkan berbagai pihak dalam evaluasi kebijakan, termasuk akademisi, organisasi guru, dan lembaga pendidikan. Apapun keputusan akhirnya, transformasi sistem evaluasi pendidikan di Indonesia akan menjadi sorotan utama dalam beberapa tahun mendatang.

M. Rizki Yusrial, Daniel Ahmad Fajri, Rachel Farahdiba Regar, dan Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Ujian Nasional Kembali Digelar, Ini Tanggapan P2G

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |