Deretan Cerita Eksploitasi dan Kekerasan Menurut Mantan Pemain Sirkus OCI

4 hours ago 14

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah mantan pemain sirkus anak di Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan pengalaman pahit berupa dugaan kekerasan dan eksploitasi yang mereka alami sejak kecil. Kuasa hukum korban, Muhammad Soleh, menyebutkan para mantan pemain sirkus itu—yang kini telah dewasa—mengalami kerja paksa, dipisahkan dari orang tua, dan menjadi korban kekerasan fisik selama bertahun-tahun di bawah pengelolaan OCI dan Taman Safari Indonesia.

Menurut Soleh, kasus ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat yang tidak dapat diselesaikan melalui mediasi kekeluargaan. Karena itu, dia berharap agar kasus ini diselesaikan menggunakan Undang-Undang Pengadilan HAM. "Undang-Undang Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000 tidak mengenal kedaluwarsa. Ini harus diadili," kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikut ini beberapa cerita eksploitasi dan kekerasan yang dialami mantan pemain sirkus OCI.

Dipisahkan dari Orang Tua dan Tidak Diberi Identitas

Salah satu korban, Lisa, bercerita saat ia masih berusia sekitar tiga atau empat tahun dipisahkan dari ibunya dan dibawa oleh pengelola OCI, Jansen Manansang. "Saya teriak-teriak panggil mama, tapi saya dibawa pergi. Dikurung. Tidak dikasih pulang," ujarnya sambil terisak dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi Hukum DPR di Jakarta, Senin, 21 April 2025.

Lisa juga mengaku pamit dari sirkus pada 1992 tanpa pernah mendapat dokumen identitas. Ia baru membuat KTP setelah menikah dan dibantu oleh suaminya. “Yang lain tidak pamit. Mereka kabur,” ujarnya. Saat itu, seingat Lisa, dia berusia 19 tahun.

Kasus serupa terjadi pada perempuan bernama Meliliana Damayanti atau yang akrab disapa Butet. Dia mengaku tak pernah mengetahui siapa orang tua aslinya karena sejak kecil telah diambil oleh keluarga pemilik OCI dari orang tuanya sejak 1975. Dari keluarga itu, dia mendapat nama Butet. Hingga kini dia pun tak pernah mengetahui siapa nama asli pemberian orang tuanya.

“Saya juga nggak tahu jelas berapa usia saya. Jadi mereka (OCI) tidak memberikan identitas buat saya,” ujar Butet saat menemui perwakilan Kementerian Hak Asasi Manusia di Jakarta Selatan, Selasa, 15 April lalu.

Dipaksa Makan Kotoran Hewan

Butet juga mengaku beberapa kali mendapat perlakuan tidak manusiawi saat menjadi pemain sirkus cilik di sana. Dia mengaku sempat dipaksa memakan kotoran hewan karena mencuri daging empal ketika berusia 10 tahun. “Itu saya dijejali tahi gajah. Pokoknya mereka (memperlakukan saya) tidak manusiawi sama sekali,” katanya.

Pihak OCI membantah tuduhan tersebut dengan menghadirkan seorang saksi bernama Murni yang merupakan mantan pawang gajah sirkus OCI. Perempuan berusia 53 tahun itu menampik dugaan pekerja sirkus yang pernah dipaksa memakan kotoran gajah pada masa pelatihan. “Selama saya masih ada di OCI untuk mengurus gajah, saya belum pernah mendengar, belum pernah melihat, bahwa ada cerita (pekerja) dijejali kotoran gajah,” kata Murni.

Pemukulan dan Kaki Dirantai

Butet juga bercerita pernah mengalami pemukulan dan dirantai kakinya oleh keluarga pemilik OCI. Sebelum meninggalkan OCI, Butet mengaku sempat berhubungan dengan seorang karyawan di sana. Hubungan antara pemain sirkus dan karyawan, kata dia, melanggar aturan OCI. Oleh karena itu, menurutnya, ia dirantai sebagai hukuman.

“Pada saat itu saya sekitar umur 17 tahunan. Dirantai sampai buang air saja kesulitan. Saya dibantu teman-teman saya,” ujarnya. “Pakai rantai gajah yang besar itu.”

Komisaris Taman Safari Indonesia sekaligus anak pendiri OCI dan adik Jansen Manansang, Tony Sumampau, telah menyangkal terjadinya bentuk kekerasan seperti pemukulan, penyetruman, dan pemisahan ibu dengan anak. 

Ia mengatakan hanya terjadi kekerasan dalam bentuk pukulan menggunakan rotan. Hal itu ia gambarkan sebagai hal “biasa” dan bentuk “pendisiplinan”. “Pemukulan biasa itu ada aja. Tapi kalau dengan alat, dengan besi, nggak mungkin lah,” ujar kepada sejumlah awak media di bilangan Melawai, Jakarta Selatan, Kamis, 17 April 2025.

Dipisahkan dengan Anak

Butet meninggalkan OCI pada 1994. Ia pergi setelah melahirkan seorang anak perempuan di sana. Saat hamil besar sekitar delapan bulan dan setelah melahirkan, ia menyatakan dipaksa beratraksi di panggung sirkus. “Sampai saya tidak menyusui sama sekali,” katanya.

Ketika anaknya lahir, ia mengaku pihak OCI memisahkan mereka. Butet lanjut berlatih sirkus, sementara anaknya dibawa ke kediaman pemilik OCI di Pondok Indah. Cerita versi OCI adalah, ibu dan anak tersebut dipisahkan karena anak kecil tidak bisa dibawa ke lingkungan sirkus hingga cukup umur. Saat Butet meninggalkan OCI, anaknya tetap tinggal di sana.

Saat melakukan audiensi di Kementerian HAM, duduk di sebelah Butet adalah seorang perempuan berusia kurang lebih 34 atau 35 tahun. Ia adalah Debora “Debby” Suwandi, putri Butet yang ia tinggalkan di OCI. Sama seperti ibunya, Debby tumbuh besar dilatih sebagai pemain sirkus.

“Ini anak saya. Saat usia (dia) 16 tahun, saya baru ketemu,” ucap Butet di hadapan para perwakilan Kementerian HAM. “Dia tidak mengenal saya. Dia memanggil saya tante.”

Saksi dari pihak OCI, Murni menyangkal tuduhan-tuduhan tersebut. Ia memastikan tidak pernah melihat Butet tampil dalam kondisi hamil 8 bulan. “Tidak ada itu, karena pawang gajahnya saya. Kalau orang hamil itu tidak bisa naik gajah sambil pegangan dan berjalan,” tutur dia.

Tidak Mendapatkan Sekolah

Selain kekerasan, Butet juga mengaku tidak pernah merasakan kasih sayang di sana dan tak pernah mendapat pendidikan formal. Tony Sumampau mengatakan pihaknya mengirimkan beberapa pemain sirkus cilik ke bangku sekolah formal. Hal ini dikatakan Tony untuk menanggapi tuduhan Butet terkait tidak dipenuhinya hak atas pendidikan para pemain sirkus cilik.

Tony juga mengatakan bahwa Butet memakan bukan salah satu anak yang dikirim ke sekolah. Menurutnya, hal itu karena Butet sudah terlebih dulu berhenti sebagai pemain sirkus di sana. “Ya, kan sudah keluar, jadi nggak bisa (disekolahkan),” kata dia.

Tidak Mendapatkan Perawatan Saat Kecelakaan Kerja

Seorang mantan pemain sirkus, Ida, mengaku pernah terjatuh dari ketinggian sekitar 15 meter saat melakukan atraksi sirkus di Lampung pada akhir 1989. Kejadian pada saat ia bermain akrobat di udara itu menyebabkan ia patah tulang belakang dan mengalami kelumpuhan.

Dalam pengakuannya, Ida yang kesakitan tidak langsung dibawa ke rumah sakit untuk diberikan penanganan. “Karena kondisi saya semakin parah, saya bengkak dan saat itu saya hanya ditempatkan di belakang panggung, baru akhirnya dibawa ke rumah sakit di kota Lampung,” ucap Ida saat menemui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta Selatan, Selasa, 15 April lalu.

Sementara itu, penasihat hukum Jansen Manansang, pemilik sekaligus Direktur Taman Safari Indonesia (TSI), Ricardo Kumontas menjelaskan peristiwa kecelakaan itu terjadi pada malam hari sehingga pihak sirkus perlu menunggu hingga esok pagi untuk mendapatkan pesawat. Menurut pihaknya, kecelakaan yang dialami Ida merupakan bagian dari risiko kecelakaan kerja yang bisa dialami pada saat latihan. 

“Yang ingin kami tegaskan, kejadian tersebut malam hari, jadi perlu menunggu pagi untuk mendapatkan pesawat yang membawa Ida dari Lampung ke Jakarta. Tidak ada kesengajaan penundaan pengobatan,” tutur Ricardo.

Pihaknya turut menunjukkan sejumlah barang bukti berupa tiket penerbangan kelas satu pesawat Garuda, kuitansi pembayaran rumah sakit, serta rincian biaya operasi. Mereka mengklaim proses pengobatan terhadap Ida dilakukan oleh dokter terbaik pada masa itu di rumah sakit Sumber Waras di Jakarta.

Intan Setiawanty, Nabiila Azzahra dan Hanin Marwah berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan Editor: Siapa Anggota Geng Riau yang Menguasai Pengadilan Jakarta

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |