Oleh : Oleh Fahmi Salim, Pendiri Al-Fahmu Institute dan Alumni Pesantren Darussalam Ciamis
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam hadir di Nusantara sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah. Ia tidak datang melalui penaklukan dengan pedang, melainkan lewat dakwah, perdagangan, dan keteladanan moral.
Para saudagar dan ulama menanamkan nilai tauhid, keadilan sosial, dan kemanusiaan secara damai dan beradab. Islamisasi ini berlangsung berabad-abad — dari abad ke-7 hingga ke-13 — hingga akhirnya melahirkan masyarakat muslim yang mapan dan meluas ke ranah sosial, budaya, dan politik.
Ketika komunitas muslim tumbuh menjadi kekuatan mayoritas, lahirlah kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Demak, Gowa, Ternate, hingga Banten. Dalam konteks itulah muncul kebutuhan akan lembaga pendidikan agama yang membina moral, ilmu, dan tata sosial umat. Maka lahirlah pesantren, lembaga pendidikan Islam khas Nusantara yang berakar dalam nilai ikhlas, mandiri, tawadhu, dan beradab.
Jejak Historis dan Benang Merah Dunia Islam
Secara konseptual, pesantren memiliki benang merah dengan tradisi madrasah, kuttab dan zawiyah di dunia Arab, Turki, Persia, dan India muslim. Namun pesantren adalah hasil lokalisasi kreatif — adaptasi ke dalam budaya Nusantara yang egaliter dan gotong royong. Kiai menjadi figur sentral yang bukan hanya guru agama, tetapi juga mursyid moral dan sosial. Santri hidup dalam disiplin ilmu dan adab, belajar dari kitab kuning dan teladan kehidupan.
Masjid, asrama, dan kitab menjadi tiga poros utama pesantren. Pola ngaji, sorogan, dan bandongan melahirkan sistem pendidikan yang menyatukan pengetahuan, spiritualitas, dan akhlak. Dari sinilah lahir karakter khas santri: berilmu tapi rendah hati, teguh tapi tidak keras, kritis tapi santun.
Pesantren dan Perjuangan Kemerdekaan
Ketika kolonialisme Eropa datang membawa penindasan ke nusantara, pesantren menjadi basis perlawanan rakyat. Sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20, pesantren berfungsi ganda: sebagai lumbung ilmu dan benteng moral bangsa. KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Zainal Mustafa, dan ratusan kiai lain menjadi motor perlawanan dan penyemai kesadaran kemerdekaan.
Pesantren menanamkan keyakinan bahwa hubbul wathan minal iman — cinta tanah air bagian dari iman. Tanpa jaringan pesantren dan para santri, perjuangan melawan penjajahan mungkin tidak akan memiliki basis massa yang kuat dan ideologis.
Fatwa Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945 dan Amanat Jihad Muhammadiyah pada 28 Mei 1946 adalah bukti nasionalisme kaum santri tradisional dan modernis 24 karat. Karena itu, sejarah Indonesia sejatinya tidak bisa dipisahkan dari denyut perjuangan pesantren.
Partai Masjumi dan Partai NU di era kemerdekaan dan orde lama, Parmusi dan PPP di era orde baru, dan PKB, PAN, PKS di era reformasi hingga kini adalah representasi kaum santri dalam perjuangan mengisi kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Itu belum dihitung kaum santri yang berdiaspora di Gerindra, Golkar, PDIP, Nasdem dan PSI.
Ciri, Struktur, dan Transformasi Pesantren
Suatu lembaga disebut pesantren jika memenuhi lima unsur dasar: Kiai sebagai otoritas keilmuan dan moral. Santri yang belajar dan berdisiplin dalam lingkungan pesantren. Masjid sebagai pusat ibadah dan keilmuan. Asrama sebagai tempat pembinaan karakter. Kitab kuning atau putih sebagai sumber keilmuan klasik Islam.
Namun pesantren tidak berhenti di tradisi klasik. Seiring waktu, lahir pesantren modern, tahfidz, teknologi, hingga entrepreneurship. Banyak pesantren kini mengintegrasikan kurikulum nasional dan sains modern tanpa kehilangan ruh spiritualnya.
Menurut data Kementerian Agama 2024, terdapat lebih dari 42 ribu pesantren dengan lebih dari 5 juta santri di seluruh Indonesia. Sebagian besar berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), disusul oleh jaringan Muhammadiyah, Persis, PUI, Al-Irsyad, dan Matlaul Anwar. Angka ini menunjukkan betapa pesantren telah menjadi civil society Islam terbesar di Indonesia.