TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tidak memasukkan Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset ke dalam daftar program legislasi nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. RUU tersebut masuk ke dalam Prolegnas jangka menengah 2025-2029 DPR.
Rapat Paripurna DPR RI Ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di Jakarta pada Selasa, 19 November 2024, menyetujui 176 RUU masuk Prolegnas Tahun 2025-2029 dan 41 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2025.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan mengatakan pertimbangan legislator belum memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 karena materinya masih perlu dikaji atau didalami.
“Jadi masuk pertimbangan long list yang diajukan oleh pemerintah itu mungkin masih perlu membahas muatan materi yang menjadi draf. Karena perampasan aset itu bukan an sich sebagai di bidang korupsi, itu pidana yang dicampur sama perdata," kata Bob di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 19 November 2024.
Tidak masuknya RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk dari pegiat antikorupsi.
Pegiat Antikorupsi Hardjuno Wiwoho: Melemahkan Komitmen Pemberantasan Korupsi
Pengamat hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho mempertanyakan alasan DPR tidak memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas Prioritas 2025. Menurut dia, RUU itu adalah instrumen penting untuk mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan tindak kejahatan ekonomi lainnya.
“Tanpa adanya regulasi ini, aset-aset yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat akan terus terhenti di tangan para pelaku kejahatan,” ujar Hardjuno dalam keterangan di Jakarta pada Jumat, 22 November 2024.
Dia menilai keputusan tidak memprioritaskan RUU Perampasan Aset ke Prolegnas Prioritas 2025 sangat melemahkan komitmen pemberantasan korupsi. Padahal, kata dia, regulasi tersebut dapat mempercepat proses pengembalian aset negara yang dikorupsi.
“RUU ini penting untuk memastikan keadilan. Hasil korupsi harus dikembalikan ke rakyat, bukan justru dibiarkan menjadi aset pribadi yang dinikmati segelintir orang,” kata dia.
Hardjuno pun menyoroti langkah DPR memasukkan RUU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025. Dia berpendapat keputusan itu janggal, karena RUU tersebut secara mendadak masuk dalam daftar panjang usulan Baleg DPR.
“Langkah ini menuai pertanyaan mengapa kebijakan yang berpotensi membebaskan pelanggar pajak dari tanggung jawab masa lalu menjadi prioritas, sementara RUU Perampasan Aset, yang memiliki dampak besar dalam pemberantasan korupsi, justru diabaikan,” tuturnya.
Karena itu, dia menilai keputusan tersebut sebagai bentuk ketidakseriusan DPR dalam memberantas korupsi.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas: Kami Sedang Mengupayakan Dialog dengan DPR
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan pihaknya sedang mengupayakan dialog dengan DPR untuk memuluskan pembahasan RUU Perampasan Aset karena RUU itu tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025.
“Sekarang kami lagi melakukan upaya dialog bersama dengan parlemen, dengan ketua-ketua umum partai politik, supaya begitu Presiden Prabowo Subianto akan mengirim surpres (surat presiden) untuk masuk di dalam prolegnas yang akan datang, memastikan bahwa itu akan dijamin dibahas di parlemen,” kata Supratman di kantornya pada Rabu, 20 November 2024.
Menurut dia, Prabowo menaruh perhatian serius pada RUU Perampasan Aset. Dia menuturkan Presiden memiliki tekad memberantas tindak pidana korupsi di Tanah Air.
“Nanti setelah beliau balik dari luar negeri, kami akan melaporkan perkembangannya terkait dengan prolegnas yang ada, dan akan meminta pandangan beliau terkait dengan itu,” ucapnya.
Supratman mengatakan pemerintah telah selesai menyusun naskah akademik maupun draf RUU Perampasan Aset, tetapi DPR belum memberikan persetujuan penuh.
“Di parlemen kemarin kan berkembang terkait dengan isu baik menyangkut judul. Teman-teman DPR kemarin lewat Badan Legislasi mengusulkan bukan perampasan aset, tapi pemulihan, asset recovery. Kemudian juga beberapa materi muatan yang ada di dalam itu masih resisten,” ujarnya.
Sebagai representasi pemerintah, dia bertanggung jawab memastikan setiap undang-undang yang diinisiasi pemerintah bisa dituntaskan.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana: Prabowo Bisa Minta Ketum Parpol Mendorong Pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyarankan Presiden Prabowo Subianto segera mengumpulkan para ketua umum (ketum) partai politik (parpol) untuk mendorong pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, selain sebagai kepala negara, Prabowo merupakan salah satu ketum parpol, sehingga seharusnya dapat mempermudah pengumpulan para ketum parpol untuk mendorong pembahasan RUU tersebut.
“Anggota Komisi III DPR itu berasal dari kader parpol, maka Prabowo bisa meminta para ketum dari kader parpol tersebut untuk mendorong pembahasan RUU Perampasan Aset di Komisi III,” kata Kurnia dalam kelas literasi bertajuk ‘RUU Perampasan Aset: Mengapa Harus Tetap Disahkan?’ yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Dia menuturkan terdapat hambatan besar dalam rencana pembahasan RUU Perampasan Aset karena aturan itu sudah 15 tahun hanya menjadi dokumen yang tertumpuk di pemerintah maupun DPR. Meski tak diketahui apa hambatannya, dia berkaca pada pernyataan mantan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pemerintah, yang diwakili oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md beberapa tahun lalu.
Kala itu, Kurnia menceritakan Mahfud menyuarakan urgensi pengesahan RUU Perampasan, tetapi Bambang menjawab dengan meminta pemerintah untuk bisa melobi ketum parpol, sehingga tidak hanya mendesak Komisi III DPR.
“Dari pengalaman ini, rasa-rasanya tidak cukup dengan sekadar Komisi III DPR yang bergerak,” ujarnya.
Kepala APUPPT PPATK Supriadi: Kami Sadar Dampaknya Jika RUU Perampasan Aset Tidak Segera Disahkan
Dalam acara yang sama, Kepala Pusat Pemberdayaan Kemitraan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Supriadi berharap RUU Perampasan Aset segera disahkan karena memiliki banyak dampak negatif apabila tidak segera disahkan.
Supriadi mengatakan, apabila RUU Perampasan Aset tidak segera disahkan, koruptor semakin punya kesempatan menyembunyikan kekayaan mereka, kerugian negara akibat korupsi akan terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum menurun, hingga hak masyarakat tercederai lantaran praktik korupsi tumbuh subur.
“PPATK sadar betul dampak yang akan terjadi jika RUU Perampasan Aset ini tidak segera disahkan," ujar Supriadi.
Karena itu, dia berharap kelas literasi mengenai urgensi RUU Perampasan Aset yang digelar PPATK bisa mengetuk kesadaran seluruh pihak untuk mendorong RUU Perampasan Aset agar tetap disahkan.
Dia menuturkan PPATK telah menginisiasi dan menyusun RUU Perampasan Aset sejak 2008. Namun, setelah 16 tahun berlalu, hingga kini RUU tersebut belum juga disahkan.
Padahal, kata dia, berbagai kasus tindak pidana, khususnya tindak pidana pencucian uang (TPPU), saat ini berkembang semakin kompleks karena beragam modusnya bertransformasi seiring perkembangan teknologi menjadi canggih dan rumit.
Akibatnya, kata dia, penanganan dan pemberantasan TPPU menjadi semakin rumit dan sulit, ditambah sistem dan mekanisme perampasan aset tindak pidana di Indonesia yang ada belum mampu memperkuat penegakan hukum.
“Pada akhirnya, hal ini berdampak terhadap pengembalian kerugian negara yang menjadi kurang optimal,” tuturnya.
ANNISA FEBIOLA | ANTARA
Pilihan editor: Respons KPU Soal Beda Aturan Ihwal Pengusul Penghitungan Suara Ulang di TPS dalam PKPU-UU Pilkada