TEMPO.CO, Yogyakarta - Puluhan warga pesisir Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta mendatangi komplek Keraton Yogyakarta, Kamis siang, 21 November 2024.
Mereka menemui pihak Panitikismo atau bagian urusan pertanahan Keraton Yogyakarta demi mempertanyakan dan mengadukan soal penutupan akses masuk Pantai Sanglen yang sudah terjadi beberapa bulan terakhir.
Penutupan akses Pantai Sanglen itu diduga karena rencana pembangunan sebuah destinasi buatan baru yang eksklusif dan privat di lokasi tersebut. Hal tersebut membuat warga dan pengelola setempat khawatir, karena belum ada keputusan tentang keterlibatan warga dalam pengelolaan destinasi baru yang berada di lahan Sultan Ground atau tanah kasultanan itu.
"Kami audiensi dengan Panitikismo Keraton Yogyakarta soal kelanjutan Pantai Sanglen, yang akses jalannya ke sana saat ini masih belum bisa atau ditutup," ujar Perwakilan Paguyuban Wisata Pantai Sanglen, Ahmad Setiawan.
Ahmad menuturkan Pantai Sanglen turut mendukung perputaran ekonomi masyarakat. Banyaknya wisatawan yang datang untuk kemping dan menikmati pemandangan laut selatan, dimanfaatkan warga untuk mengais rejeki dengan membuka usaha kecil
Namun sejak pertengahan 2024 lalu, akses ke pantai itu ditutup karena proyek pembangunan destinasi baru yang disebut sebut akan menyerupai kawasan resort akan dimulai. Terutama setelah ada memo kesepakatan antara pihak investor, perangkat desa dan Keraton Yogyakarta.
"Kami berharap ketika ada pembangunan destinasi baru itu melibatkan masyarakat agar tahu seperti apa arahnya, didiskusikan bersama," kata Ahmad.
Dalam pertemuan tertutup selama kurang lebih satu jam itu warga Pantai Sanglen ditemui perwakilan Panitikismo Keraton Yogyakarta, Kanjeng Pangeran Hario (KPH) Suryahadiningrat atau Kanjeng Surya.
"Dari penjelasan pihak Panitikismo, akses Pantai Sanglen masih ditutup karena proyek itu masih dalam proses perizinan. Sudah koordinasi dengan pemerintah desa," kata dia.
Warga Pantai Sanglen lainnya, Parman, 80 tahun menuturkan, ia menjadi salah satu keluarga paling terdampak akibat penutupan akses Pantai Sanglen.
"Padahal yang babat alas (merintis pembukaan destinasi) di tahun 2015 itu kami, saat itu kawasan itu masih semak belukar, kemudian kami bersihkan dan mulai banyak orang datang camping di situ," kata Parman.
Pria yang memiliki 4 anak dan 12 cucu itu mengatakan, pamor Pantai Sanglen mulai naik medio tahun 2022 silam. Banyak wisatawan pecinta camping berdatangan. Dalam semalam ia bisa seribu orang datang untuk camping di area itu.
"Tapi setelah akses itu ditutup kami seperti terusir, tak ada penghasilan dari wisata itu lagi, kami juga diminta pindah rumah dari sana dengan uang pengganti hanya Rp 1,8 juta," kata dia.
Rizki Abiyoga atau Abi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, yang mendampingi warga Pantai Sanglen dalam pertemuan itu, mengatakan, kedatangan warga untuk mempertanyakan nasib mereka setelah tergusur. Terutama usai adanya rencana pembangunan tempat pariwisata eksklusif dan privat kerjasama antara Keraton Yogyakarta selaku pemilik lahan dan investor.
"Ternyata sudah ada perjanjian antara desa, investor, dan Kasultanan, yang akan membuat suatu bentuk destinasi pariwisata baru," kata dia
Abi mengatakan, sebelum ada rencana pembangunan tersebut warga secara swadaya membuka lahan dan dijadikan tempat camping atau berkemah. Namun jauh sebelumnya, warga sudah menjadikan lokasi tersebut sebagai lahan pertanian.
"Usaha pertanian itu sudah turun temurun sejak tahun 1950-an, kemudian warga mulai berdagang di sana tahun 2016," kata dia.
Namun saat Pantai Sanglen mulai ramai dikunjungi pada tahun 2022, warga yang berkegiatan ekonomi di pantai itu diminta mengosongkan lokasi dengan dalih akan ada pembangunan lokasi wisata baru.
"Jumlah warga yang terdampak langsung ada sekitar 7-8 kepala keluarga, namun secara total 20 kepala keluarga yang dari daerah sekitar ikut terdampak kehilangan penghasilan dan terusir," kata dia.
Saat awak media hendak meminta konfirmasi ke pihak Keraton Yogyakarta dalam pertemuan itu, pihak keamanan tidak mengijinkannya dan meminta pergi.