JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, tidak hanya tidak pantas, tetapi juga berpotensi mengaburkan sejarah kelam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar pada masa pemerintahannya.
Hal itu disampaikan oleh peneliti ICW, Almas Sjafrina, dalam diskusi publik bertajuk “Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Kepada Soeharto” yang digelar di Aula Resonansi, Jakarta Selatan, Jumat (31/10/2025).
Menurut Almas, langkah mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional sama artinya dengan memberi pengampunan moral terhadap rezim Orde Baru yang justru menjadi sumber banyak persoalan struktural hingga kini.
“Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan memutihkan rekam jejak merahnya. Itu seperti mengampuni praktik KKN yang dilegalkan selama tiga dekade,” ujarnya.
KKN yang Masih Berjejak dari Orde Baru
Almas menilai bahwa reformasi 1998 yang lahir dari kejatuhan Orde Baru belum berhasil sepenuhnya memberantas praktik KKN.
Menurutnya, budaya penyalahgunaan kekuasaan yang ditinggalkan Orde Baru masih hidup di berbagai level birokrasi, dari pemerintah pusat hingga desa.
“Seharusnya fokus kita hari ini adalah membongkar akar masalah itu, bukan justru memuliakan sosok yang menjadi simbol dari praktik KKN,” tegasnya.
Ia juga menyebut, praktik KKN bukan sekadar kesalahan individu, tetapi merupakan warisan sistemik dari masa lalu yang hingga kini belum sepenuhnya dibereskan oleh pemerintahan-pemerintahan pascareformasi.
Kasus Supersemar Jadi Pengingat
Dalam diskusi itu, Almas turut menyinggung kasus Yayasan Supersemar yang didirikan Soeharto pada 1974. Yayasan tersebut awalnya dimaksudkan untuk membantu dunia pendidikan, namun kemudian terbukti digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
“Kasus Supersemar adalah contoh konkret bagaimana kekuasaan di masa Orde Baru dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri dan kroni-kroninya,” ujarnya.
ICW menilai, putusan pengadilan dalam kasus Supersemar seharusnya cukup menjadi bukti historis bahwa korupsi pada masa Orde Baru tidak bisa dihapus begitu saja dari catatan bangsa.
“Walaupun Soeharto tidak pernah divonis bersalah secara hukum, jejak korupsi pada masa kepemimpinannya sudah sangat jelas. Dalam perspektif antikorupsi, beliau tidak layak disebut pahlawan,” pungkas Almas.
Gerakan Sipil Tolak Pemutihan Sejarah
Diskusi tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang digagas Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS), yang beranggotakan sejumlah LSM dan aktivis prodemokrasi.
Mereka menilai upaya memberi gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi, tetapi juga tamparan bagi korban pelanggaran HAM dan praktik korupsi sistemik di masa Orde Baru. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.















































