100 Hari Kabinet Prabowo: Bom Waktu Konsekuensi Fiskal Kebijakan Populis

3 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Tibriz Maulidya masih ingat betul soal kebingungan yang terjadi pada akhir tahun lalu, kala mendengar kabar Presiden Prabowo Subianto membatalkan kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.

Perempuan berusia 24 tahun itu akhirnya bersyukur pemerintah memutuskan untuk mengenakan PPN 12 persen hanya terhadap barang-barang mewah. Namun di tengah angka penjualan yang kian menurun, maju-mundur kebijakan soal PPN itu sebelumnya telah turut menimbulkan kegamangan bagi usaha produsen pakaian rajut milik keluarganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tibriz mengatakan menurunnya penjualan memang sudah dirasakan sepanjang 2024, tetapi pesanan yang masuk semakin merosot di penghujung tahun. Ia pun membandingkan pesanan yang diterima pada masa pandemi Covid-19 dengan pesanan selama beberapa bulan terakhir.

“Waktu Covid-19, kami bisa mengirimkan order ke 100 alamat per harinya,” ucap Tibriz kepada Tempo, Selasa, 28 Januari 2025. Sementara saat ini, dalam seminggu usahanya menerima kurang dari 100 pesanan.

Menurut Tibriz, jumlah pesanan yang menurun ini tak hanya terjadi kepada usaha keluarganya yang bertempat di Sentra Industri Rajut Binong Jati, Bandung itu. Beberapa usaha tetangganya di sentra tersebut, kata Tibriz, juga mengalami hal yang sama.

“Karena ini industri rumahan, kami sering ngobrol,” ujarnya. Setelah mengobrol dengan beberapa pelaku usaha lainnya, ia menyimpulkan mereka juga mengalami penurunan penjualan yang cukup signifikan.

Bahkan, Tibriz bercerita, ada satu pelanggan yang terhitung sudah sebulan tidak membuat pesanan baru di usahanya itu. Padahal, pelanggan tersebut rutin memesan pakaian rajut yang diproduksi oleh keluarga Tibriz.

Pelanggan itu, kata dia, biasanya memesan dalam jumlah banyak untuk dijual kembali. “Akhir Desember sampai Januari ini dia enggak buat orderan lagi. Apakah penjualannya lagi berkurang, aku enggak ngerti,” ucap Tibriz. “Cuman kalau memang itu yang terjadi, itu jadi salah satu dampak yang dia rasain, tapi aku juga kena.”

Adapun ketika pembicaraan mengenai PPN 12 persen mencuat, usaha pakaian rajut milik keluarga Tibriz sudah berada di kondisi menurun. Ia dan keluarganya pun harus memutar otak untuk mengantisipasi kenaikan harga bahan baku seperti benang dan jarum imbas PPN 12 persen.

Tibriz menyebut ketidaktegasan dan ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah itu membuatnya bingung. “Awalnya pemerintah berkukuh ini bakal naik jadi 12 persen, jadi untuk produk jadi, kami sudah hitung harga pokok penjualannya,” ujar dia.

Proses penghitungan harga pokok penjualan itu juga tidak mudah, kata Tibriz. Pasalnya, Tibriz dan keluarganya harus mempertimbangkan cara memenuhi tuntutan konsumen yang tidak ingin ada kenaikan harga sekaligus memastikan usaha mereka tetap mendapat keuntungan.

“Aku merasa jadi korban, dan menurutku seluruh masyarakat juga menjadi korban, dari ketidakpastian dan ketidakjelasan pemerintah,” ucapnya. Ia merasa pemerintah tidak transparan soal kebijakan-kebijakan yang direncanakan dan diterapkan untuk masyarakat.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulanya berencana menaikkan tarif PPN sebesar satu persen per 1 Januari 2025 mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Undang-Undang HPP menegaskan tarif PPN akan dinaikkan secara bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dan 12 persen pada 1 Januari 2025.

Artinya, seluruh barang yang menjadi objek PPN dengan tarif 11 persen naik menjadi 12 persen pada Januari. Hanya sejumlah barang yang tarif pajaknya tetap 11 persen, yakni minyak goreng murah berjenis Minyakita, tepung terigu, dan gula industri. 

Sejak awal pemerintahannya pada 20 Oktober 2024, Prabowo tidak menunjukkan keraguan menjalankan rencana itu. Adapun berdasarkan hitungan Kementerian Keuangan, kenaikan PPN dapat mendatangkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 75 triliun.

Tambahan itu dinilai penting untuk menambal kebutuhan belanja negara dalam program prioritas Prabowo, seperti makan bergizi gratis (MBG) yang pada awal pelaksanaannya membutuhkan dana Rp 71 triliun.

Sepanjang Desember 2024, terjadi tarik-ulur kenaikan PPN. Meski Prabowo belum menyatakan sikap akhir pemerintah ihwal kebijakan tersebut, Ketua Komisi Bidang Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Mukhamad Misbakhun sempat mengatakan kenaikan tarif PPN akan diterapkan secara selektif, yakni pada barang mewah.

Namun keterangan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada 21 Desember 2024 membuat bingung karena menyatakan kenaikan tarif PPN 12 persen berlaku untuk semua barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11 persen, kecuali sejumlah barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak.

Pada 31 Desember 2024, Prabowo akhirnya menentukan sikap dan mengambil arah kebijakan populis untuk membatalkan kenaikan PPN 12 persen. Ia mengumumkan kenaikan PPN 12 persen per 1 Januari 2025 hanya berlaku untuk barang mewah yang masuk kategori pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Pembatalan ini buntut gejolak yang muncul di kalangan masyarakat yang tidak merestui kebijakan kenaikan PPN.

Di sela-sela ketidakpastian kenaikan PPN itu, pemerintah menggaungkan paket stimulus kebijakan di bidang ekonomi. Beberapa di antaranya bantuan pangan berupa beras 10 kilogram per bulan kepada 16 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama Januari hingga Februari dan diskon tarif listrik bagi pelanggan dengan daya 2.200 VA selama dua bulan pada Januari dan Februari.

Tak hanya itu, pemerintah juga memberikan insentif perpanjangan masa berlaku pajak penghasilan atau PPh final 0,5 persen bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan pembebasan PPh bagi pelaku usaha dengan omset di bawah Rp 500 juta per tahun.

Insentif lainnya yakni PPh pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) bagi pekerja dengan gaji sampai dengan Rp 10 juta per bulan, dan pembiayaan industri padat karya untuk revitalisasi mesin dengan subsidi bunga 5 persen.

Stimulus ekonomi itu semula diberikan untuk menekan laju penurunan daya beli sekaligus mendorong perekonomian imbas rencana kenaikan PPN secara umum dari 11 persen menjadi 12 persen. Teranyar, meski PPN batal naik, paket stimulus itu tetap berjalan seperti rencana awal.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin pun turut menyoroti kebijakan yang menjadi bahan diskursus selama tiga bulan Prabowo menjabat sebagai presiden ini. Wijayanto mengatakan, rencana kenaikan PPN 12 persen memang sudah lama dibahas, namun proses pembatalannya sangat tiba-tiba.

“Mendadak tanpa proses diskusi dan teknokrasi,” ujarnya pada Rabu, 22 Januari 2025. Menurut dia, kebijakan mendesak seperti kenaikan PPN itu perlu diputuskan dengan didasarkan pada keahlian teknis dari pakar-pakar (teknokrat) dalam bidang itu sendiri.   

“Kemudian ketika PPN 12 persen dibatalkan, ternyata insentif masih jalan,” tutur Wijayanto. Negara yang seharusnya mengantongi Rp 75 triliun dari penarikan tarif PPN 12 persen itu, kini harus bergantung dengan pengenaan pajak terhadap barang mewah saja. Dengan hitungan kasar, Wijayanto mengatakan potensi penerimaan tarif PPN 12 persen terhadap barang mewah hanya sekitar Rp 2,5 triliun. 

Wijayanto juga menilai kebijakan stimulus atau insentif yang tak dicabut seiring dengan pembatalan kenaikan tarif PPN ini sangat berpengaruh pada kondisi fiskal ke depannya. Pasalnya, pemerintah bakal kehilangan dana senilai puluhan triliun imbas pemberian insentif untuk meredam kenaikan PPN.

“Berharap ada tambahan revenue Rp 75 triliun, tapi kemudian ada biaya insentif,” ucapnya. “Kebijakan yang diharapkan memperkuat fiskal hasilnya justru menambah pengeluaran.”

Kenaikan PPN 12 persen bukan satu-satunya kebijakan populis pemerintahan Prabowo Subianto yang memicu kritik. Selama 100 hari pemerintahan Prabowo, sejumlah ekonom telah memberi catatan terhadap kebijakan fiskal yang dinilai berpotensi menggerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. Salah satunya ialah program unggulan Prabowo, makan bergizi gratis (MBG).

Program Makan Bergizi Gratis–sebelumnya disebut Makan Siang Gratis—selalu digaungkan Prabowo sejak masa kampanye pemilihan presiden 2024. Ia berulang kali mengucap janji pelaksanaan makan siang gratis saat debat calon presiden dan dalam kampanye akbar pada 10 Februari 2024 lalu.

Selama masa kampanye, Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran Rakabuming Raka memperkirakan kebutuhan anggaran MBG sebesar Rp 450 triliun per tahun dengan asumsi harga satu porsi makanan Rp 15 ribu. Program MBG direncanakan akan menyasar 80 juta penerima. 

Setelah dilantik pada Oktober 2024, Prabowo langsung menunjuk Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pemimpin program MBG. Pada Senin, 6 Januari 2025, program makan bergizi gratis resmi diluncurkan serentak di 26 provinsi.

Adapun hingga kini, program MBG telah dilaksanakan di 31 provinsi di Indonesia. Sebanyak 238 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah beroperasi sebagai dapur umum pembuatan makanan untuk MBG.

Dalam APBN 2025, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 71 triliun untuk operasional program itu pada periode Januari-April 2025, dengan target penerima manfaat sebanyak 3 juta anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Namun penerima makan bergizi ditargetkan terus bertambah menjadi 6 juta orang pada periode April-Agustus 2025, kemudian 15 hingga 17 juta orang pada Agustus-September 2025. 

Teranyar, Prabowo memerintahkan BGN untuk melakukan percepatan agar program MBG dapat dinikmati oleh 82,9 juta penerima pada akhir 2025. Akselerasi ini pun disebut memerlukan biaya tambahan. BGN memperkirakan lembaga tersebut membutuhkan setidaknya Rp 100 triliun untuk melaksanakan instruksi dari kepala negara.

"Kami sampaikan tambahan Rp 100 triliun cukup untuk memberikan makan kepada seluruh penerima manfaat 82,9 juta," kata Kepala BGN Dadan Hindayana usai mengikuti rapat terbatas yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta pada Jumat, 17 Januari 2025. 

Dadan mengatakan apabila hanya mengandalkan anggaran yang tersedia saat ini, dana tersebut dalam hitungan BGN hanya cukup untuk menjangkau 17,5 juta penerima manfaat hingga September 2025. Maka dari itu, kata dia, BGN membutuhkan penambahan anggaran.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat berpendapat penambahan anggaran untuk program MBG berpotensi memperlebar defisit APBN 2025. Hal ini bisa terjadi jika anggaran tersebut tidak dikelola dengan baik. Diketahui, untuk tahun anggaran 2025, pemerintah merancang defisit fiskal sebesar 2,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sejumlah Rp 616,2 triliun.

“Ketika defisit membesar, jalan keluar yang paling sering diambil adalah dengan menaikkan pajak dan mengurangi subsidi di sektor lain, yang berpotensi semakin menekan daya beli masyarakat kelas menengah,” tutur Achmad pada Kamis, 30 Januari 2025.

Menurut Achmad, kelas menengah, sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, menghadapi tekanan yang semakin besar akibat ambisi populis yang diterapkan oleh pemerintahan Prabowo. 

Ia menekankan, program prioritas pemerintahan Prabowo membutuhkan anggaran yang besar. Selama 100 hari pertama pemerintahannya, Prabowo telah mencanangkan beberapa program populer yang di antaranya makan bergizi gratis dengan anggaran Rp 71 triliun, pembiayaan tiga juta rumah per tahun dengan anggaran Rp 35 triliun, pemeriksaan kesehatan gratis dengan anggaran Rp 4,7 triliun, dan bantuan sosial pangan nontunai/beras 10 kilogram dengan anggaran Rp 6 triliun.

Lebih jauh, Achmad menyebut ambisi Prabowo untuk mencapai swasembada pangan pun membutuhkan tambahan anggaran yang cukup besar. Diketahui, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) telah meminta tambahan dana Rp 505 miliar dalam rapat dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewujudkan ambisi swasembada pangan Prabowo.

Program tersebut, kata Achmad, sebetulnya merupakan hal baik jika dilaksanakan dengan efisien. Namun apabila tidak ada strategi yang matang dalam implementasinya, maka tambahan anggaran itu hanya akan menambah beban fiskal negara tanpa menghasilkan dampak jangka panjang yang berarti.

Senada dengan Achmad, ekonom senior Bright Institute Awalil Rizky menilai berbagai kebijakan populis Prabowo berisiko memperburuk keadaan fiskal di tahun-tahun mendatang. “Aturan defisit masih 3 persen dari PDB, dan rancangan APBN 2025 sendiri sudah 2,53 persen, maka pilihannya mengubah alokasi belanja,” ujar Awalil kepada Tempo pada Jumat, 31 Januari 2025.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari PDB. Bila defisit kisaran 2,5 persen hingga 3 persen dipertahankan sepanjang 2026 sampai 2029, Awalil mengatakan utang negara pasti meningkat pesat.

Sementara pada 2025, pemerintah sudah berencana menarik utang baru sebesar Rp 775,87 triliun. Utang ini paling banyak bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN), yakni sebesar Rp 642, 5 triliun. Sementara sisanya berasal dari pinjaman dalam dan luar negeri sejumlah Rp 133,3 triliun. “Peningkatan utang yang pesat berakibat pada pembayaran bunga utang yang makin besar, dan berarti membatasi ruang fiskal lebih lanjut,” kata Awalil.

Bahaya terbesarnya, menurut dia, adalah pemerintah yang akan semakin kesulitan membayar utang. Bank Indonesia melalui kebijakan moneter memang bisa membantu pelunasan utang itu, namun itu juga menempatkan negara dalam kondisi yang rentan. “Risiko kesulitan memperoleh utang baru atau refinancing makin dialami tahun-tahun mendatang,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan meski utang pemerintah Indonesia memang belum pernah menjadi penyebab krisis dan hanya mempersempit ruang fiskal, tapi tetap hal tersebut perlu dimitigasi. Utamanya bila ada krisis yang diakibatkan faktor eksternal lainnya, menurut Awalil, utang jumbo pemerintah saat ini sekaligus proyeksi utang ke depannya akan memperparah kondisi rawan itu. 

Ghoida Rahmah dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |