Dituntut Satu Tahun Penjara, Eks Karyawan Jhon LBF Bacakan Pleidoi Hari Ini

1 month ago 83

TEMPO.CO, Jakarta - Septia Dwi Pertiwi, mantan karyawan PT Hive Five milik pengusaha Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF, membacakan pleidoi atau nota pembelaan hari ini, Rabu, 18 Desember 2024. Sidang pembelaan dalam perkara pencemaran nama baik ini akan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Menurut situs sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, sidang dijadwalkan berlangsung di ruangan Ali Said pada pukul 13.00 WIB. “Agenda untuk pembelaan,” demikian tertera di laman SIPP PN Jakarta Pusat. Berkas perkara Septia teregister dalam nomor perkara 589/Pid.Sus/2024/PN Jkt.Pst. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman satu tahun penjara terhadap Septia Dwi Pertiwi, mantan buruh PT Hive Five yang dituduh mencemarkan nama baik bosnya. Jaksa menilai Septia terbukti melanggar Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 36 Jo Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut JPU, Septia dengan sengaja dan tanpa hak telah mendistribusikan informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. 

“Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Septia Dwi Pertiwi selama satu tahun dikurangi dengan masa penahanan sementara yang telah dijalani oleh terdakwa dengan perintah terdakwa tetap ditahan,” demikian bunyi tuntutan jaksa, Rabu, 11 Desember 2024. Selain itu, JPU juga menuntut Septia pidana denda sebesar Rp 50 juta, subsider tiga bulan kurungan penjara. 

Septia Dwi Pertiwi dilaporkan oleh pengusaha sekaligus pemilik perusahaan PT Hive Five, yakni Henry Kurnia Adhi atau lebih dikenal dengan nama Jhon LBF, atas tuduhan pencemaran nama baik. Septia mengkritik upah di perusahaan tersebut yang di bawah UMR, upah lembur yang tak dibayar, jam kerja yang melebihi 8 jam, hingga pemotongan gaji sepihak yang dilakukan perusahaan. Kritik itu disampaikan Septia lewat akun media sosial pribadinya.

Adapun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah mengajukan pendapat tertulis sebagai amicus curiae ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam kasus Septia. Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfthan mengatakan, proses persidangan ini tidak semestinya terjadi. 

Sejak proses penyidikan hingga persidangan, LBH Jakarta melihat ada serangkaian kesalahan penerapan delik. "Septia telah menjadi korban kriminalisasi terhadap ekspresi pribadi yang sebenarnya disampaikan secara sah di ranah digital," kata Fadhil melalui keterangan tertulis pada Selasa, 17 Desember 2024.

Menurut Fadhil, konstruksi dakwaan penuntut umum dalam perkara ini mengandung kekeliruan yang fatal. "Khususnya mengenai penerapan delik penghinaan atau pencemaran nama baik dan/atau fitnah, yang seharusnya menempatkan individu atau orang perseorangan sebagai korban dari delik tersebut," tuturnya. 

Dalam berbagai ketentuan maupun doktrin, kata Fadhil, korban dari delik penghinaan atau pencemaran nama baik dan/atau fitnah haruslah orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukanlah institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Oleh karena itu, delik-delik tersebut tak dapat didakwakan terhadap Septia, karena penuntut umum menempatkan pihak yang menjadi korban Jhon LBF dalam kedudukannya sebagai Komisaris PT Hive Five.

Fadhil melanjutkan, pernyataan Septia di akun media sosial pribadinya dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang dia alami sebagai buruh perempuan korban pelanggaran hak normatif. Pernyataan tersebut tak lain merupakan wujud pembelaan diri dan kepentingan umum dari praktik korporasi yang melanggar hak buruh. 

Oleh karena itu, berdasarkan berbagai ketentuan dan doktrin, Septia tak dapat dipidana. "Terlebih, dalam pernyataannya, tidak terdapat pula kesengajaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan," kata Fadhil.

"Maka kami meminta agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan putusan bebas untuk Septia," ujar Fadhil. Putusan bebas, kata dia, bertujuan untuk menghindari proses peradilan yang sesat atau miscarriage of justice. Selain itu, juga untuk menegaskan kembali posisi lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |