Dekat Hari Pahlawan, Perempuan Nelayan Bahas Dampak Krisis Iklim

3 hours ago 8
Perempuan nelayan di lima desa di Kabupaten Demak membahas dampak krisis iklim dua hari menjelang Hari Pahlawan. Kegiatan diadakan oleh komunitas perempuan nelayan Puspita Bahari. Sumber: dokumentasi puspita bahari

Dua hari sebelum Hari Pahlawan, komunitas perempuan nelayan Puspita Bahari berkumpul. Mereka membahas “Peran Perempuan Pesisir dalam Adaptasi Krisis Iklim dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender” dalma diskusi kelompok terpumpun.

Selama dua hari itu, 8-9 November 2025, para pahlawan lingkungan di Demak itu memetakan dampak banjir rob berikut tantangan adaptasinya. Mereka lalu menyusun aspirasi kolektif yang kemudian akan disampaikan kepada pemerintah kabupaten dan provinsi.

Kegiatan ini dilakukan untuk menyambut penetapkan Hari Perempuan Nelayan Internasional pada 5 November 2025. Menurut para peserta, rob yang melanda pesisir Demak telah mempengaruhi kehidupan dan penghidupan masyarakat Morodemak, Purworejo, Margolinduk, Timbulsloko, dan Bedono.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam diskusi kelompok terpumpun, perempuan nelayan di Demak dan anggota masyarakat lainnya juga membahas kerusakan lingkungan dan tekanan ekonomi yang dialami masyarakat. Foto: dokumentasi puspita bahari

Tidak hanya perempuan nelayan Puspita Bahari dari lima desa pula yang terlibat dalam kelompok diskusi terpumpun itu, melainkan juga anggota masyarakat lainnya. Puspita Bahari merupakan komunitas perempuan nelayan di Kabupaten Demak yang berdiri sejak 2005, berfokus pada isu-isu pemberdayaan ekonomi, keadilan gender, dan keberlanjutan pesisir.

“Rob menyebabkan kerusakan infrastruktur, kehilangan harta benda, gangguan psikis, serta penurunan stabilitas ekonomi rumah tangga.” Demikian siaran pers Puspita Bahari, yang disampaikan lewat Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah, Senin (10/11/2025).

Diskusi kemlompok terpumpun yang diadakan di Sanggar Pramuka Demak itu mendapat dukungan dari GENERATE Project, University of Leeds. Peserta diskusi menyoroti juga masalah pembangunan di wilayah pesisir yang tidak ramah lingkungan.

Reklamasi, pembangunan jalan tol, dan pembangunan pabrik, turut memperparah situasi. Tiga pembangunan di pesisir Demak ini mempercepat kerusakan ekosistem dan mendorong perubahan profesi masyarakat dari petani menjadi nelayan tanpa keahlian memadai.

Perubahan iklim global juga memperparah kerusakan. Melalui metode kalender musim, peserta mencatat bahwa pola cuaca dan musim tangkap ikan telah berubah drastis dalam sepuluh tahun terakhir.

Kalender musim yang disusun bersama menunjukkan, musim hujan kini datang lebih awal dan lebih lama, sementara musim panas dan panen hasil laut menjadi tidak menentu. Beberapa jenis ikan, seperti bawal putih, bahkan sudah jarang ditemukan.

Diskusi juga memetakan keterkaitan antara perubahan lingkungan dan meningkatnya kekerasan berbasis gender (KBG). Rendahnya pendapatan nelayan, tekanan ekonomi, dan kondisi psikologis akibat krisis lingkungan memperbesar risiko kekerasan dalam rumah tangga.

Budaya patriarki yang masih kuat, akses pendidikan yang rendah, serta terbatasnya layanan kesehatan dan infrastruktur, turut memperparah situasi perempuan di wilayah pesisir. Saat ini, perempuan nelayan mengalami dampak berlapis dan berbasis gender akibat rob di pesisir Demak.

Mereka mengalami kesulitan akses terhadap layanan kesehatan dan air bersih, meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga. Pernikahan anak jug amarak kembali karena kemiskinan yang membelit. Perempuan nelayan mendapat beban berlapis di ranah domestik dan publik.

“Budaya patriarki menjadi akar dari banyak persoalan yang kami hadapi. Ketika ekonomi menurun, perempuan sering kali menjadi pihak yang paling terdampak, baik secara fisik maupun psikis”, ujar salah satu peserta.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |