TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan mengejutkan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol untuk mendeklarasikan darurat militer pada Selasa, 3 Desember 2024 telah mengguncang stabilitas politik negara tersebut.
Deklarasi ini disampaikan pada malam hari dengan alasan menghadapi ancaman domestik dan memperbaiki situasi yang ia klaim telah terganggu oleh oposisi politik. Namun, keputusan ini hanya bertahan selama enam jam sebelum dicabut akibat tekanan parlemen dan publik yang kuat.
Alasan Presiden Umumkan Deklarasi Militer
Dalam pidato resminya, Presiden Yoon menyatakan bahwa langkah darurat militer diambil untuk melawan apa yang ia sebut sebagai kekuatan anti-negara dan pro-Korea Utara.
"Saya menyatakan darurat militer untuk melindungi Republik Korea yang merdeka dari ancaman pasukan komunis Korea Utara, untuk membasmi kekuatan anti-negara pro-Korea Utara yang tercela yang merampok kebebasan dan kebahagiaan rakyat kita, dan untuk melindungi tatanan konstitusional yang bebas," kata Yoon, seperti dikutip dari Reuters.
Ia menuding oposisi politik telah merongrong proses demokrasi dan menghambat agenda pemerintahannya, termasuk melalui pengajuan 22 mosi pemakzulan terhadap pejabat pemerintah sejak ia menjabat pada Mei 2022. Langkah ini langsung diikuti oleh perintah militer untuk menegakkan darurat militer di seluruh negeri.
Deklarasi ini mencakup larangan terhadap aktivitas politik, protes, dan pembatasan media. Bahkan, dokter yang sedang mogok kerja diperintahkan kembali bertugas. Militer yang dipimpin Jenderal Park An Su sebagai kepala komando darurat, mengambil alih kendali administratif dan yudisial sementara.
Namun, deklarasi ini menuai kecaman luas. Sebanyak 190 anggota parlemen dari total 300, termasuk 18 anggota partai Yoon sendiri, menentang keputusan tersebut dalam sidang parlemen yang dikepung oleh militer dan polisi. Keputusan parlemen ini akhirnya memaksa Yoon untuk mencabut darurat militer hanya beberapa jam setelah dideklarasikan.
Kondisi Terakhir
Hingga Kamis, 5 Desember 2024, situasi politik dan ekonomi Korea Selatan masih terguncang pasca pencabutan darurat militer. Demonstrasi besar-besaran terjadi di luar parlemen dengan seruan untuk meminta Presiden Yoon mundur.
Serikat buruh terbesar di negara itu, Korean Confederation of Trade Unions, meluncurkan aksi mogok nasional dan berjanji akan melanjutkan protes hingga Yoon mengundurkan diri.
Sementara itu, kepercayaan pasar terhadap stabilitas politik Korea Selatan terguncang. Indeks saham Kospi turun 1,4 persen pada Rabu, 4 Desember 2024, dan nilai won merosot ke level terendah dalam dua tahun sebelum akhirnya pulih berkat intervensi pemerintah. Bank Sentral Korea dan Kementerian Keuangan telah menjanjikan injeksi likuiditas tak terbatas untuk menstabilkan pasar keuangan.
Di tengah tekanan domestik dan internasional, pemerintah Yoon juga menghadapi kritik dari negara-negara sekutu seperti Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan harapan agar perselisihan politik di Korea Selatan dapat diselesaikan secara damai dan sesuai hukum.
Langkah Selanjutnya
Krisis ini menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Presiden Yoon. Oposisi menyerukan pemakzulan presiden, sementara anggota kabinetnya, termasuk kepala staf presiden, telah mengajukan pengunduran diri sebagai bentuk tanggung jawab atas kekacauan yang terjadi. Selain itu, kunjungan diplomatik penting, termasuk pertemuan dengan Perdana Menteri Swedia, telah ditunda.
Yoon kini tengah dilema, ia harus menjelaskan keputusannya kepada publik dan memperbaiki kepercayaan yang rusak. Dilansir dari Business Insider, menurut survei terbaru Gallup, tingkat persetujuan masyarakat jatuh ke angka 19 persen, sehingga masa depan politik Yoon semakin tidak menentu di tengah seruan untuk pengunduran dirinya yang terus menguat.
Deklarasi darurat militer ini bukan hanya menjadi krisis politik terbesar dalam beberapa dekade terakhir di Korea Selatan, tetapi juga menguji ketahanan demokrasi negara tersebut yang telah berkembang pesat sejak transisi ke sistem pemerintahan demokratis pada 1987.
REUTERS
Pilihan editor: