(Beritadaerah-Kolom) Proyek kereta cepat Whoosh, sebagai yang pertama di Asia Tenggara, telah menjadi simbol kemajuan transportasi publik Indonesia. Dengan kecepatan tinggi yang memangkas waktu tempuh Jakarta–Bandung secara signifikan, Whoosh membawa semangat baru dalam upaya modernisasi infrastruktur nasional. Namun, seiring waktu berjalan, muncul sejumlah pertanyaan dan perenungan dari berbagai kalangan, sejauh mana proyek ini berhasil memenuhi tujuannya? Dan apakah kelayakannya telah teruji secara komprehensif, baik dari segi finansial maupun sosial?
Investasi besar untuk sebuah lompatan besar
Tidak dapat dimungkiri bahwa membangun kereta cepat adalah langkah ambisius yang memerlukan komitmen luar biasa, baik dalam hal kebijakan maupun pembiayaan. Total investasi proyek ini mencapai 6,02 miliar dolar AS, suatu angka yang sangat besar bagi proyek infrastruktur di negara berkembang. Skema pembiayaan yang digunakan melibatkan pinjaman luar negeri, dengan tingkat bunga yang bervariasi—sekitar 2 persen untuk pinjaman utama dan 3,4 persen untuk pembiayaan tambahan akibat cost overrun. Perkiraan biaya bunga per tahun bahkan mendekati Rp2 triliun.
Di sisi lain, pendapatan dari sisi operasional, khususnya penjualan tiket, masih belum mencerminkan titik impas yang diharapkan. Data penjualan tiket tahun 2024 mencatat sekitar 6,06 juta tiket terjual, dengan asumsi harga rata-rata Rp250.000 per tiket. Ini berarti total pendapatan kotor hanya sekitar Rp1,5 triliun. Angka ini belum dikurangi biaya operasional seperti listrik, perawatan sarana dan prasarana, tenaga kerja, serta biaya manajemen lainnya.
Pemanfaatan dan pilihan transportasi
Whoosh melayani rute Jakarta–Bandung sejauh sekitar 125 kilometer. Rute ini sebelumnya telah memiliki sejumlah alternatif transportasi yang mapan. Tol Cipularang yang memudahkan perjalanan darat dengan kendaraan pribadi maupun bus, serta layanan kereta api reguler yang telah lama melayani penumpang antarkota. Keberadaan Whoosh memang menambah pilihan, namun dalam jangka pendek, belum sepenuhnya menjawab kebutuhan akan solusi transportasi massal yang mendesak.
Perbandingan dengan negara lain kerap muncul dalam diskusi publik. Di Jepang, kereta cepat Shinkansen menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat dan telah terbukti menopang pergerakan ekonomi di berbagai kota besar. Di Tiongkok, jaringan kereta cepat yang sangat luas menghubungkan kota-kota dengan efisiensi tinggi, menggantikan dominasi penerbangan domestik di banyak jalur. Namun keberhasilan di negara-negara tersebut tidak terlepas dari satu kunci penting, jaringan yang luas, terintegrasi, dan dibangun secara bertahap dalam kerangka kebutuhan transportasi jangka panjang.
Sementara itu, Whoosh masih berada pada tahap awal dengan satu rute utama. Belum ada integrasi menyeluruh dengan moda transportasi lainnya, dan akses ke beberapa stasiun utama pun masih belum sepraktis yang diharapkan. Beberapa penumpang menyebut bahwa perpindahan moda dari atau ke stasiun Whoosh memerlukan waktu dan biaya tambahan, sehingga efisiensi waktu yang dijanjikan di atas kereta menjadi kurang optimal dalam keseluruhan perjalanan.
Antara kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi
Dalam merancang proyek infrastruktur besar, terdapat dua sisi kelayakan yang seringkali menjadi titik perdebatan yaitu kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi. Kelayakan finansial berkaitan langsung dengan kemampuan proyek untuk menghasilkan pendapatan yang mencukupi guna menutup biaya operasional dan pengembalian investasi. Sementara itu, kelayakan ekonomi melihat manfaat jangka panjang bagi masyarakat luas, termasuk dampak terhadap mobilitas, pertumbuhan wilayah, pengurangan emisi, dan kualitas hidup.
Dalam konteks Whoosh, kelayakan finansial tampaknya masih menghadapi tantangan besar. Namun, bukan berarti proyek ini gagal secara keseluruhan. Banyak proyek transportasi publik di dunia yang pada tahap awalnya belum menunjukkan keuntungan finansial, namun tetap dilanjutkan karena diyakini memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang besar dalam jangka panjang.
Contohnya, moda transportasi umum seperti kereta bawah tanah, bus rapid transit, atau jalur trem di berbagai kota besar dunia sering kali disubsidi oleh pemerintah karena dipandang sebagai layanan publik. Dalam kerangka ini, proyek Whoosh mungkin perlu dipandang bukan semata sebagai bisnis, melainkan sebagai fondasi dari sistem transportasi modern yang lebih luas.
Catatan tentang perencanaan dan skala
Muncul pandangan dari sejumlah pengamat bahwa rute awal Jakarta–Bandung, meskipun strategis secara populasi, mungkin terlalu pendek untuk benar-benar menguji efektivitas kereta cepat. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dan sudah memiliki moda transportasi lain yang relatif efisien, keunggulan kereta cepat tidak begitu menonjol. Banyak yang berpendapat bahwa idealnya, proyek ini diarahkan langsung untuk menjangkau kota-kota besar lain di Pulau Jawa, seperti Yogyakarta, Surabaya, atau Semarang.
Apabila jaringan diperluas dan terintegrasi dengan transportasi lokal seperti kereta komuter, bus kota, hingga angkutan feeder, maka potensi utilisasi dapat meningkat signifikan. Integrasi inilah yang menjadi kunci agar investasi besar di bidang transportasi tidak hanya mengandalkan tarif penumpang, tapi juga menghasilkan dampak ekonomi berantai: pengembangan kawasan transit, peningkatan produktivitas kerja, serta penurunan biaya logistik dan waktu perjalanan.
Menimbang opsi dan jalan keluar
Melihat tekanan keuangan yang dihadapi, diskusi tentang restrukturisasi utang mulai mengemuka. Beberapa pihak menyarankan pendekatan yang serupa dengan yang dilakukan oleh maskapai Garuda Indonesia, yang berhasil merestrukturisasi utangnya melalui skema haircut. Jika pendekatan ini dilakukan dengan tepat, beban keuangan proyek Whoosh dapat dikurangi, dan ruang fiskal negara bisa dijaga agar tidak terlalu terbebani dalam jangka panjang.
Tentu, langkah seperti ini memerlukan koordinasi lintas lembaga dan diplomasi yang cermat dengan para kreditur. Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa negosiasi yang transparan dan berbasis data dapat membuahkan hasil yang menguntungkan semua pihak. Selain itu, pemerintah juga bisa mengevaluasi potensi skema pendanaan campuran (blended financing) yang melibatkan dana publik, swasta, dan lembaga multilateral guna mendukung keberlanjutan proyek.
Refleksi untuk masa depan infrastruktur Indonesia
Proyek Whoosh membawa banyak pelajaran berharga. Bahwa membangun infrastruktur besar bukan hanya soal membuktikan kemampuan teknologi atau menandai kemajuan fisik semata, tetapi juga tentang memahami konteks, kebutuhan masyarakat, dan kapasitas fiskal. Sebuah proyek transportasi idealnya tumbuh dari perencanaan jangka panjang, berdasarkan kajian yang matang, dan dirancang agar menjadi bagian dari sistem yang saling terhubung.
Whoosh mungkin adalah awal dari sistem tersebut. Dan sebagai awal, tentu akan ada kekurangan, tantangan, dan evaluasi. Namun yang paling penting adalah bagaimana kita merespons kondisi saat ini dengan sikap terbuka, bijaksana, dan solutif. Apabila proyek ini terus dikembangkan, diperluas jaringannya, dan dibenahi aspek finansialnya, bukan tidak mungkin ia akan menjadi tulang punggung mobilitas baru di masa depan.
Sebaliknya, jika berhenti di satu jalur, dengan keterbatasan integrasi dan tekanan finansial yang besar, maka proyek ini berisiko menjadi beban yang berkepanjangan. Oleh karena itu, sinergi antarlembaga, komunikasi publik yang transparan, dan evaluasi berbasis data menjadi sangat penting.
Harapan dan arah baru
Di balik semua kritik dan catatan, kita tidak boleh lupa bahwa setiap upaya untuk membangun adalah bentuk ikhtiar untuk maju. Kita patut mengapresiasi semangat yang melandasi pembangunan Whoosh—yaitu keinginan untuk mengejar ketertinggalan dan memberikan solusi transportasi yang lebih modern bagi masyarakat Indonesia.
Tugas kita ke depan adalah memastikan bahwa semangat tersebut tidak berhenti di proyek semata, melainkan terus dikembangkan menjadi sistem yang terintegrasi dan berkelanjutan. Dengan perencanaan yang lebih matang, keterlibatan publik yang lebih luas, serta evaluasi yang objektif dan terbuka, proyek-proyek besar seperti Whoosh akan menjadi lebih inklusif dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat luas.
Karena pada akhirnya, kemajuan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari kecepatan infrastrukturnya, tetapi juga dari cara bangsa tersebut belajar, berbenah, dan membangun untuk masa depan yang lebih baik.