
Oleh : Kindy Miftah Chief Strategy, Young Islamic Bankers Staf Pengajar Praktisi, Departemen Ekonomi Syariah, Universitas Airlangga
REPUBLIKA.CO.ID, Pada berbagai forum, banyak pihak menggadang Indonesia menjadi pusat keuangan syariah dunia. Bahkan, Wakil Presiden Indonesia periode 2019-2024, Kiyai Ma’ruf Amin juga turut memprakarsai wacana Indonesia untuk menjadi pusat keuangan syariah di dunia. Cita-cita ini begitu luhur dan menyiratkan optimisme jika melihat posisi sentral Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang telah lama memiliki industri keuangan syariah dengan berbagai sistem dan kelembagaan pendukungnya.
Jika menilik peringkat Indonesia yang kini bertengger di peringkat ke-3 dunia menurut versi laporan State of Global Islamic Economy (SGIE) tahun 2025, wacana ini seakan sangat realistis. Hanya butuh 2 peringkat lagi untuk Indonesia bisa naik ke peringkat pertama. Tetapi lihat dulu, skor Global Islamic Economy Indicator (GIEI) Indonesia hanya sebesar 99, alias tersangkut jauh dari skor Malaysia di peringkat pertama yang sebesar 165.
Posisi Indonesia pada enam sektor Islamic Economy ini pun tidak konsisten, karena terdapat 2 sektor dimana Indonesia berada di luar 5 besar. Berbeda dengan Malaysia yang konsisten menempati peringkat ke-1 di seluruh sektor, kecuali sektor Modest Fashion yang menempati peringkat ke-2. Jika dilihat di sektor Islamic Finance pun, peringkat Indonesia jauh lebih tertinggal lagi. Indonesia hanya menempati peringkat ke-6 di bawah Malaysia dan negara-negara Timur Tengah. Skor Indonesia sebesar 135 atau hanya setengah dari Malaysia yang memiliki skor 282.
Dengan situasi ini, Indonesia memang memungkinkan untuk menjadi pusat keuangan syariah dunia, tetapi yang lebih mungkin lagi ialah: Indonesia tidak bisa menjadi pusat keuangan syariah dunia. Mengapa? Banyak justifikasi di balik pernyataan ini, yang sebenarnya cukup terlihat jelas jika kita mengikuti perkembangan keuangan syariah di Indonesia dengan baik dan seksama.
Pertama, ukuran industri keuangan syariah di Indonesia yang terefleksikan oleh sektor perbankan syariahnya, masih sangat kecil. Aset perbankan syariah Indonesia hanya sebesar Rp955 triliun atau USD 59 miliar di akhir tahun 2024. Sementara aset perbankan syariah Malaysia mencapai USD 260 miliar, atau lebih dari 4 kali lipatnya Indonesia. Pada Top 25 Islamic banks secara global, Indonesia hanya memiliki 1 bank perwakilan (BSI) di peringkat ke-20. Sementara Malaysia menyimpan 4 bank di dalam jajaran tersebut.
Marketshare juga menjadi alasan utama mengapa industri keuangan syariah masih jauh dari layak untuk menjadi pusat keuangan syariah. Marketshare perbankan syariah hanya berada di kisaran 7,4% setelah berdiri selama 25 tahun, atau hanya tumbuh 3% dalam waktu 10 tahun terakhir. Angka ini di bawah Maladewa yang berada di atas 8%.
Bandingkan dengan marketshare Malaysia yang mencapai 33%, atau naik 11% dari posisinya yang sebesar 22% pada 10 tahun yang lalu. Tingginya angka marketshare ini menunjukkan keseriusan regulator dan lembaga keuangan syariah dalam menumbuhkan industri dan portfolio keuangan syariahnya.
Pencapaian marketshare Malaysia yang sedemikian tinggi juga menunjukkan kemapanan implementasi, yang didukung oleh terobosan strategi pengembangan keuangan syariahnya. Malaysia telah memiliki infrastruktur kelembagaan dan regulasi yang telah mapan sejak tahun 1990-an, seperti standardisasi fatwa dan regulasi tata kelola syariah. Malaysia juga sudah berhasil mendorong pertumbuhan struktur industrinya dengan baik melalui berbagai insentif yang dilakukan kurun 2007 hingga 2015, sebuah fase yang tepat untuk mengakselerasi pertumbuhan industrinya yang sudah relatif mapan.
Keberhasilan Malaysia ini bisa terjadi karena Malaysia tahu fokus apa yang harus dikerjakan, bukan sekedar jago membuat konferensi mewah, namun miskin eksekusi. Berbeda dengan Indonesia yang rajin mengadakan seminar dan konferensi dengan topik dan bahasa langitan, tetapi eksekusinya di working level tetap saja business as usual.
Ambil contoh, strategi leveraging (pemanfaatan seluruh sumber daya bank induk untuk aktivitas bisnis dan operasional bank syariah) dan strategi Shariah First (mengutamakan penawaran produk syariah kepada semua nasabah) terbukti sukses mengakselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah di Malaysia. Strategi ini kemudian diadopsi oleh Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia yang dimiliki oleh bank asal Malaysia, dan kembali berhasil meningkatkan pertumbuhan aset UUS secara eksponensial. Namun, setelah 10 tahun lebih leveraging berjalan, tidak ada perluasan kepada bank-bank lain. Tidak ada inisiasi dan dorongan OJK untuk memperluas leveraging, termasuk kepada Top 10 bank nasional yang memiliki anak usaha bank syariah atau UUS, terlebih lagi kepada BPD-BPD yang menjadi induk sebagian besar UUS.
Manajemen bank-bank seperti Bank Mandiri dan BCA yang pintar dan brilian itu bahkan tidak memahami apa itu leveraging bisnis syariah, karena tidak diedukasi oleh regulator. Bahkan, pejabat-pejabat BI pun (kecuali Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah), sudah lah tidak paham perkembangan keuangan syariah, terlebih lagi memahami konsep dan implementasi leveraging syariah. Dampaknya, perizinan spin-off CIMB Niaga Syariah yang berharap bisa tetap meneruskan leveraging setelah menjadi Bank Umum Syariah (BUS), terkendala di Bank Indonesia. Dan OJK sebagai promotor spin-off hanya bisa mendukung lewat surat dan doa.
Hal lainnya ialah terkait perkembangan implementasi produk. Produk keuangan syariah di Indonesia harus diakui jauh tertinggal dibandingkan Malaysia dan Timur Tengah. Indonesia baru menerapkan pembiayaan rekening koran syariah secara proper kurun 5 tahun terakhir, dan produk Shariah Restricted Investment Account (SRIA) pada 1 tahun terakhir. Sementara produk keuangan syariah secara global sudah pada level cross-border structured financing atau cross-border funding & wealth proposition.
Produk-produk ini pun bukan tanpa cacat. Misalnya, produk SRIA seharusnya tidak dikenakan bobot Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dan biaya Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), karena konsep bank sebagai arranger. Tetapi implementasinya tetap dikenakan layaknya pembiayaan biasa. Belum lagi bicara perizinan produk yang meskipun sudah ada regulasi POJK 13/POJK.03/2021 yang dianggap agile, praktiknya SLA perizinan produk tetap membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan 6 bulan atau lebih. Alasannya klasik: OJK masih kekurangan SDM.
Selain itu, BI dan OJK selaku supervisor industri keuangan syariah anehnya tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang official, layaknya lembaga-lembaga keuangan syariah yang disupervisinya. Ini membuat proses pengawasan dan perizinan terhadap lembaga keuangan syariah (terutama oleh OJK) mengandung unsur subyektif dan tidak legitimate, ketika menyangkut aspek syariah. Pengawas OJK kerap kali menggunakan pendapat dan pemahaman pribadinya dalam mengevaluasi aspek syariah dari produk dan aktivitas lembaga keuangan syariah. Sesuatu yang layak disebut ‘tidak profesional’.
Lucunya, di tengah berbagai pekerjaan rumah tersebut, BI dan OJK lebih sering memilih fokus untuk menggadang inisiatif yang indah di tataran idealisme, tetapi minim dampak bagi pertumbuhan industri. Misalnya, produk Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) dan Cash Waqf Linked Deposit (CWLD) lebih rajin diberi panggung seminar, dibalut gegap gempita dukungan semangat akademisi. Padahal, inovasi produk seperti ini diragukan penerimaan pasarnya (market fit) dan acap kali tidak ada strategi proposition-nya. Evaluasi portofolio produknya pun tidak pernah dibahas.
Faktor lain yang membuat Indonesia kecil kemungkinan menjadi pusat keuangan syariah dunia ialah faktor geografis dan budaya lingkungan bisnis. Secara geografis, posisi Indonesia sudah pasti kurang mendukung dibandingkan Malaysia dan Singapura, karena posisi ideal untuk menjadi pusat ialah berada di tengah (hub), bukan di pinggir. Lalu lintas bisnis akan lebih menyukai mendirikan jaringan bisnis di Kuala Lumpur dan Singapura, karena lebih strategis dan lebih efisien menjangkau negara-negara lainnya.
Di sisi lain, budaya dan lingkungan bisnis di Indonesia masih terlalu domestic-centric, bukan global/regional-centric, sehingga perusahaan-perusahaan global hanya mempersepsikan Indonesia sebagai pasar domestik, bukan sebagai potensi hub kendali bisnisnya secara global/regional. Sebagai perbandingan, bank syariah global seperti Kuwait Finance House (KFH) membuka bisnis di Malaysia, tetapi tidak di Indonesia.
HSBC Amanah menutup bisnisnya di Indonesia, tetapi mempertahankannya di Malaysia. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris atau bahasa Arab dari regulator dan pekerja di sektor bisnis di Indonesia yang secara umum lebih terbatas juga menjadi hambatan.
Terakhir, meskipun Indonesia sudah punya Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), namun kehadirannya sebagai kolabolator dan problem solver atas permasalahan di industri keuangan syariah juga masih jauh dari kata optimal.
KNEKS tidak memiliki wewenang yang se-powerful Malaysia Islamic Finance Center (MIFC). Dari sisi OJK, OJK tidak memiliki KPI marketshare atau pertumbuhan industri keuangan syariah. Pun tidak dibantu adanya organ Transformation Office yang diharapkan bisa bergerak lebih strategis dan taktis membantu permasalahan di industri, termasuk industri keuangan syariah. Dan ketika ada organisasi baru pun, seperti Komite Pengembangan Perbankan Syariah (KPPS) di bawah OJK, OJK lebih memilih mengisinya dengan akademisi dan orang-orang yang tidak berpengalaman membuat terobosan atau menjalankan inovasi bisnis di industri keuangan syariah.
Pada akhirnya, cita-cita Indonesia menjadi pusat keuangan syariah dunia ibarat peribahasa: “bagai pungguk merindukan bulan”. Atau analoginya: “bagai timnas sepakbola Indonesia yang merindukan masuk putaran final Piala Dunia”. Minim effort dan terobosan, miskin eksekusi, tetapi ambisinya menembus langit.

2 hours ago
8















































