Tanggapan Dosen Ilmu Politik Unpad Wacana Prabowo Soal Kepala Daerah Dipilih DPRD: Potensi Transaksi Politik Uang

1 month ago 45

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Ilmu Politik Univesitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan menanggapi soal wacana Presiden Prabowo Subianto mengenai pemilihan kepala daerah dipilih DPRD. Ia menyebut pemerintah perlu melakukan pembenahan sistem dibanding mengubah sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung.

“Bagaimana soal politik uang, bagaimana mengantisipasinya, sebetulnya banyak hal yang bisa dilakukan,” kata Firman kepada Tempo.co melalui saluran telepon, 21 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menyoal alasan biaya atas wacana kepala daerah dipilih DPRD ini, Firman menyebut dua hal, ia mengatakan bahwa demokrasi pasti membutuhkan biaya. Firman juga mengatakan yang menjadi keluhan biaya demokrasi ialah adanya transaksi politik.

“Lalu yang kedua soal biaya politik itu hati-hati, jangan-jangan yang jadi keluhan itu kan transaksi politik ya. Jadi misalnya ada politik uang dari kandidat terhadap pemilih,” kata Firman.

Firman mengatakan pilkada tidak langsung juga masih berpotensi adanya transaksi politik tersebut. Jika dalam pilkada langsung terjadi transaksi politik antara kandidat dengan pemilih, maka pada pilkada oleh DPRD tidak menutup kemungkinan adanya transaksi antara kandidat dengan orang-orang yang memilihnya.

Jika tidak mau ada biaya, kata Firman, maka dilakukan model penunjukkan langsung oleh presiden saja. Masalahnya, Indonesia akan kembali kepada pengaturan masa lalu dalam sistem pemerintahan yang otoritarian.

“Jadi kalo tidak mau ada biaya tidak usah ada pemilu sekalian, modelnya ya model ditunjuk saja. Kita sudah di alam demokrasi yang kita tidak ingin kembali ke zaman yang otoritarian,” kata dia.

Firman juga menuturkan kekhawatiran kompetisi pilkada yang tidak setara jika dilakukan oleh DPRD. Menurutnya, jumlah kursi di DPRD berpotensi mempengaruhi kompetisi politik tersebut.

“Jadi elit elit dari partai besar yang kemudian punya potensi untuk menjadi kepala daerah” tutur Firman.

Selain itu, Firman menyebut pilkada yang dilakukan secara tidak langsung berarti tidak ada partisipasi publik. Berbeda dengan model pilkada yang dijalankan saat ini, dengan pola pemilihan langsung, maka rakyat bisa berpartisipasi secara langsung.

“Misalnya tidak langsung, contoh dipilih oleh DPRD, berarti kan tidak ada partisipasi publik di situ,” kata dosen Unpad itu.

Ia juga menyinggung soal integritas anggota DPRD sebagai representasi suara rakyat. Terlebih, selama ini anggota partai yang menduduki kursi DPRD lebih mementingkan kepentingan partainya dibanding kepentingan publik.

“Yang jadi masalah kan, pertanyaannya apakah kemudian nanti di anggota dpr itu merepresentasikan publik? Nah itu yang jadi problem. Selama ini memang kan yang terindikasi bahwa anggota anggota partai lebih mementingkan kepentingan kelompok, kepentingan partainya, kepentingan elit, dibandingkan kepentingan publik,” ujarnya.

Firman menyebut jika Indonesia ingin menerapkan sistem pemilihan tidak langsung, maka harus dilakukan evaluasi secara besar-besaran. Misalnya evaluasi mendalam terkait politik uang serta keterlibatan partai dalam mengkader kandidat-kandidat yang berkualitas.

Menurutnya, selain pembenahan sistem, yang lebih diperlukan saat ini adalah partisipasi publik harus diperhatikan tak hanya dari segi jumlah, tetapi dari segi kualitas partisipasinya. Oleh karena itu sistem pemilihan dapat tetap dilakukan secara langsung.

“Soal bagaimana partisipasi publik itu semakin baik bukan hanya dari segi jumlah tingkat partisipasinya tapi juga kualitas partisipasinya,” katanya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |