YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Ketika janji 19 juta lapangan kerja belum terlaksana, keburu disusul kondisi yang semakin sulit bagi dunia industri. Salah satunya, sektor pertekstilan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kini terancam gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih besar pada paruh kedua 2025.
Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY mencatat, sepanjang semester I 2025, sedikitnya 2.495 laporan PHK telah masuk. Mayoritas terjadi pada pabrik tekstil yang mulai kehilangan pesanan akibat gejolak geopolitik dan kebijakan dagang negara mitra ekspor.
Wakil Ketua API DIY Bidang Ketenagakerjaan, Timotius Apriyanto, menjelaskan, tantangan semakin berat karena buyer utama dari Amerika Serikat banyak yang menunda transaksi dan pengiriman barang. Hal ini berkaitan dengan ketidakpastian kebijakan tarif impor yang akan diterapkan pemerintahan Donald Trump.
“Rata-rata buyer menahan shipment sampai ada kejelasan tarif. Ada yang minta harga di-review, ada yang pending order. Kalau tarif benar-benar sampai 32 persen, tentu perusahaan di Yogya keberatan,” terang Timotius, Senin (14/7/2025).
Menurutnya, margin keuntungan perusahaan manufaktur tekstil semakin tipis, sehingga bila tidak ada kebijakan darurat dari pemerintah, langkah efisiensi besar kemungkinan terjadi.
“Kalau dulu masih bisa bagi dua tarif, misalnya 10 persen dibagi dua, perusahaan masih bertahan. Tapi kalau kena 20 sampai 32 persen, margin habis. Risikonya jelas: PHK makin besar,” tambahnya.
Sinyal ancaman PHK juga muncul dari laporan kondisi sejumlah perusahaan anggota API DIY. Dari 16 pabrik skala menengah dan besar, dua di antaranya disebut sudah sangat kesulitan. Salah satunya perusahaan tekstil BUMN di Sleman yang lebih dulu melakukan PHK, serta satu pabrik lain yang berada dalam posisi rawan.
Timotius mengungkapkan, meskipun sebagian perusahaan justru masih membuka lowongan kerja, industri tekstil secara umum mengalami penurunan omzet yang cukup signifikan.
“Ada juga pabrik di Bantul yang masih rekrut 1.000 orang, tapi yang lain merumahkan pekerja. Jadi kondisinya timpang,” ujarnya.
Selain ancaman tarif ekspor, sektor tekstil juga dihantam oleh membanjirnya produk impor dengan harga murah, sebagian di antaranya ilegal. Timotius mencontohkan, harga pakaian jadi yang dijual di pasar lokal bisa mencapai Rp 30.000 – Rp 35.000, jauh di bawah ongkos produksi dalam negeri.
“Kami minta regulasi impor diperketat. Permendag 36/2023 harus kembali diberlakukan supaya ada perlindungan bagi industri dalam negeri,” tegasnya.
Timotius juga mendorong pemerintah untuk memperkuat pasar domestik, salah satunya lewat peningkatan daya beli masyarakat. Ia mengusulkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) diperbesar menjadi Rp 600.000 per pekerja, cakupannya diperluas bagi yang berpenghasilan di bawah Rp 5 juta, dan diperpanjang sampai akhir 2025.
“Kalau konsumsi masyarakat naik, industri masih ada napas. Kalau tidak, dua kuartal minus berarti resesi. Ini harus diantisipasi,” katanya.
Sementara itu, persoalan lain muncul dari belum tuntasnya pembayaran hak pekerja yang terkena PHK. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Korwil DIY mencatat, pesangon buruh pabrik BUMN tekstil di Sleman baru dibayarkan sekitar 30 persen dari total klaim senilai Rp 103 juta.
Ketua KSBSI DIY, Dani Eko Wiyono, mengungkapkan, selain pesangon, perusahaan juga diduga menunggak pembayaran BPJS Ketenagakerjaan karyawan yang di-PHK.
“Baru 30 persen pesangon yang cair, belum termasuk BPJS. Kami berharap perusahaan segera memenuhi semua kewajiban sesuai aturan,” tutur Dani.
Di tengah situasi ini, API DIY berharap pemerintah daerah dan pusat lebih proaktif mencarikan solusi. Tidak hanya berupa insentif fiskal dan kemudahan izin, tetapi juga harmonisasi kebijakan perdagangan supaya industri tekstil tidak makin terpuruk di tengah kompetisi global yang kian sengit. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.