Saatnya Pemerintah Evaluasi Serius Program Makan Bergizi Gratis

2 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Kasus siswa keracunan makanan usai mengonsumsi menu makan bergizi gratis (MBG) marak terjadi di berbagai daerah saat ini.

Di Lamongan, Jawa Tengah, belasan siswa SMA dilarikan ke rumah sakit setelah mengonsumsi menu MBG.

Lalu di Garut, Jawa Barat, ratusan siswa dari berbagai sekolah mengalami keracunan juga diduga karena makanan dari MBG.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ratusan siswa tersebut mengkonsumsi makanan yang disalurkan oleh dapur SPPG Yayasan Al Bayyinah 2 Garut, di Desa Karangmulya, Kecamatan Kadungora, Garut.

Menu yang dihidangkan nasi putih, ayam woku, tempe orek, lalapan sayur, dan buah stroberi.

Ada lagi kasus serupa Banggai Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Ratusan siswa diduga keracunan dari ikan di menu MBG. Puluhan siswa masih dirawat di rumah sakit.

Kasus-kasus di atas hanya beberapa dari marak kejadian dugaan keracunan MBG. Program dengan anggaran hingga Rp71 triliun ini program andalan Presiden Prabowo Subianto.

Badan Gizi Nasional (BGN) sudah buka suara soal dugaan keracunan yang terjadi. BGN melalui Kedeputian Pemantauan dan Pengawasan salah satunya menurunkan tim ke lapangan untuk memantau kondisi terkini terkait dugaan keracunan Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.

Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Salakan Banggai Kepulauan Erick Alfa Handika Sangule membeberkan dugaan awal penyebab insiden tersebut berasal dari menu ikan tuna goreng saus.

Sampel makanan pun sudah dipersiapkan untuk diuji di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kota Palu.

"Faktor penyebab kemungkinan permasalahan tersebut diduga diakibatkan makanan ikan tuna goreng saus. Terkait dengan sampel makanan diduga penyebab keracunan tersebut dipersiapkan untuk dikirim uji sampel di BPOM Palu," kata Erick, Kamis (18/9).

Waktunya evaluasi

Dosen kebijakan kesehatan Pascasarjana Universitas Yarsi, Dicky Budiman menilai pemerintah perlu mengevaluasi beberapa lini dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyusul maraknya kasus keracunan.

Pertama, tata kelola dan akuntabilitas. Kedua, rantai dingin dan kontrol waktu.

Ia menjelaskan makanan panas harus disimpan minimal 60 derajat celcius, makanan dingin maksimal 5 derajat celcius dan penyajian tidak lebih dari empat jam.

"Ini harus ada bukti kepatuhan, harus dipatuhi. Karena kalau tidak ya kejadian luar biasa akan terjadi, terus keracunan," kata Dicky saat dihubungi, Jumat (19/9).

Ketiga, kapabilitas dapur dan sumber daya manusia. Ini termasuk sertifikasi untuk semua dapur produksi hingga pemeriksaan "fit to work" bagi pekerja.

Keempat, terkait menu dan formulasi gizi. Dicky mengatakan harus ada desain menu dengan resiko rendah, khususnya untuk sekolah dengan rute jauh dari SPPG.

"Misalnya kurangi lauk berkuah santan. Kemudian tumisan basah dan salad mentah harus. Pilih yang karbo kering, lauknya masak matang, buah utuh," ujar Epidemiolog ini.

Kelima, terkait pengadaan dan integritas. Keenam, surveillance dan respon kejadian luar biasa (KLB) serta terakhir monitoring dan transparansi publik.

"Masalah utama itu bukan pada konsep makan bergizinya. Tapi pada execution risk-nya. Jadi titik rawannya itu bahaya waktunya, suhunya, kapasitas dapur, SOP yang longgar, logistik yang panjang, dan pengawasan yang lemah," kata Dicky.

Ia menilai model dapur terpusat atau Sentra Penyediaan Pangan Gizi (SPPG) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih relevan, namun harus dijalankan dengan syarat ketat.

Ia menekankan perlunya onsite finishing di sekolah.

"Jadi makanan datang dipanaskan ulang lebih dari 74 derajat celcius. Holding panas jangan lebih dari dua jam. Dengan rute maksimal jangan lebih dari 1,5 jam sejak keluar dari dapur," ujarnya.

"Kalau risikonya tidak dimitigasi, bisa terjadi lonjakan KLB (kejadian luar biasa) saat cuaca panas atau kemacetan pengiriman," imbuh dia.

Terkait usulan DPR agar MBG memanfaatkan kantin sekolah, Diki menilai ada sisi positif dan negatif.

Menurutnya, kedekatan lokasi membuat makanan lebih segar, menyesuaikan porsi anak, preferensi lokal, sekaligus juga bisa memberdayakan ekonomi lokal.

"Tapi ada potensi negatifnya, artinya banyak kantin berarti akan butuh upgrade dapur. Jadi komponen memadai, belum lagi kulkas, rak kering, rak basah, dan lain-lain. Kemudian juga ini bicara bagaimana lisensi dan sertifikasinya," katanya.

Gagal manajemen

Terpisah, Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kasus keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan pola kegagalan yang sama: desain kebijakan yang dipercepat tanpa uji coba memadai, rantai distribusi yang panjang, dan pengawasan yang tidak konsisten di tingkat lokal.

"Ketika program dirancang sebagai proyek skala besar tanpa landasan evaluasi bertahap, risiko teknis mudah berkembang menjadi krisis kesehatan publik," kata Achmad.

Menurutnya, model produksi terpusat melalui Sentra Penyediaan Pangan Gizi (SPPG) membuat jeda waktu dari proses masak hingga konsumsi terlalu lama.

Kondisi itu membuka peluang kontaminasi dan membutuhkan sistem rantai dingin yang belum tersedia merata di seluruh daerah.

"Standar higienitas dan sertifikasi penyedia belum diterapkan secara konsisten, beberapa penyedia mematuhi standar, namun banyak yang tidak," katanya.

Sebagai solusi jangka menengah yang lebih berkelanjutan, ia mengusulkan meredesain MBG berbasis komunitas sekolah dengan melibatkan kantin sekolah koperasi orang tua, atau dapur sekolah berstandar higienis.

Model itu dinilai memperpendek waktu masak ke konsumsi, meningkatkan pengawasan partisipatif oleh guru dan orang tua serta membuka peluang ekonomi lokal.

"Sebagai langkah konkret, saya mengusulkan pilot terukur di minimal enam kabupaten dengan karakter berbeda, perkotaan, pesisir, dataran tinggi, dengan indikator evaluasi angka kejadian keracunan, waktu dari masak ke santap, proporsi penyedia bersertifikat, dan kepuasan orang tua," kata dia.

(yoa/gil)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |