TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) mempertanyakan mengapa Bambang Hero Saharjo dipolisikan atas perhitungan kerugian negara dalam kasus korupsi timah.
Guru besar IPB itu sebelumnya dilaporkan oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persaudaraan Pemuda Tempatan (Perpat) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) pada Rabu, 8 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menegaskan, putusan pengadilan telah menyatakan kerugian negara dalam perkara korupsi ini sebesar Rp 300 triliun.
Artinya, kata Harli, pengadilan juga sependapat dengan jaksa penuntut umum (JPU) bahwa kerugian kerusakan lingkungan tersebut merupakan kerugian keuangan negara.
"Lalu apa yang menjadi keraguan kita terhadap pendapat ahli tersebut, sehingga harus dilaporkan?" ujarnya kepada Tempo, pada Jumat, 10 Januari 2025.
Dia mengingatkan agar semua pihak menaati asas yang berlaku. Pun, kata Harli, Bambang Hero melakukan perhitungan tersebut atas permintaan jaksa penyidik.
Harli menjelaskan, para ahli memberikan keterangannya tentu saja atas dasar pengetahuannya. Keterangan itulah yang kemudian diolah dan dihitung oleh auditor negara.
"Perhitungan atas kerugian keuangan negara ini didasarkan atas permintaan jaksa penyidik," kata Harli.
Sebelumnya, DPD Perpat Provinsi Kepulauan Babel melaporkan Bambang Hero ke polisi atas dugaan kejanggalan hasil perhitungan kerugian negara dari sektor lingkungan, yang jadi dasar penanganan korupsi timah.
Laporan tersebut disampaikan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Babel, pada Rabu, 8 Januari 2024.
Ketua Perpat Bangka Belitung Andi Kusuma mengatakan, ada beberapa alasan dia membuat laporan polisi. Salah satunya terkait status Bambang Hero yang bukan ahli keuangan negara.
Oleh karena itu, metode penghitungan Bambang dianggap tidak jelas dan yang bersangkutan tidak melaksanakan tugas sebagai saksi ahli sesuai ketentuan.
"Yang bisa menghitung kerugian negara adalah ahli keuangan, bukan Bambang Hero yang cuma ahli lingkungan," ujar Andi Kusuma. "Saat persidangan, bahkan dia berkata, malas menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Padahal sudah disumpah."
Menurut Andi, kejanggalan yang paling terlihat adalah perhitungan kerusakan lingkungan akibat pertambangan di dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah seluas 170,3 ribu hektar.
Dia mengatakan, yang bekerja di dalam IUP bukankah sudah ada izin, diawasi, hingga membayar jaminan reklamasi yang nilainya tidak sedikit.
"Kalau seperti ini diterapkan di industri pertambangan seluruh Indonesia terutama batubara dan nikel, semua penambangan baik itu penambangan rakyat atau korporasi bisa kena pidana korupsi lingkungan meski telah bekerja di dalam IUP," tuturnya.
Selain itu, Perpat Bangka Belitung juga mempersoalkan Bambang Hero yang mengambil sampel hanya dari foto satelit melalui aplikasi gratisan. Perpat mempertanyakan akurasi data tersebut.
"Kami minta buktikan apa dasar audit investigasi, status legal dan aliran dana keuangannya. Berapa banyak pohon dan lahan yang dirusak, di mana lokasi dan siapa pelakunya. Harus jelas disampaikan," ujar dia.
Bila benar kerugian akibat kerusakan lingkungan mencapai Rp 271 triliun, kata Andi, Perpat Bangka Belitung ingin uang itu dikembalikan ke daerah agar bisa dinikmati masyarakat setempat.
"Tapi untuk melihat kebenaran harus dibuktikan, dalam hal putusan saja jelas-jelas tidak mencapai Rp 271 triliun," katanya.
Dia mengatakan tetap mendukung upaya penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korps kejaksaan. Namun, dia meminta proses penanganan harus sesuai dengan nilai-nilai keadilan.
"Persoalan ini harus jadi atensi Presiden Prabowo. Ini mau diterapkan Undang-Undang Minerba apa Undang-Undang Korupsi, ini yang tidak jelas. Kalau konteksnya seluruh pertambangan, akan kacau karena orang atau korporasi yang sudah punya izin bisa diproses hukum terkena Undang-Undang korupsi," ujar Andi.
Servio Maranda berkontribusi dalam penulisan artikel ini.