REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia resmi menyampaikan dokumen iklim terbaru, Second Nationally Determined Contribution (Second NDC), kepada Sekretariat UNFCCC pada 17 Oktober 2025. Dokumen tersebut mempertegas komitmen nasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan target yang lebih ambisius dibanding dokumen sebelumnya, yaitu Enhanced NDC.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, pembaruan NDC menandai keseriusan Indonesia dalam menghadapi krisis iklim dan lingkungan global. Ia menyebut situasi planet saat ini sudah berada dalam fase darurat.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.“Triple planetary crisis benar-benar sudah ada di kita. Bukan hanya triple crisis, tetapi sudah triple disaster,” kata Hanif dalam pidatonya di Plastic, Climate, Biodiversity Nexus Forum yang digelar bersama WWF Indonesia, Selasa (28/10/2025).
Hanif menjelaskan, Second NDC menjadi tindak lanjut dari mandat Global Stocktakehasil Konferensi Iklim Dubai (COP28) yang mendorong setiap negara memperbarui komitmen iklim dengan baseline tahun 2019. Berdasarkan kesepakatan global, dunia menargetkan penurunan emisi sebesar 43 persen pada 2030 dan 60 persen pada 2035.
“Angka ini sangat ambisius, dan mungkin Indonesia belum sepenuhnya mampu mencapainya, tapi kita harus bergerak ke arah sana,” ujarnya.
Indonesia sebelumnya telah menyampaikan Enhanced NDC (ENDC) pada 2021 dengan peningkatan ambisi di sektor kehutanan dan lahan (Forestry and Other Land Use/FOLU), yang ditargetkan menjadi penyerap bersih karbon pada 2030.
“Sektor FOLU dan limbah menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kita menargetkan FOLU menjadi penyerap bersih dengan serapan minus 140 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada 2030,” jelas Hanif.
Ia menambahkan, capaian itu masih berproses, tetapi semangat mitigasi telah tergambar jelas sejak Enhanced NDC. Karena itu, Second NDC kini memperkuat proyeksi penurunan emisi dengan skenario yang lebih rendah. Dalam Enhanced NDC, proyeksi emisi tahun 2030 sebesar 2,8 gigaton karbon dioksida ekuivalen berdasarkan baseline 2010, dengan dua skenario: upaya sendiri (1,7 gigaton) dan dengan dukungan internasional (1,6 gigaton).
Melalui Second NDC, proyeksi tersebut diperbarui. Berdasarkan Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR), Indonesia menargetkan penurunan emisi menjadi 1,3 gigaton pada skenario pertumbuhan rendah dan 1,4 gigaton pada skenario tinggi.
“Kalau dalam Enhanced NDC dengan dukungan internasional kita masih di angka 1,6 gigaton, maka dalam Second NDC skenario rendah kita sudah di 1,3 gigaton, dan pada skenario tinggi 1,4 gigaton. Jadi jelas, komitmen Indonesia kini lebih ambisius,” kata Hanif.
Hanif juga menepis anggapan bahwa target baru justru lebih rendah dari sebelumnya. Ia menegaskan, perbedaan angka yang muncul di sejumlah media disebabkan oleh perbedaan baseline dan pendekatan perhitungan.
“Saya klarifikasi, Second NDC yang disampaikan ke UNFCCC lebih tinggi dari Enhanced NDC, dalam arti ambisinya lebih besar. Target penurunan emisinya lebih dalam,” katanya.
Ia menuturkan, baseline emisi Indonesia tahun 2019 tercatat sebesar 1,145 gigaton karbon dioksida ekuivalen. Saat ini, emisi nasional masih sekitar 1,2 gigaton. Dengan Second NDC, Indonesia menargetkan emisi turun menjadi 1,3 gigaton pada 2030 untuk skenario rendah, dan berpotensi lebih besar dengan dukungan pendanaan dan teknologi internasional.
“Artinya dokumen ini harus kita teguhkan dan kita lengkapi menuju pelaksanaan konkret Second NDC,” ujarnya.

4 hours ago
9








































