TEMPO.CO, Jakarta - Sebulan sudah Bashar al-Assad digulingkan, mengakhiri lebih dari lima dekade kekuasaan keluarganya dan hampir 14 tahun perang saudara Suriah. Al-Assad melarikan diri ke Rusia pada 8 Desember lalu dan tidak pernah terlihat lagi sejak saat itu.
Pada Rabu malam, ribuan orang menghadiri sebuah konser di ibu kota Damaskus untuk merayakan pemberontakan, sebuah hari yang oleh sebagian warga Suriah pernah dianggap tidak akan datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan editor diplomatik Al Jazeera, James Bays, dari Damaskus, mengatakan bahwa orang-orang berkumpul di sebuah pusat bola basket di jantung kota untuk menghadiri konser perayaan tersebut, yang menandai satu bulan ketenangan dan stabilitas.
"Ada perasaan gembira yang nyata di sini, tepat satu bulan setelah jatuhnya al-Assad," katanya.
"Di luar stadion ini sebenarnya ada poster besar al-Assad, tapi sekarang Anda hanya bisa melihat rambut dan dahinya. Sisanya telah dicabik-cabik karena rezimnya, tentaranya dan seluruh aparatnya... dicabik-cabik tepat satu bulan yang lalu," tambahnya.
Bays mengatakan bahwa hasil dari konser tersebut akan disumbangkan ke LSM-LSM terkemuka, termasuk White Helmets- pasukan pertahanan sipil yang beroperasi selama rezim al-Assad untuk menyelamatkan orang-orang dari reruntuhan saat terjadi pengeboman oleh angkatan udara Suriah dan Rusia.
Di Damaskus, banyak warga Suriah yang juga menantikan sebuah negara baru. "Saya berharap masa depan akan lebih baik. Tidak ada kehidupan di bawah al-Assad. Kami takut dengan dia dan tentaranya," kata Nada Daye, seorang warga Suriah, kepada Al Jazeera.
Mamoun Nahlawi, seorang pemilik toko buku, mengatakan bahwa ekonomi sekarang harus terbuka setelah bertahun-tahun dijatuhi sanksi oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. "Sanksi-sanksi itu harus dicabut. Jika tidak, orang tidak akan melihat efek positifnya. Orang-orang dipermalukan selama pemerintahan al-Assad," katanya.
Tiga pekan lalu, ribuan orang juga berkumpul di Aleppo untuk menghadiri sebuah konser yang diselenggarakan organisasi kemanusiaan yang berbasis di London, Syria Relief, Anadolu melaporkan.
Konser ini menandai mulai normalnya kehidupan di Suriah di bawah wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi dan warga terus merayakan kebebasan yang baru mereka temukan.
Konser yang berlangsung selama empat jam ini menampilkan artis terkenal asal Suriah, Yahya Hawwa, dan para hadirin menikmati malam yang penuh dengan musik, lagu-lagu bertema revolusi dan perlawanan, serta lagu-lagu kebangsaan.
Bendera-bendera Suriah berkibar di seluruh venue saat konser berakhir dengan damai, menawarkan pemandangan yang semarak dan penuh warna.
Suriah merupakan salah satu negara yang paling banyak dijatuhi sanksi di dunia dan pemerintahan baru negara ini, yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa, sedang berusaha untuk mengubahnya. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengadakan pertemuan pertama tahun ini pada Rabu, dengan fokus pada masalah ini. DK PBB mendorong agar sanksi-sanksi tersebut dicabut.
Utusan khusus PBB untuk Suriah Geir Pedersen, dikutip Al Jazeera, juga mengatakan kepada pertemuan DK PBB bahwa "mengupayakan transisi politik yang inklusif" akan membantu memastikan bahwa Suriah "dengan cepat menerima dukungan ekonomi yang sangat dibutuhkan, yang pada gilirannya membutuhkan pengakhiran sanksi yang mulus".
Tom Fletcher, wakil sekretaris jenderal PBB untuk urusan kemanusiaan, juga mengatakan kepada DK PBB bahwa sanksi-sanksi seharusnya tidak menghalangi dukungan kemanusiaan untuk negara tersebut.
Dalam beberapa minggu ke depan, sebuah konferensi nasional untuk membahas transisi Suriah menuju demokrasi akan dimulai.
Sementara itu, para pejabat AS juga telah memulai pembicaraan dengan Qatar dan Uni Emirat Arab mengenai pelonggaran pembatasan keuangan di Damaskus, asalkan pemerintah baru memutuskan hubungan dengan Rusia dan Iran, dan menawarkan stabilitas politik.