Bahlil Dinilai Tak Paham Perjanjian Paris dan Tak Peduli Urgensi Krisis Iklim

4 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia memperlihatkan ketidakberpihakan pemerintah atas komitmen keadilan iklim dan ketidakpedulian atas penderitaan rakyat yang terdampak krisis iklim. Pernyataan yang dimaksud adalah yang mempertanyakan kelanjutan transisi ke energi hijau setelah Presiden Donald Trump membawa Amerika Serikat meninggalkan Perjanjian Paris.

Deputy Director MADANI Berkelanjutan Giorgio B. Indrarto, yang merupakan bagian dari ARUKI, menyebutkan pernyataan tersebut menunjukkan watak pemerintah yang mencerminkan pengabaian terhadap penderitaan rakyat akibat krisis iklim serta kewajiban hukum dan moral untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Menurut dia, alih-alih merespons krisis iklim yang mengancam masyarakat, pemerintah masih bernafsu kepada prioritas ekonomi yang menitikberatkan pada ekstraktivisme dan eksploitasi, yang merupakan sebab utama krisis iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Giorgio juga mengatakan perjuangan menghasilkan Perjanjian Paris lewat Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim, yang mengikat antar negara-negara pihak di dunia termasuk Indonesia, adalah perjuangan untuk menuntut tanggung jawab negara industri atas krisis iklim yang terjadi. Perjanjian Paris ingin menyelamatkan hak masyarakat negara-negara miskin dan berkembang.

Karena itu, Giorgio menilai pernyataan Bahlil yang adalah Ketua Umum Golkar, dan mantan Menteri Investasi era Presiden Jokowi, yang menyebutkan AS adalah 'motor penggerak' dari Perjanjian Paris adalah pandangan yang keliru. Terlebih pertimbangan untuk ikut mundur dari Perjanjian Paris merupakan langkah mundur, tidak bijaksana, dan hanya akan merusak kredibilitas Indonesia di mata komunitas internasional.

“Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakpedulian pemerintah terhadap urgensi krisis iklim dan enggannya untuk memprioritaskan agenda keadilan iklim,” ujar Giorgio melalui keterangan tertulis, Sabtu, 1 Februari 2025. 

Indira Hapsari dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) bahkan menyebut pernyataan untuk tidak serius menjalankan komitmen iklim dalam Perjanjian Paris juga merupakan bentuk pelanggaran kewajiban hukum oleh pemerintah. Diingatkannya, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 serta mengatur lebih lanjut pemenuhan komitmen tersebut melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021.

Selain itu, kata Indira, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga secara tegas memberikan kewajiban hukum bagi pemerintah untuk mengatasi masalah krisis iklim. Menurutnya, pengabaian terhadap komitmen ini, dengan alasan keluarnya negara lain, adalah juga penyimpangan dari prinsip tanggung jawab bersama yang tertera dalam Perjanjian Paris.

Dia menegaskan, mengabaikan Komitmen Perjanjian Paris artinya pada saat yang sama mengabaikan keselamatan rakyat, terutama kelompok rentan dari ancaman krisis iklim yang dinilainya kian tak terhindarkan. Padahal, kata dia, Badan Perubahan Iklim Eropa (Copernicus) telah mencatat kenaikan suhu rata-rata bumi yang untuk pertama kalinya telah melampaui 1,5 derajat Celcius pada tahun lalu. Di Indonesia, BNPB mencatat telah terjadi 6.827 bencana terkait cuaca dan iklim yang berdampak pada lebih dari 13 juta orang sepanjang 2023-2024. 

Jadi, menurut YAPPIKA, penarikan diri Indonesia dari Perjanjian Paris akan berakibat fatal, tak sekadar hilangnya akses pendanaan iklim internasional dan tergerusnya kepercayaan global terhadap komitmen pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. "Melemahnya komitmen iklim juga mencerminkan pengabaian terhadap jutaan masyarakat rentan yang bergantung pada alam dan memperparah kemiskinan energi,” ujar Indira.

Direktur Eksekutif Yayasan Pikul (Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal), Torry Kuswardono, menyebutkan konsultasi rakyat yang dilakukan ARUKI di 13 provinsi di Indonesia, menunjukkan bukti bahwa kelompok rentan menanggung lebih berat dampak krisis iklim. Menurut dia, orang muda, petani, nelayan, perempuan, ragam difabel, buruh, kelompok miskin urban dan pekerja informal, serta masyarakat adat telah menghadapi dan mengalami langsung dampak kerusakan dan kehilangan tempat tinggal, tanah, pendapatan. Di beberapa wilayah bahkan telah terjadi migrasi penduduk akibat krisis iklim. 

Mundur dari Paris Agreement, kata dia, menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak mengakui ada kebutuhan yang berbeda terhadap perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan tersebut dampak krisis iklim. Padahal, kelompok rentan telah menghadapi triple planetary crisis: perubahan iklim, polusi, hilangnya biodiversitas. "Implementasi Paris Agreement yang berlandas pada prinsip keadilan iklim dapat menyelamatkan rakyat dari triple planetary crisis,” kata Torry.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |