AFFAN Kurniawan, tukang ojek online yang darahnya tumpah di aspal Senayan, kini menjadi simbol. Ia bukan siapa-siapa, hanya rakyat kecil yang mencari nafkah. Tapi kematiannya pada 25 Agustus 2025 lantaran terlindas mobil rantis Brimob, telah mengubah wajah perlawanan rakyat. Dari Affan, amarah menemukan martirnya.
Gelombang itu tak terbendung. Dari Jakarta hingga Makassar, dari Surabaya hingga Medan, jutaan orang tumpah ruah ke jalan. Awalnya damai. Namun damai itu cepat runtuh. Kantor DPRD Makassar dibakar, empat pegawai tewas, bentrokan meledak di mana-mana.
Dan semuanya berawal dari satu kalimat pongah: anggota DPR Ahmad Sahroni menyebut rakyat “tolol” karena menuntut pembubaran DPR. Kata-kata yang congkak itu persis seperti percikan api di ladang kering.
Mari kita bicara jujur. DPR sudah lama berhenti jadi wakil rakyat. Ia lebih pantas disebut penjajah dengan jas dan dasi.
Satu orang anggota DPR membebani negara Rp 238–288 juta sebulan. Itu belum termasuk tunjangan dan fasilitas. Take home pay mereka tembus lebih dari Rp 100 juta. Bandingkan dengan buruh yang hanya digaji Rp 2–4 juta, atau petani yang tiap musim pasrah pada langit.
Ironisnya, rakyat dipaksa bayar pajak, sementara uang pajak itu dipakai menghidupi parlemen yang bolos sidang, asal njeplak, dan berkali-kali terseret kasus korupsi. Triliunan raib, tapi tak pernah ada jera dari para wakil rakyat.
Tak ada lagi legitimasi moral. Tak ada lagi kepercayaan. Gedung DPR kini berdiri sebagai simbol pengkhianatan paling telanjang dalam sejarah republik ini.
Crowded Politics, Amarah Tanpa Tuan
Apa yang kita lihat hari-hari terakhir adalah politik kerumunan—amarah tanpa tuan, frustrasi tanpa kanal. Dalam kerumunan, individu larut dalam identitas kolektif: berteriak, melempar batu, membakar kantor. Crowded adalah pisau bermata dua. Ia bisa jadi energi demokrasi, tapi juga bisa mengguncang fondasi negara.
Pertanyaan kunci: ini kerusuhan atau revolusi? Sejarah memberi jawaban. Revolusi Prancis (1789) lahir saat rakyat lapar, bangsawan berpesta, dan ucapan pongah Marie Antoinette jadi pemicu. Hari ini, ucapan Sahroni terdengar bagai gema masa lalu.
Revolusi Mesir (2011) meledak oleh kemiskinan, korupsi dan represi. Ratusan ribu rakyat menduduki Tahrir Square, menjatuhkan Mubarak. Media sosial mempercepat bara.
Indonesia pun pernah mengalaminya. Tahun 1998, krisis moneter, KKN, dan peluru yang menembus mahasiswa Trisakti, akhirnya berhasil menjatuhkan Soeharto dari tampuk Kepresidenan.
Kini, Affan Kurniawan bisa menjadi Trisakti baru. Nama sederhana, tapi bisa menggetarkan republik.
Faktor-faktor klasik revolusi sudah ada:
- Ketidakadilan ekonomi mencolok.
- Delegitimasi politik: DPR jadi musuh rakyat.
- Korban simbolis: Affan.
- Delegitimasi hukum: polisi dilihat sebagai mesin represi, bukan pengayom.
Reformasi Kedua atau Revolusi Jalanan?
Kita sampai di persimpangan sejarah. Amarah rakyat sudah meluap. Pertanyaannya: akan diarahkan, atau dibiarkan liar? Jika ada kepemimpinan moral, tuntutan jelas, dan strategi yang tegas, ini bisa menjadi agenda Reformasi Kedua, memangkas privilese DPR, menutup keran korupsi, dan mengembalikan kedaulatan rakyat.
Tapi jika elite tetap pongah, jika DPR terus menertawakan rakyat, jika polisi tetap brutal, maka jangan salahkan bila sejarah memilih jalan lain: revolusi jalanan.
Sejarah sudah mengajarkan: revolusi tak pernah dimulai di istana. Ia selalu lahir dari jalanan, dari rakyat kecil yang terinjak, dari darah seorang martir.
Affan Kurniawan sudah menyalakan api. Pertanyaannya sekarang, apakah elite negeri ini siap terbakar? “Reformasi kedua bisa lahir dari jalanan – atau revolusi akan mengambil alih.” [*]
Yuliantoro
Alumnus Sosiologi UGM, Yogyakarta
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.