TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa perkara pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Deden Rochendi, mengaku tetap menerima jatah bulanan dari tahanan meski sudah tak menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Rutan KPK.
Deden sempat menjabat sebagai Plt Karutan pada 2018. Namun hingga 2023, ia tetap menerima jatah dari ‘lurah’ atau koordinator uang bulanan dari para tahanan. Deden menyampaikan hal itu ketika menjadi saksi untuk sidang perkara yang sama dengan terdakwa Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ramadhan Ubaidillah.
Mulanya, jaksa penuntut umum dari KPK menanyakan soal nominal jatah bulanan yang diberikan untuk kepala rutan. “Sepengetahuan saudara, sebetulnya jatah karutan itu berapa?” tanya jaksa dalam persidangan pungli di rutan KPK, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 15 November 2024.
Deden pun mengatakan dirinya tak tahu nominal jatah karutan lainnya. Namun ketika dia menjabat, dia menerima Rp 10 juta. “Saya nggak ngomong yang lain, tapi dari Ridwan pernah Rp 10 juta,” kata Deden. Mengenai besaran jatah untuk Petugas Keamanan dan Ketertiban Rutan KPK, Deden juga mengatakan tidak mengetahuinya.
Jaksa kemudian bertanya, “Ini kan kemudian dilanjutkan setelah Saudara tidak menjadi lagi Plt Karutan?”
“Betul,” jawab Deden.
“Saudara masih menerima Rp 10 juta itu?” tanya jaksa. Deden mengonfirmasi bahwa dia tetap menerima jatah dengan nominal tersebut.
“Kenapa? Kan karutannya ada yang lain itu?” tanya jaksa lagi.
Deden mengatakan, “Ya enggak tahu Pak, yang jelas saya terima.” Dia juga menerangkan bahwa yang memiliki wewenang untuk menentukan siapa petugas rutan yang berhak menerima jatah bulanan hanya petugas kamtib dan tahanan yang bertindak sebagai koordinator tinggi atau korting.
Jaksa dari KPK lanjut bertanya, “Hengki mau memasukkan Saudara itu masih terima Rp 10 juta itu alasannya apa?” Adapun Hengki menjabat sebagai Kepala Keamanan dan Ketertiban KPK pada periode 2018–2022. Saat itu, Hengki berstatus pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) di KPK dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Ya biasa (untuk) tutup mata, tutup mulut,” jawab Deden.
“Karena sejak awal memang Saudara dengan Hengki begitu, betul tidak?” tanya jaksa. Deden pun membenarkan hal itu.
Setelahnya, jaksa menanyakan soal nominal uang yang Deden terima setiap bulan. “Berapa Saudara (terima) per bulan dari Suharlan?”
“Rp 2,5 juta,” jawab Deden. "Itu sudah konfirmasi waktu pemeriksaan Dewas KPK dan yang bersangkutan juga mengiyakan."
“Kemudian Ramadhan Ubaidillah?” tanya jaksa. Deden menjawab bahwa ia menerima uang sebesar Rp 3 juta dari terdakwa Ubaidillah, yang saat itu bertugas sebagai lurah. “Rp 3 juta per bulan, periode Agustus 2019 sampai Maret 2023?”
“Betul,” jawab Deden.
“Sehingga total penerimaan yang Saudara terima itu Rp 399,5 juta?” tanya jaksa. Deden pun mengiyakan.
Deden kemudian menjelaskan bahwa dia bertugas di rutan pada 2017 hingga 2019. “(Tahun) 2020 saya sekolah,” ucapnya.
“Di 2023?”
“Saya nggak di rutan,” jawab Deden.
“Tapi kenapa Saudara masih terima uang dari Ramadhan Ubaidillah?” tanya jaksa.
Deden mengaku memang hanya menerima uang itu, namun dia berkukuh tak mengetahui soal alasan dirinya masih mendapat jatah. Jaksa pun bertanya untuk memastikan, “(Tahun) 2020 pendidikan, masih dapat jatah?”
“Saya ditransfer sama Pak Ridwan,” ungkap Deden.
“Dari Pak Muhammad Ridwan jatahnya? Saudara minta itu?” tanya jaksa.
“Kalau dikasih saya terima, kalau nggak dikasih ya sudah biarin saja, Pak,” jawab Deden. “Intinya prinsip saya seperti itu.”
Sebanyak 15 terdakwa kasus dugaan korupsi berupa pungli di Rutan KPK masih menjalani proses sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Mereka diduga melakukan pungli atau pemerasan kepada tahanan di Rutan Cabang KPK senilai Rp 6,38 miliar pada rentang waktu 2019-2023. Pungli dilakukan para terdakwa di tiga Rutan Cabang KPK, yakni Rutan KPK di Gedung Merah Putih (K4), Rutan KPK di Gedung C1, dan Rutan KPK di Pomdam Jaya Guntur.
Jaksa KPK mendakwa mereka dengan berkas perkara yang berbeda. Tujuh terdakwa yakni Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ramadhan Ubaidillah teregister dengan nomor 68/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst.
Sedangkan berkas perkara delapan terdakwa lainnya, yakni Deden Rochendi, Hengki, Ristanta, Eri Angga Permana, Sopian Hadi, Achmad Fauzi, Agung Nugroho, dan Ari Rahman Hakim, teregister dengan nomor perkara 69/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst.
Perbuatan para terdakwa dinilai sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.