TEMPO.CO, Jakarta - Bayi pertama lahir dari proses bayi tabung atau in vitro fertilisation (IVF) yang dibuat dengan tingkat otomatisasi yang tinggi. Capaian ini meningkatkan harapan untuk memangkas risiko human eror saat melakukan prosedur pembuahan di luar tubuh tersebut.
Satu metode IVF adalah intracytoplasmic sperm injection (ICSI), di mana sperma diinjeksi ke dalam sel telur dalam cawan petri di laboratorium. Teknik ini banyak dilakukan dalam kasus laki-laki yang mandul, dengan membuat sperma tak perlu mengeluarkan usaha untuk menjangkau sel telur. Embrio yang dihasilkan kemudian dimasukkan atau disisipkan ke dalam rahim si perempuan, calon ibunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Metode IVF dapat pula dilakukan dengan cara mencampur begitu saja sperma dan sel telur dalam sebuah cawan petri. Harapannya sama, pembuahan bisa terjadi, meski secara umum tingkat kesuksesannya lebih rendah, karena memang intervensi medisnya minim.
Pada ICSI, teknik ini sangat bergantung kepada tingkat presisi dan penilaian dari dokter. “Mereka kadang bisa lelah dan terdistraksi, sama seperti setiap profesional lain, jadi eror-eror terjadi mereduksi peluang pembuahan dan kelahiran," kata Jacques Cohen, embryologist di Conceivable Life Sciences, sebuah perusahaan bioteknologi di New York City, Amerika Serikat, dikutip dari New Scientist.
Untuk menyiasati kelemahan itu, Cohen dan para koleganya merekayasa sebuah mesin yang mampu menjalankan 23 langkah kunci dari total 115 langkah mikromanipulasi dalam prosedur ICSI secara otomatis. Sisa langkahnya juga telah didigitalisasi dan dapat dikendalikan dari jarak jauh (remote).
Setiap langkah itu diinisiasi oleh manusia dengan cara menekan sebuah tombol seiring mereka melihat secara livestream proses yang berjalan. Dalam uji klinis yang dilakukan, prosedur ICSI berlangsung di Laboratorium Hope IVF Meksiko di Guadalajara, sementara sebagian operatornya berada di ruang sebelah, dan sebagian lainnya di Hudson, New York, yang berjarak sekitar 3700 kilometer dari laboratorium.
Dalam salah satu langkahnya, mesin yang dikembangkan Cohen dkk menggunakan sebuah model AI untuk memilih sel sperma paling sehat berdasarkan penampakannya. Dalam Langkah yang lain, mesin menghentikan pergerakan atau menangkap sperma itu dengan menghancurkan ekornya pakai laser, sehingga menjadi lebih mudah untuk diambil. Sperma pilihan itu kemudian diinjeksikan ke sel telur yang telah disiapkan sebelumnya.
Sebuah pendekatan yang melibatkan teknologi AI sudah pernah diuji sebelumnya dan menghasilkan dua kelahiran bayi. Tapi, seperti dalam isi laporan 2023 lalu, 50 persen langkah dalam prosedurnya masih dilakukan manusia--bukan mesin.
Sebelum uji klinis, Cohen dan timnya melakukan validasi menggunakan hewan sebagai modelnya untuk memastikan unsur keselamatan dan efikasi. Setelahnya, untuk uji klinis atas mesinnya itu, tim peneliti merekrut satu pasangan yang sedang berusaha mendapatkan anak lewat teknologi bayi tabung.
Mesin pembuahan otomatis di luar rahim dalam proses bayi tabung (IVF) yang dikembangkan tim peneliti di Conceivable Life Sciences, New York, AS. Dok. RBMO
Pasangan itu mencari jalan setelah sperma yang dihasilkan si pria tak mampu berenang dengan baik. Adapun produksi sel telur si perempuan juga bermasalah, sehingga dalam prosedur yang mereka tempuh sebelumnya telah melibatkan donor.
Para peneliti secara acak memilih lima dari delapan sel telur donasi untuk dibuahi dengan sistem yang otomatis, yang kemudian menghasilkan empat embrio. Sebanyak tiga sel telur donasi lainnya dibuahi menggunakan pendekatan standar ICSI manual, dan seluruhnya juga membentuk embrio.
Lalu, tim menggunakan model AI yang lain untuk memilih dua embrio terbaik berbasis kromosom yang dimiliki masing-masing. Hasilnya, model AI menunjuk dua embrio yang berasal dari mesin pembuahan yang bekerja secara otomatis.
"Tapi itu tidak harus berarti pendekatan ini membimbing kepada embrio-embrio yang lebih sehat daripada ICSI manual," kata Cohen. "Kami tak bisa menyimpulkannya karena jumlah sel sel telur yang digunakan masih sedikit."
Dari dua itu, satu embrio didapati gagal berkembang ketika disisipkan ke dalam rahim pasangan perempuan berusia 40 tahun tersebut. Tapi embrio yang kedua berhasil hingga melewati proses persalinan setelah dikandung selama 38 minggu.
"Ini adalah proof of concept yang menarik," kata Joyce Harper dari University College London. Tapi, dia menambahkan, diperlukan studi yang lebih luas yang secara acak meminta pasangan-pasangan untuk menjalani prosedur ICSI manual atau otomatis. "Untuk meyakinkan kalau memang yang pendekatan otomatis memberi tingkat kelahiran yang lebih tinggi."
Mesin bayi tabung juga dipandang sulit diterapkan secara luas karena butuh biaya tambahan yang besar, setidaknya untuk saat ini. Namun Cohen berharap teknologi semakin terjangkau seiring dengan Waktu. "Seiring dengan kami membuat sistem ini semakin meyakinkan, terstandar, dan bekerja sempurna, kami berharap biaya bagi pasien dan klinik menurun."
Artikel hasil uji klinis mesin otomatis untuk pembuahan di luar rahim, dalam proses bayi tabung ini, serta material dan metodenya, dipublikasi Cohen dkk dalam jurnal Reproductive Biomedicine Online yang terbit pada 9 April 2025.