
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Program ambisius Kementerian Sosial (Kemensos) untuk membagikan lebih dari 15.000 laptop kepada siswa Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia memantik perbincangan publik.
Di balik semangat pemerataan fasilitas belajar, kebijakan itu dinilai memunculkan celah rawan penyelewengan anggaran.
Namun demikian, Menteri Sosial, Syaifullah Yusuf, memastikan proses pengadaan akan dikawal ketat. Ia mengklaim telah menginstruksikan jajarannya agar semua tahap lelang dilakukan secara terbuka dan tanpa permainan di belakang layar.
“Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, kami libatkan aparat penegak hukum dan auditor sejak awal. Tidak boleh ada kongkalikong, tidak ada intervensi, semua sesuai prosedur,” ujarnya, Minggu (10/8/2025).
Sorotan Mengarah ke Prioritas
Rencana tersebut akan menyerap sekitar Rp 140 miliar dari total Rp 7 triliun dana operasional Sekolah Rakyat di APBN. Tahap awal pada Agustus ini akan menyasar 9.700 siswa, disusul 6.000 siswa pada gelombang kedua. Setiap murid dari jenjang SD hingga SMA akan menerima satu unit laptop sesuai tingkat pendidikannya.
Namun, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, justru mengkritik langkah tersebut. Ia menilai pembelian laptop massif merupakan “lahan empuk” praktik korupsi, mulai dari permainan spesifikasi, mark up harga, hingga pemilihan vendor yang tak transparan.
“Pengadaan ini cenderung lebih menguntungkan pihak proyek daripada siswa. Masih banyak masalah mendasar seperti guru yang belum terlatih, kurikulum yang belum matang, dan infrastruktur sekolah yang rusak,” tegasnya.
Sementara itu di lapangan, pendapat para pelaku pendidikan pun beragam. Ada yang mendukung, ada pula yang khawatir rencana tersebut diselewengkan di tengah jalan. Sebagian guru mendukung program tersebut, karena laptop akan membantu sistem pembelajaran berbasis Learning Management System (LMS) yang diterapkan sekolahnya.
“Kalau manual akan sulit. Dengan LMS, guru bisa menyesuaikan pembelajaran sesuai kemampuan tiap anak,” ujar salah seorang guru.
Meski begitu, ia mengakui tidak dilibatkan dalam proses pengadaan perangkat.
Sementara itu, para wali murid juga mendukung penuh program tersebut.
“Kalau ada laptop sendiri, anak bisa belajar lebih baik. Daripada uang habis untuk hal yang tidak bermanfaat,” ujarnya.
Pengalaman Buruk Jadi Pelajaran
Pengadaan barang dengan nilai besar dan terpusat, menurut Ubaid, rentan diwarnai penyimpangan. Ia mengingatkan pemerintah agar belajar dari berbagai kasus korupsi pengadaan alat pendidikan di masa lalu, termasuk proyek laptop di kementerian lain yang kini tengah diusut penegak hukum.
ICW dan KOPEL Indonesia bahkan menegaskan, prioritas pendidikan seharusnya mengarah pada pembenahan infrastruktur dan fasilitas dasar. Data Kemendikdasmen menunjukkan lebih dari 60% ruang kelas SD di Indonesia mengalami kerusakan, dengan hampir setengah ruang kelas SMP bernasib serupa.
Syaifullah Yusuf bersikukuh laptop dibutuhkan agar siswa miskin di Sekolah Rakyat tidak tertinggal di era digital. “Kami ingin lulusan Sekolah Rakyat siap menghadapi Indonesia Emas 2045,” ujarnya.
Kini, publik menunggu apakah janji transparansi itu akan benar-benar dijalankan atau justru menjadi catatan kelam baru di sektor pendidikan. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.